Magelang (ANTARA) - Mbak Yuni, penjual kuliner "Bakmi Pak Min" di dekat Pasar Rejowinangun Kota Magelang itu, terperanjat karena betul-betul baru tahu, seseorang yang baru saja beranjak dari warungnya, adalah orang kondang.
Perempuan itu generasi kedua, penerus usaha warung makan hanya buka malam hari, dirintis pada 1960 oleh orang tuanya yang dikenal di kota tersebut dengan sebutan Pak Min.
Pak Min yang bernama lengkap Wagimin Mitro Suwarno wafat pada 2001 dalam usia 79 tahun. Tetapi warung kuliner itu tetap mempertahankan bendera "Bakmi Pak Min", dan tetap hilir mudik pengunjungnya sampai sekarang.
Warung makan dengan tampilan sederhana dan buka setiap pukul 17.00-23.00 WIB itu, lokasinya persis di pertigaan Jalan Singosari Nomor 90 Kampung Keplekan, Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kecamatan Magelang Tengah. Orang Jawa menyebut tempat di pertigaan seperti lokasi warung tersebut sebagai "tusuk sate".
Sesekali ibunya Mbak Yuni, Sukiyem yang kini sudah berumur 70 tahun, ikut menjadi penyaji menu makanan di warung itu, seperti bakmi dan nasi, baik goreng maupun godok, seninjong serta capcai, plus minuman teh dan jeruk. Harga setiap menu tergolong enteng di kantong.
Baca juga: "Coffee Station", konsep kuliner terbaru dari Steak Hotel by Holycow!
Warung dengan menu serupa "Bakmi Pak Min" bertebaran di kota kecil seluas 18.117 kilometer persegi, meliputi tiga kecamatan dan 17 kelurahan, yang berpenduduk 121.992 jiwa itu (BPS Kota Magelang 2019). Saudara sepupu Mba Yuni, juga membuka usaha seperti itu, di dekat Rumah Dinas Wakil Wali Kota Magelang di Jalan Diponegoro Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah.
Malam itu, orang yang kondang melalui usaha karoseri, namun juga pada masa mudanya pernah bakulan payung dan pakaian di Pasar Rejowinangun, sopir angkutan pedesaan, dan kini telah merambah multiusaha, seperti mal, diler, perhotelan, pertokoan, dan jasa pembiayaan tersebut, diajak anaknya menikmati makan malam di warung "Bakmi Pak Min".
"Biasane anakku yang ke sini, aku cuman dibawakan saja," kata orang kondang itu ketika berbincang di salah satu meja dengan seseorang lainnya yang datang lebih dahulu di warung tersebut.
Mbak Yuni yang nama lengkapnya Sri Wahyuni (49) memasakkan pesanannya, capcai sayur, sebagaimana biasanya memenuhi permintaan pembeli lain dari berbagai kalangan di daerah itu.
Sejumlah hal diomongkan orang kondang dengan seorang pengunjung warung, seperti menyangkut pemahaman umum tentang Imlek, sebagai perayaan tahun baru dalam kalender China dan kegiatan keagamaan.
Omong-omong ringan mereka, sebelum menyantap masing-masing pesanan makan malam di "Bakmi Pak Min", juga menyangkut kegiatan ritual umat Buddha di Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Malam hari berikutnya, orang kondang itu berpidato di Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang dalam acara perayaan Imlek yang semarak diselenggarakan warga keturunan Tionghoa di Kota Magelang. Acara antara lain dihadiri Wali Kota Sigit Widyonindito, sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, dan pemuka lintas agama di daerah setempat.
Orang kondang itu adalah David Herman Jaya atau Liem Wan King (61), salah satu pengusaha nasional, pemilik perusahaan New Armada berbasis di tapal batas wilayah Kabupaten-Kota Magelang. Ia juga pemuka masyarakat keturunan Tionghoa, terutama di Magelang.
Saat berpidato pada perayaan bersama Imlek 2571, Wan King berkedudukan sebagai Pembina Yayasan Tri Dharma dengan salah satu aktivitasnya terkait dengan pengelolaan Kelenteng Liong Hok Bio, di dekat Alun-Alun Kota Magelang.
Setelah puluhan tahun menjadi salah satu petinggi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), baik tingkat pusat maupun Provinsi Jawa Tengah, saat ini David Hermanjaya menjabat sebagai salah satu ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi).
