Jakarta (ANTARA) - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Evita Nursanty mengingatkan transformasi digital yang dilakukan Indonesia dewasa ini jangan sampai hanya dimanfaatkan para raksasa digital dunia melalui praktik bisnis tidak adil atau unfair practices yang dapat mengisap keuntungan Indonesia sehingga diperlukan pengawasan ketat.
"Saya katakan mereka (raksasa digital global) untuk jangan hanya bisa mengisap seperti spons secara ekonomi, dan merusak persaingan sehat. Jangan juga berpengaruh buruk secara sosial, tapi harus memberikan kontribusi kepada negara, kepada masyarakat, menjaga lingkungan bisnis yang adil, dan berkelanjutan. Apa yang disampaikan Presiden Jokowi ini peringatan serius," kata Evita Nursanty dalam keterangan tertulis, Sabtu.
Hal itu disampaikan menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo saat meluncurkan Program Konektivitas Digital 2021 dan Prangko Seri Gerakan Vaksinasi Nasional COVID-19, Jumat (26/2), di Istana Negara, Jakarta.
Dalam pernyataannya Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak boleh menjadi korban unfair practices dari raksasa digital dunia, dan berharap agar transformasi digital menjadi solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak.
Menurut Evita, raksasa digital global saat ini mendapatkan keuntungan yang sangat besar secara finansial, bahkan pada masa sulit seperti pandemi COVID-19 saat ini.
Dalam hal ini, negara dan UMKM maupun pemain digital dalam negeri dinilai dapat menjadi korban unfair practices mereka.
Salah satunya, Evita menyebut soal pajak atau kewajiban lain, juga penyalahgunaan kekuatan mereka dalam search engine dan toko aplikasi yang dirasa lebih memaksakan layanan mereka sendiri.
Selain itu, Evita juga menyebutkan persoalan tidak seimbangnya term and conditions, unfair trading, transparansi dan data.
Saat ini, Evita mengatakan ada ribuan pemain dalam industri digital global, mulai dari Google Play, Apple App Store, Microsoft Store, Amazon Marketplace, eBay and Fnac Marketplace, Facebook, Instagram, Skyscanner, Google Shopping, Google Search, Seznam.cz, Yahoo!, DuckDuckGo, Bing dan lainnya, bahkan tak sedikit para pemain baru munucl dari negara lain di luar Amerika Serikat.
Evita mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perindustrian dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), untuk mengambil inisiatif untuk membentuk tim khusus mengulas atau mengawasi secara berkala pemain digital global tersebut.
Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mencegah praktik bisnis yang berpotensi merugikan pengguna maupun negara. Evita juga menyarankan agar pemerintah memaksa para raksasa digital untuk mengikuti regulasi Indonesia.
"Betul kita memang tidak terlalu happy dengan kata proteksionisme, sedikit-sedikit protektif, tapi kita memang harus mengatur dengan rinci regulasinya dan dengan cepat mengikuti perkembangan yang terjadi," kata Evita.
"Uni Eropa saja ketat dalam urusan ini, begitu juga dengan Australia. Ketat kan bukan berarti protectionism. Kita membuat aturan yang rinci, yang jelas, dengan sanksi yang tegas juga. Di sisi lain kita harus dukung pemain digital dalam negeri untuk tumbuh besar," dia melanjutkan.
Evita melihat pembinaan talenta digital Indonesia juga perlu didorong kuat dengan pengembangannya secara merata di seluruh daerah Indonesia. Setidaknya, menurut anggota Komisi VI DPR RI itu, Indonesia bisa mengikuti jejak AS dan China yang sukses membina talenta digital mereka menjadi pemain global.
Menurut Evita, pengembangan talenta digital merupakan kunci untuk mencapai kedaulatan dan kemandirian digital, serta mencegah transformasi digital yang sedang dikembangkan tidak hanya menguntungkan pihak luar.
"Artinya kita harus bisa memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kesempatan bisnis global baru, dengan berkembang ke negara lain, artinya bagaimana transformasi digital ini dimanfaatkan oleh talenta digital Indonesia untuk membawa hasil karya Indonesia ke dunia," ujar Evita.
