Magelang (ANTARA) - Pembukaan Festival Lima Gunung XX/2021 di sumber air Tlompak kawasan Gunung Merbabu di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat, ditandai dengan peluncuran Hari Peradaban Desa oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung.
Festival secara mandiri dan tanpa sponsor itu diprakarsai para seniman petani komunitas yang meliputi kawasan lima gunung mengelilingi Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Mereka menggelar pembukaan festival yang akan berlangsung selama dua bulan ke depan dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 itu, di sumber air dusun setempat di bawah dua tebing setinggi sekitar 30 meter dengan pepohonan yang rimbun dan jalan berundak-undak dari cor semen.
Hanya para tokoh utama komunitas, beberapa tamu luar desa setempat, dan sejumlah seniman petani dusun itu, termasuk inspirator utama yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengikuti pembukaan agenda tahunan. Jumlah mereka sekitar 50 orang, masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa.
Pembukaan festival ditandai dengan proses kirab dengan berdiam (membisu) dari gapura sumber air Tlompak, dipimpin Alip, juru kunci lokasi ziarah warga sekitar itu. Di depan Tlompak mereka duduk bersila di atas tikar. Sejumlah tokoh melantunkan tembang Jawa diiringi rebab, kenong, dan seruling.
Setelah Alip membakar kemenyan dan menaburkan bunga mawar, dilakukan doa dengan dilanjutkan pembasuhan wajah, tangan, dan kaki terhadap para tokoh utama komunitas.
Di tempat lebih lapang di kompleks sumber air itu yang telah dipasangi instalasi seni dari anyaman daun aren berwarna kuning, berbentuk cakra, yang dipasang baik berupa sembilan penjor maupun digantung secara melintang di atas lokasi itu, sejumlah tokoh secara bergantian melakukan orasi budaya. Sekitar 80 anyaman janur aren berupa cakra dibuat para seniman setempat menjadi instalasi seni di tempat tersebut.
Sejumlah seniman lainnya dengan mengenakan topeng melakukan performa seni di sejumlah titik keluarnya air yang diwadahi lima gentong, masing-masing dibalut kain aneka warna. Performa gerak seni mereka dengan bunyi-bunyian dari seruling, bende, dan rebab, mengiring penyair Komunitas Lima Gunung, Lie Thian Hauw (Haris Kertorahardjo), membacakan karya puisinya, "Matematika Air Desa".
Kolaborasi dua tokoh komunitas, Sitras Anjilin dan Ismanto, selain melakukan performa gerak juga secara bergantian menyampaikan ungkapan-ungkapan kebijakan dan kearifan kehidupan manusia yang mewujudkan nilai-nilai peradaban.
Budayawan Sutanto Mendut mengatakan komunitas yang dirintis lebih dari 20 tahun lalu tersebut, pada pembukaan festivalnya tahun ini meluncurkan "Hari Peradaban Desa", sekaligus sebagai tema untuk pemaknaan penyelenggaraan kegiatan seni budaya tersebut.
Ia mengemukakan bahwa peradaban dimulai dari desa, diawali dengan manusia merespons kehidupan yang paling dekat atau di sekelilingnya. Manusia kemudian mengembangkan hasil dari respons tersebut sehingga peradaban manusia terus berkembang.
"Tumbuhannya, ternaknya, tanahnya, apa yang bisa ditumbuhkan, apa yg bisa dicangkul, apa yang bisa dijangkau, apa yang bisa dikerjakan di mukanya. Mataharinya di desa itu bagaimana, hujannya melewati kontur tanah kayak apa, itu basisnya," katanya.
Ia menyebut peradaban desa sebagi kemurnian ciptaan Allah yang tak boleh dilupakan manusia, termasuk yang membuat kehidupan masyarakat desa menjadi guyup dan kompak.
Ketua Panitia FLG XX/2021 Riyadi menjelaskan tentang instalasi cakra yang inspirasinya tak lepas dari dunia pewayangan. Cakra sebagai senjata Kresna dalam kisah Mahabarata.
Senjata cakra yang dilontarkan, ujarnya, akan melesat secara berputar menjadi simbol bahwa kehidupan manusia di alam mengalami perputaran sebagaimana gerak air pun berputar dari mata air, menguap, menjadi hujan yang turun ke bumi, dan masuk ke tanah.
"Warna instalasi cakra yang kuning lebih kuat (ketimbang janur kelapa, red.) karena dari janur aren, menjadi simbol warna keemasan, menjadi tujuan peradaban --termasuk peradaban desa-- terus berkembang untuk membawa manusia mencapai keemasan," ujarnya.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto menyatakan bersyukur karena dalam situasi pandemi, para seniman komunitas yang mayoritas berbasis kehidupan sebagai petani itu tetap bisa menyelenggarakan festival tahunan dengan menerapkan protokol kesehatan.
"Tentu kita semua berharap pandemi ini segera bisa diatasi dan berakhir, supaya masyarakat bisa beraktivitas secara normal, termasuk melakukan aktivitas seni budaya," katanya.