Boleh dikata, telinga orang Magelang akrab dengan nama Wan King, meski tidak setiap orang selalu berkesempatan bertemu langsung dengan sosoknya, seperti halnya Mbak Yuni yang malam itu sebagai pertama kali melihat secara langsung karena yang bersangkutan menyantap kuliner malam di warungnya.
Dalam terjemahan pelesetan, nama "Wan King" dengan mudah diartikan sebagai "One King", maksudnya orang nomor 1. Menyebut namanya, sebagai tone kebanggaan tersendiri bagi setiap orang Magelang.
"'Oalah itu tadi Wan King tho? Dan yang itu tadi anaknya Wan King tho? Kalau anaknya memang sering ke sini ('Bakmi Pak Min', red.)," kata Mbak Yuni berulang-ulang, masih dengan nada suara kaget. Suaminya yang dipanggil Mas Hari (Suharyono), bekerja sebagai sopir truk molen PT Armada Hada Graha, salah satu bagian dari manajemen multibisnis Wan King.
Ketika membayar sejumlah menu makan malam sederhana yang disantapnya, Mbak Yuni bilang tidak punya uang kembalian, sehingga yang bersangkutan tidak meminta uang kembali.
"'Iseh okeh susuke' (Masih banyak uang kembalian ditinggal, red.)," ucap dia.
Warung "Bakmi Pak Min" di pertigaan Keplekan, Jalan Singosari Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kota Magelang, Jumat (31/1/2020) malam. (ANTARA/Hari Atmoko)
Orang-orang yang sering jajan di warungnya memang juga cukup banyak dari kalangan warga keturunan Tionghoa di kota itu. Akan tetapi, Mbak Yuni tidak pernah berpikir tentang sejauh mana kekondangan setiap orang yang menyantap sajian warungnya.
Ihwal utama yang menjadi perhatiannya, yakni menyuguhkan menu dengan cita rasa khas warungnya yang telak kondang itu kepada setiap pembeli.
Pembeli memang bagai raja. Ia datang ke warung memenuhi keinginan menyentuh kekhasan menu yang disajikan. Oleh karenanya, setiap mereka yang makan di "Bakmi Pak Min" mendapatkan jamuan khas warung itu.
Raja yang merakyat, saat datang ke suatu tempat memang tak mengharuskan diri diketahui banyak orang ataupun oleh setiap orang yang kebetulan sedang di dekatnya. Dalam suasana dan nuansa apa adanya, boleh jadi ia beroleh kesempatan emas meraup pemaknaan nilai-nilai kehidupan orisinal masyarakat umum.
Hal demikian, sebagaimana cerita dari mulut ke mulut yang hingga saat ini melekat di ingatan orang Yogya, di mana Sultan Hamengku Buwono IX semasa hidupnya, tiba-tiba "blusukan" ke Pasar Beringharjo menemui para pedagang dan melihat suasana kehidupan pasar.
Dalam kesempatan yang lain, Raja Keraton Yogyakarta itu dengan pakaian rakyat biasa, menyetir sendiri mobilnya untuk perjalanan melihat suasana kehidupan desa-desa. Ia juga memberi tumpangan seorang simbok di pinggir jalan dengan gendongan berisi dagangan, sampai ke pasar yang dituju di kota itu.
Kabarnya, si simbok tersebut seketika kaget dan pingsan, begitu diberi tahu orang-orang di pasar bahwa mobil yang ditumpanginya ternyata disopiri sendiri oleh Sang Sultan.
Dipastikan, kisah mereka-mereka bukan soal siasat atau rekayasa untuk perburuan simpati rakyat, sebagaimana dijalani para kandidat menjelang pemilu legislatif dan pilpres tahun lalu, serta pilkada di 270 daerah meliputi sembilan 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia tahun ini
Kisah nyata sebagaimana "Bakmi Pak Min" dan Wan King di Kota Magelang malam itu, sesungguhnya juga berlimpah terjadi di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari.
Itu soal kehidupan orisinal kerakyatan. Namun, terkadang hanya mampu ataupun sempat secuil dibagikan maknanya secara terukur dan sistematis untuk inspirasi kebaikan khalayak luas.
