Semarang (ANTARA) - Tak ada tragedi global apa pun yang lebih memilukan dibanding wabah COVID-19 pada abad 21 ini. Hampir seluruh sektor kehidupan kolaps. Negara-negara terperosok dalam belitan utang besar yang tak terencanakan.

Pagebluk Corona bukan saja merangsek sektor kesehatan, ekonomi, dan politik, melainkan juga memberi tekanan kejiwaan luar biasa bagi 7,4 miliar manusia hidup di Bumi.

Per 29 Desember 2020, virus Corona jenis baru tersebut telah menginfeksi 81,6 juta penduduk Bumi dan merenggut 1,78 juta nyawa manusia.

Sejak kali pertama penyakit tersebut ditemukan di Wuhan, China, sebaran virus berbahaya ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Bahkan, pada medio Desember 2020 ditemukan varian baru yang jauh lebih menular.

Temuan tersebut memaksa negara-negara di dunia mengambil kebijakan ekstrem termasuk Indonesia yang akan menutup seluruh pintu bagi warga negara asing untuk masuk ke Indonesia mulai 1 Januari 2021. Memang berlaku hanya 14 hari ke depan. Akan tetapi sangat mungkin akan diperpanjang bila tidak ditemukan cara-cara efektif untuk mengerem mutasi Corona tersebut.

Saat ini sejumlah negara memang mulai melakukan vaksinasi. Namun, jumlah vaksin yang sudah terbukti efikasinya, saat ini masih sangat terbatas jumlahnya. Indonesia yang sudah mendatangkan vaksin Sinovac dari China saat ini juga masih menunggu izin dari BPOM. Apalagi uji klinis tahap tiga juga belum tuntas.

Vaksin saat ini menjadi komoditas yang diperebutkan banyak negara. Ibaratnya, vaksin menjadi cahaya di ujung lorong gelap yang panjang.

Dari berbagai laporan media disebutkan bahwa saat ini fasilitas kesehatan sudah kewalahan menampung pasien baru. Bahkan sejumlah rumah sakit mendirikan tenda-tenda darurat untuk menampung melubernya pasien. Betapa beban tenaga medis kian berat. Ratusan dokter, perawat, dan pegawai rumah sakit gugur akibat virus Corona.

Tambahan kasus positif harian di Indonesia belakangan ini dalam kisaran 5.000-an bahkan pernah sampai 7.000-an. Sampai saat ini tercatat lebih dari 719 ribu orang terinfeksi, dengan jumlah meninggal 21 ribu lebih.

Pengalaman dari masa libur-libur panjang sebelumnya, mencuat kekhawatiran pada awal 2021 bakal terjadi ledakan jumlah kasus positif. Meski pemerintah sudah merevisi deretan hari libur panjang pada akhir 2020, keramaian di sejumlah lokasi wisata menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak mampu meredam "semangat" warga untuk bepergian dan berwisata di tengah ancaman meluasnya sebaran wabah.

Ancaman mengarantina pemudik hingga tes acak di "rest area" atau titik-titik tertentu  tidak menyurutkan keberanian warga, yang sudah sumpek didera kesempitan hidup akibat wabah Corona, untuk melancong.

Pada masa-masa sekarang ini ketika muncul varian baru yang lebih menular, belum ada tanda-tanda wabah mereda, serta vaksin juga belum mampu menjangkau seluruh penduduk, sudah seharusnya pemerintah memperluas cakupan 3T (testing, tracing, dan treatment).

Tanpa mengetes lebih banyak orang, jumlah pembawa virus Corona tanpa gejala bakal makin bebas berkeliaran. Begitu pula pelacakannya. Tanpa memperpanjang rantai pemeriksaan, akibatnya juga sama: banyak OTG berkeliaran.

Penanganan dua langkah tersebut yang tidak optimal berpotensi menyebabkan fasilitas kesehatan beserta paramedisnya tiba-tiba menghadapi ledakan jumlah pasien seperti sekarang ini.

Bagi masyarakat, selalu jaga jarak, hindari kerumunan, memakai masker, dan mencuci tangan merupakan keharusan. Itulah kiat yang tersedia saat ini untuk meredam pagebluk Corona agar tidak merajalela.

Klise? Jenuh? Namun, pilihannya hanya itu bila kita ingin hidup lebih panjang.

Selamat Tahun Baru 2021.

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024