Festival secara mandiri dan tanpa sponsor itu diprakarsai para seniman petani komunitas yang meliputi kawasan lima gunung mengelilingi Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.
Mereka menggelar pembukaan festival yang akan berlangsung selama dua bulan ke depan dengan menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19 itu, di sumber air dusun setempat di bawah dua tebing setinggi sekitar 30 meter dengan pepohonan yang rimbun dan jalan berundak-undak dari cor semen.
Hanya para tokoh utama komunitas, beberapa tamu luar desa setempat, dan sejumlah seniman petani dusun itu, termasuk inspirator utama yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, mengikuti pembukaan agenda tahunan. Jumlah mereka sekitar 50 orang, masing-masing mengenakan pakaian adat Jawa.
Pembukaan festival ditandai dengan proses kirab dengan berdiam (membisu) dari gapura sumber air Tlompak, dipimpin Alip, juru kunci lokasi ziarah warga sekitar itu. Di depan Tlompak mereka duduk bersila di atas tikar. Sejumlah tokoh melantunkan tembang Jawa diiringi rebab, kenong, dan seruling.
Setelah Alip membakar kemenyan dan menaburkan bunga mawar, dilakukan doa dengan dilanjutkan pembasuhan wajah, tangan, dan kaki terhadap para tokoh utama komunitas.
Di tempat lebih lapang di kompleks sumber air itu yang telah dipasangi instalasi seni dari anyaman daun aren berwarna kuning, berbentuk cakra, yang dipasang baik berupa sembilan penjor maupun digantung secara melintang di atas lokasi itu, sejumlah tokoh secara bergantian melakukan orasi budaya. Sekitar 80 anyaman janur aren berupa cakra dibuat para seniman setempat menjadi instalasi seni di tempat tersebut.
Sejumlah seniman lainnya dengan mengenakan topeng melakukan performa seni di sejumlah titik keluarnya air yang diwadahi lima gentong, masing-masing dibalut kain aneka warna. Performa gerak seni mereka dengan bunyi-bunyian dari seruling, bende, dan rebab, mengiring penyair Komunitas Lima Gunung, Lie Thian Hauw (Haris Kertorahardjo), membacakan karya puisinya, "Matematika Air Desa".
Kolaborasi dua tokoh komunitas, Sitras Anjilin dan Ismanto, selain melakukan performa gerak juga secara bergantian menyampaikan ungkapan-ungkapan kebijakan dan kearifan kehidupan manusia yang mewujudkan nilai-nilai peradaban.
Budayawan Sutanto Mendut mengatakan komunitas yang dirintis lebih dari 20 tahun lalu tersebut, pada pembukaan festivalnya tahun ini meluncurkan "Hari Peradaban Desa", sekaligus sebagai tema untuk pemaknaan penyelenggaraan kegiatan seni budaya tersebut.
Ia mengemukakan bahwa peradaban dimulai dari desa, diawali dengan manusia merespons kehidupan yang paling dekat atau di sekelilingnya. Manusia kemudian mengembangkan hasil dari respons tersebut sehingga peradaban manusia terus berkembang.
"Tumbuhannya, ternaknya, tanahnya, apa yang bisa ditumbuhkan, apa yg bisa dicangkul, apa yang bisa dijangkau, apa yang bisa dikerjakan di mukanya. Mataharinya di desa itu bagaimana, hujannya melewati kontur tanah kayak apa, itu basisnya," katanya.
Ia menyebut peradaban desa sebagi kemurnian ciptaan Allah yang tak boleh dilupakan manusia, termasuk yang membuat kehidupan masyarakat desa menjadi guyup dan kompak.
Ketua Panitia FLG XX/2021 Riyadi menjelaskan tentang instalasi cakra yang inspirasinya tak lepas dari dunia pewayangan. Cakra sebagai senjata Kresna dalam kisah Mahabarata.
Senjata cakra yang dilontarkan, ujarnya, akan melesat secara berputar menjadi simbol bahwa kehidupan manusia di alam mengalami perputaran sebagaimana gerak air pun berputar dari mata air, menguap, menjadi hujan yang turun ke bumi, dan masuk ke tanah.
"Warna instalasi cakra yang kuning lebih kuat (ketimbang janur kelapa, red.) karena dari janur aren, menjadi simbol warna keemasan, menjadi tujuan peradaban --termasuk peradaban desa-- terus berkembang untuk membawa manusia mencapai keemasan," ujarnya.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto menyatakan bersyukur karena dalam situasi pandemi, para seniman komunitas yang mayoritas berbasis kehidupan sebagai petani itu tetap bisa menyelenggarakan festival tahunan dengan menerapkan protokol kesehatan.
"Tentu kita semua berharap pandemi ini segera bisa diatasi dan berakhir, supaya masyarakat bisa beraktivitas secara normal, termasuk melakukan aktivitas seni budaya," katanya.