Baca juga: Kuliner ikan asam pedas Pontianak jadi Warisan Budaya Tak Benda
Baca juga: Kudus miliki kampung kalkun, bakal jadi ikon kuliner baru
Baca juga: Telaah - Getuk, bukan sekadar kuliner tetapi juga doa dan pengharapan
Perempuan itu generasi kedua, penerus usaha warung makan hanya buka malam hari, dirintis pada 1960 oleh orang tuanya yang dikenal di kota tersebut dengan sebutan Pak Min.
Pak Min yang bernama lengkap Wagimin Mitro Suwarno wafat pada 2001 dalam usia 79 tahun. Tetapi warung kuliner itu tetap mempertahankan bendera "Bakmi Pak Min", dan tetap hilir mudik pengunjungnya sampai sekarang.
Warung makan dengan tampilan sederhana dan buka setiap pukul 17.00-23.00 WIB itu, lokasinya persis di pertigaan Jalan Singosari Nomor 90 Kampung Keplekan, Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kecamatan Magelang Tengah. Orang Jawa menyebut tempat di pertigaan seperti lokasi warung tersebut sebagai "tusuk sate".
Sesekali ibunya Mbak Yuni, Sukiyem yang kini sudah berumur 70 tahun, ikut menjadi penyaji menu makanan di warung itu, seperti bakmi dan nasi, baik goreng maupun godok, seninjong serta capcai, plus minuman teh dan jeruk. Harga setiap menu tergolong enteng di kantong.
Baca juga: "Coffee Station", konsep kuliner terbaru dari Steak Hotel by Holycow!
Warung dengan menu serupa "Bakmi Pak Min" bertebaran di kota kecil seluas 18.117 kilometer persegi, meliputi tiga kecamatan dan 17 kelurahan, yang berpenduduk 121.992 jiwa itu (BPS Kota Magelang 2019). Saudara sepupu Mba Yuni, juga membuka usaha seperti itu, di dekat Rumah Dinas Wakil Wali Kota Magelang di Jalan Diponegoro Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah.
Malam itu, orang yang kondang melalui usaha karoseri, namun juga pada masa mudanya pernah bakulan payung dan pakaian di Pasar Rejowinangun, sopir angkutan pedesaan, dan kini telah merambah multiusaha, seperti mal, diler, perhotelan, pertokoan, dan jasa pembiayaan tersebut, diajak anaknya menikmati makan malam di warung "Bakmi Pak Min".
"Biasane anakku yang ke sini, aku cuman dibawakan saja," kata orang kondang itu ketika berbincang di salah satu meja dengan seseorang lainnya yang datang lebih dahulu di warung tersebut.
Mbak Yuni yang nama lengkapnya Sri Wahyuni (49) memasakkan pesanannya, capcai sayur, sebagaimana biasanya memenuhi permintaan pembeli lain dari berbagai kalangan di daerah itu.
Sejumlah hal diomongkan orang kondang dengan seorang pengunjung warung, seperti menyangkut pemahaman umum tentang Imlek, sebagai perayaan tahun baru dalam kalender China dan kegiatan keagamaan.
Omong-omong ringan mereka, sebelum menyantap masing-masing pesanan makan malam di "Bakmi Pak Min", juga menyangkut kegiatan ritual umat Buddha di Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Malam hari berikutnya, orang kondang itu berpidato di Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang dalam acara perayaan Imlek yang semarak diselenggarakan warga keturunan Tionghoa di Kota Magelang. Acara antara lain dihadiri Wali Kota Sigit Widyonindito, sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, dan pemuka lintas agama di daerah setempat.
Orang kondang itu adalah David Herman Jaya atau Liem Wan King (61), salah satu pengusaha nasional, pemilik perusahaan New Armada berbasis di tapal batas wilayah Kabupaten-Kota Magelang. Ia juga pemuka masyarakat keturunan Tionghoa, terutama di Magelang.
Saat berpidato pada perayaan bersama Imlek 2571, Wan King berkedudukan sebagai Pembina Yayasan Tri Dharma dengan salah satu aktivitasnya terkait dengan pengelolaan Kelenteng Liong Hok Bio, di dekat Alun-Alun Kota Magelang.
Setelah puluhan tahun menjadi salah satu petinggi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), baik tingkat pusat maupun Provinsi Jawa Tengah, saat ini David Hermanjaya menjabat sebagai salah satu ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi).
