Semarang (ANTARA) - Anggota Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah Zainal Abidin Petir meminta kepada Moeldoko dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk menyampaikan statement yang bijak dan hati-hati terkait dengan isu rumah sakit men-covid-kan pasien meninggal dunia.
"Moeldoko dan Ganjar jangan memperkeruh isu yang belum jelas sumbernya. Mestinya cari dahulu duduk permasalahannya, jangan langsung buru-buru disampaikan kepada publik," kata Zainal Abidin Petir di Semarang, Ahad.
Menurut Petir, pernyataan seperti itu justru menimbulkan persepsi yang berdampak penurunan kepercayaan masyarakat sekaligus mendiskreditkan serta membuat gelisah tenaga kesehatan dan rumah sakit.
"Mereka merasa tidak men-covid-kan. Akan tetapi, isu yang belum benar itu berkembang makin liar," kata Zainal Petir.
Baca juga: Ganjar dan Moeldoko minta rumah sakit jujur data kematian pasien COVID-19
Petir menegaskan bahwa Moedoko selaku Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat supaya tidak gaduh.
Apalagi, lanjut Petir, jabatan ini dikukuhkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden, yang berfungsi memberikan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis.
"Artinya, masyarakat diberi pemahaman dan RS dibikin nyaman supaya penanganan pandemi Covid-19 bisa tertangani secara efektif, efisien, dan berstandar," katanya menjelaskan.
Petir lantas menekankan, "Rumah Sakit dan dokter tidak gegabah men-covid-kan pasien, bahkan tidak ada celah untuk itu. Mereka sangat clear."
Ia menegaskan bahwa mereka itu menjalankan perintah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan mematuhi Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor 413 Tahun 2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Dijelaskan pula bahwa KMK 413/2020 yang mengatur tata laksana pasien kasus suspek, probable, dan konfirmasi. Selain itu, juga KMK 446 Tahun 2020 tentang Juknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Infeksi Emerging bagi RS yang menyelenggarakan pelayanan Covid-19.
Misalnya, kasus suspek, ada infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), batuk, pilek, napas sesak, selama 14 hari sebelumnya kontak dengan orang konfirmasi Covid-19 kemudian meninggal.
Baca juga: 1.401 pasien COVID-19 dirawat di RSD Wisma Atlet Kemayoran
Contoh lain, kasus probable ISPA berat meninggal dengan gambaran klinis menyakinkan Covid-19 dan belum ada pemeriksaan swab lab PCR, maka diperlakuan ketentuan sebagai meninggal Covid-19 walaupun bukan covid.
"Jadi, sambil menunggu hasil lab, jenazah dipeti dan dimakamkan pihak RS, itu protokol covid. 'Kan tidak mungkin menunggu hasil lab PCR yang kadang baru terbaca rata-rata 1 hingga 3 hari, padahal jenazah harus segera dimakamkan," kata Petir.
Lebih lanjut Petir meminta Moeldoko dan Ganjar mencari solusi supaya memperbanyak laboratorium biomolekuler PCR di daerah-daerah biar rumah sakit cepat mengeluarkan hasil pemeriksaan PCR, apakah konfirmasi covid atau tidak, cukup 4—6 jam.
"Coba Moeldoko dan Ganjar menambah kuota pemeriksaan, yang biasanya 2 sif menjadi 3 sif, misalnya. Selai itu, juga menambah sumber daya manusia (SDM), baik itu dokter, analis, maupun tenaga adminsitrasi. Tentunya harus siapkan anggaran lebih besar juga," kata Petir.
Sebelumnya, Moeldoko dan Ganjar Pranowo di Semarang, Kamis (1/10), membahas sejumlah hal terkait dengan penanganan Covid-19 dan isu yang berkembang tentang rumah sakit yang men-covid-kan pasien yang meninggal dunia untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Mereka sepakat meminta pihak rumah sakit bersikap jujur mengenai data kematian pasien agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Baca juga: Doni: Sekali lagi, jangan anggap enteng COVID-19
Statement mereka, menurut Petir, menjadi polemik dan gaduh. Bahkan, Ketua Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto, dan ketua Perhimpunan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi ramai-ramai membantah pernyataan tersebut.