Evita juga berharap para pemain digital Indonesia untuk proaktif menyampaikan keluhan yang dihadapi dalam menghadapi perilaku unfair dari raksasa digital dunia.
"Saya katakan mereka (raksasa digital global) untuk jangan hanya bisa mengisap seperti spons secara ekonomi, dan merusak persaingan sehat. Jangan juga berpengaruh buruk secara sosial, tapi harus memberikan kontribusi kepada negara, kepada masyarakat, menjaga lingkungan bisnis yang adil, dan berkelanjutan. Apa yang disampaikan Presiden Jokowi ini peringatan serius," kata Evita Nursanty dalam keterangan tertulis, Sabtu.
Hal itu disampaikan menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo saat meluncurkan Program Konektivitas Digital 2021 dan Prangko Seri Gerakan Vaksinasi Nasional COVID-19, Jumat (26/2), di Istana Negara, Jakarta.
Dalam pernyataannya Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak boleh menjadi korban unfair practices dari raksasa digital dunia, dan berharap agar transformasi digital menjadi solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak.
Menurut Evita, raksasa digital global saat ini mendapatkan keuntungan yang sangat besar secara finansial, bahkan pada masa sulit seperti pandemi COVID-19 saat ini.
Dalam hal ini, negara dan UMKM maupun pemain digital dalam negeri dinilai dapat menjadi korban unfair practices mereka.
Salah satunya, Evita menyebut soal pajak atau kewajiban lain, juga penyalahgunaan kekuatan mereka dalam search engine dan toko aplikasi yang dirasa lebih memaksakan layanan mereka sendiri.
Selain itu, Evita juga menyebutkan persoalan tidak seimbangnya term and conditions, unfair trading, transparansi dan data.
Saat ini, Evita mengatakan ada ribuan pemain dalam industri digital global, mulai dari Google Play, Apple App Store, Microsoft Store, Amazon Marketplace, eBay and Fnac Marketplace, Facebook, Instagram, Skyscanner, Google Shopping, Google Search, Seznam.cz, Yahoo!, DuckDuckGo, Bing dan lainnya, bahkan tak sedikit para pemain baru munucl dari negara lain di luar Amerika Serikat.
Evita mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Perindustrian dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), untuk mengambil inisiatif untuk membentuk tim khusus mengulas atau mengawasi secara berkala pemain digital global tersebut.
Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mencegah praktik bisnis yang berpotensi merugikan pengguna maupun negara. Evita juga menyarankan agar pemerintah memaksa para raksasa digital untuk mengikuti regulasi Indonesia.
"Betul kita memang tidak terlalu happy dengan kata proteksionisme, sedikit-sedikit protektif, tapi kita memang harus mengatur dengan rinci regulasinya dan dengan cepat mengikuti perkembangan yang terjadi," kata Evita.
"Uni Eropa saja ketat dalam urusan ini, begitu juga dengan Australia. Ketat kan bukan berarti protectionism. Kita membuat aturan yang rinci, yang jelas, dengan sanksi yang tegas juga. Di sisi lain kita harus dukung pemain digital dalam negeri untuk tumbuh besar," dia melanjutkan.
Evita melihat pembinaan talenta digital Indonesia juga perlu didorong kuat dengan pengembangannya secara merata di seluruh daerah Indonesia. Setidaknya, menurut anggota Komisi VI DPR RI itu, Indonesia bisa mengikuti jejak AS dan China yang sukses membina talenta digital mereka menjadi pemain global.
Menurut Evita, pengembangan talenta digital merupakan kunci untuk mencapai kedaulatan dan kemandirian digital, serta mencegah transformasi digital yang sedang dikembangkan tidak hanya menguntungkan pihak luar.
"Artinya kita harus bisa memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kesempatan bisnis global baru, dengan berkembang ke negara lain, artinya bagaimana transformasi digital ini dimanfaatkan oleh talenta digital Indonesia untuk membawa hasil karya Indonesia ke dunia," ujar Evita.
Evita juga berharap para pemain digital Indonesia untuk proaktif menyampaikan keluhan yang dihadapi dalam menghadapi perilaku unfair dari raksasa digital dunia.