Boleh dikata, telinga orang Magelang akrab dengan nama Wan King, meski tidak setiap orang selalu berkesempatan bertemu langsung dengan sosoknya, seperti halnya Mbak Yuni yang malam itu sebagai pertama kali melihat secara langsung karena yang bersangkutan menyantap kuliner malam di warungnya.
Dalam terjemahan pelesetan, nama "Wan King" dengan mudah diartikan sebagai "One King", maksudnya orang nomor 1. Menyebut namanya, sebagai tone kebanggaan tersendiri bagi setiap orang Magelang.
"'Oalah itu tadi Wan King tho? Dan yang itu tadi anaknya Wan King tho? Kalau anaknya memang sering ke sini ('Bakmi Pak Min', red.)," kata Mbak Yuni berulang-ulang, masih dengan nada suara kaget. Suaminya yang dipanggil Mas Hari (Suharyono), bekerja sebagai sopir truk molen PT Armada Hada Graha, salah satu bagian dari manajemen multibisnis Wan King.
Ketika membayar sejumlah menu makan malam sederhana yang disantapnya, Mbak Yuni bilang tidak punya uang kembalian, sehingga yang bersangkutan tidak meminta uang kembali.
"'Iseh okeh susuke' (Masih banyak uang kembalian ditinggal, red.)," ucap dia.
Orang-orang yang sering jajan di warungnya memang juga cukup banyak dari kalangan warga keturunan Tionghoa di kota itu. Akan tetapi, Mbak Yuni tidak pernah berpikir tentang sejauh mana kekondangan setiap orang yang menyantap sajian warungnya.
Ihwal utama yang menjadi perhatiannya, yakni menyuguhkan menu dengan cita rasa khas warungnya yang telak kondang itu kepada setiap pembeli.
Pembeli memang bagai raja. Ia datang ke warung memenuhi keinginan menyentuh kekhasan menu yang disajikan. Oleh karenanya, setiap mereka yang makan di "Bakmi Pak Min" mendapatkan jamuan khas warung itu.
Raja yang merakyat, saat datang ke suatu tempat memang tak mengharuskan diri diketahui banyak orang ataupun oleh setiap orang yang kebetulan sedang di dekatnya. Dalam suasana dan nuansa apa adanya, boleh jadi ia beroleh kesempatan emas meraup pemaknaan nilai-nilai kehidupan orisinal masyarakat umum.
Hal demikian, sebagaimana cerita dari mulut ke mulut yang hingga saat ini melekat di ingatan orang Yogya, di mana Sultan Hamengku Buwono IX semasa hidupnya, tiba-tiba "blusukan" ke Pasar Beringharjo menemui para pedagang dan melihat suasana kehidupan pasar.
Dalam kesempatan yang lain, Raja Keraton Yogyakarta itu dengan pakaian rakyat biasa, menyetir sendiri mobilnya untuk perjalanan melihat suasana kehidupan desa-desa. Ia juga memberi tumpangan seorang simbok di pinggir jalan dengan gendongan berisi dagangan, sampai ke pasar yang dituju di kota itu.
Kabarnya, si simbok tersebut seketika kaget dan pingsan, begitu diberi tahu orang-orang di pasar bahwa mobil yang ditumpanginya ternyata disopiri sendiri oleh Sang Sultan.
Dipastikan, kisah mereka-mereka bukan soal siasat atau rekayasa untuk perburuan simpati rakyat, sebagaimana dijalani para kandidat menjelang pemilu legislatif dan pilpres tahun lalu, serta pilkada di 270 daerah meliputi sembilan 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia tahun ini
Kisah nyata sebagaimana "Bakmi Pak Min" dan Wan King di Kota Magelang malam itu, sesungguhnya juga berlimpah terjadi di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari.
Itu soal kehidupan orisinal kerakyatan. Namun, terkadang hanya mampu ataupun sempat secuil dibagikan maknanya secara terukur dan sistematis untuk inspirasi kebaikan khalayak luas.
Baca juga: Kuliner ikan asam pedas Pontianak jadi Warisan Budaya Tak Benda
Baca juga: Kudus miliki kampung kalkun, bakal jadi ikon kuliner baru
Baca juga: Telaah - Getuk, bukan sekadar kuliner tetapi juga doa dan pengharapan