"Moeldoko dan Ganjar jangan memperkeruh isu yang belum jelas sumbernya. Mestinya cari dahulu duduk permasalahannya, jangan langsung buru-buru disampaikan kepada publik," kata Zainal Abidin Petir di Semarang, Ahad.
Menurut Petir, pernyataan seperti itu justru menimbulkan persepsi yang berdampak penurunan kepercayaan masyarakat sekaligus mendiskreditkan serta membuat gelisah tenaga kesehatan dan rumah sakit.
"Mereka merasa tidak men-covid-kan. Akan tetapi, isu yang belum benar itu berkembang makin liar," kata Zainal Petir.
Baca juga: Ganjar dan Moeldoko minta rumah sakit jujur data kematian pasien COVID-19
Petir menegaskan bahwa Moedoko selaku Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat supaya tidak gaduh.
Apalagi, lanjut Petir, jabatan ini dikukuhkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden, yang berfungsi memberikan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis.
"Artinya, masyarakat diberi pemahaman dan RS dibikin nyaman supaya penanganan pandemi Covid-19 bisa tertangani secara efektif, efisien, dan berstandar," katanya menjelaskan.
Petir lantas menekankan, "Rumah Sakit dan dokter tidak gegabah men-covid-kan pasien, bahkan tidak ada celah untuk itu. Mereka sangat clear."
Ia menegaskan bahwa mereka itu menjalankan perintah Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan mematuhi Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor 413 Tahun 2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Dijelaskan pula bahwa KMK 413/2020 yang mengatur tata laksana pasien kasus suspek, probable, dan konfirmasi. Selain itu, juga KMK 446 Tahun 2020 tentang Juknis Klaim Penggantian Biaya Pelayanan Infeksi Emerging bagi RS yang menyelenggarakan pelayanan Covid-19.
Misalnya, kasus suspek, ada infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), batuk, pilek, napas sesak, selama 14 hari sebelumnya kontak dengan orang konfirmasi Covid-19 kemudian meninggal.
Baca juga: 1.401 pasien COVID-19 dirawat di RSD Wisma Atlet Kemayoran
Contoh lain, kasus probable ISPA berat meninggal dengan gambaran klinis menyakinkan Covid-19 dan belum ada pemeriksaan swab lab PCR, maka diperlakuan ketentuan sebagai meninggal Covid-19 walaupun bukan covid.
"Jadi, sambil menunggu hasil lab, jenazah dipeti dan dimakamkan pihak RS, itu protokol covid. 'Kan tidak mungkin menunggu hasil lab PCR yang kadang baru terbaca rata-rata 1 hingga 3 hari, padahal jenazah harus segera dimakamkan," kata Petir.
Lebih lanjut Petir meminta Moeldoko dan Ganjar mencari solusi supaya memperbanyak laboratorium biomolekuler PCR di daerah-daerah biar rumah sakit cepat mengeluarkan hasil pemeriksaan PCR, apakah konfirmasi covid atau tidak, cukup 4—6 jam.
"Coba Moeldoko dan Ganjar menambah kuota pemeriksaan, yang biasanya 2 sif menjadi 3 sif, misalnya. Selai itu, juga menambah sumber daya manusia (SDM), baik itu dokter, analis, maupun tenaga adminsitrasi. Tentunya harus siapkan anggaran lebih besar juga," kata Petir.
Sebelumnya, Moeldoko dan Ganjar Pranowo di Semarang, Kamis (1/10), membahas sejumlah hal terkait dengan penanganan Covid-19 dan isu yang berkembang tentang rumah sakit yang men-covid-kan pasien yang meninggal dunia untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Mereka sepakat meminta pihak rumah sakit bersikap jujur mengenai data kematian pasien agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Baca juga: Doni: Sekali lagi, jangan anggap enteng COVID-19
Statement mereka, menurut Petir, menjadi polemik dan gaduh. Bahkan, Ketua Perhimpunan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhilah, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto, dan ketua Perhimpunan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi ramai-ramai membantah pernyataan tersebut.