Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan akar permasalahan penyebab defisit keuangan BPJS Kesehatan di hadapan Komisi XI DPR.
"Salah satu penyebab utamanya adalah iuaran BPJS Kesehatan terlalu kecil dengan menawarkan banyak manfaat, namun risikonya juga terlalu besar," kata Menkeu kepada Komisi XI, DPR, Jakarta, Rabu.
Kemudian, katanya, penyebab kedua adalah banyak peserta BPJS PBPU yang mendaftarkan pada saat sakit, kemudian setelah sembuh tidak membayarkan lagi iurannya.
Selanjutnya, tingkat peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) masih cukup rendah, sekitar 54 persen, sementara tingkat utilitasnya cukup tinggi.
Dan yang terakhir adalah beban pembiayaan penyakit katastropik yang sangat besar yakni lebih dari 20 persen dari total biaya manfaat.
Sebelumnya, Pemerintah telah memutuskan tiga strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Baca juga: Hingga Maret 2019 biaya JKN penyakit jantung capai Rp2,8 triliun
Strategi pertama, pemerintah akan menaikkan premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan. Nominal kenaikan tersebut, kata Wapres, masih dalam penghitungan oleh tim teknis.
"Kita sudah setuju untuk menaikkan iuran, berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp23 ribu itu tidak sanggup sistem kita," kata JK.
Iuran bulanan BPJS Kesehatan saat ini terbagi dalam tiga jenis, yakni Rp25.500 untuk peserta jaminan kelas III, Rp51.000 untuk peserta jaminan kelas II dan tertinggi Rp80.000 untuk peserta jaminan kelas I.
Strategi kedua, lanjut JK, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar lembaga BPJS Kesehatan melakukan perbaikan manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut.
Strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah. Artinya, pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan akan menjadi tanggung jawab gubernur, bupati dan wali kota masing-masing daerah.
"Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi, supaya rentang kendalinya tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat," jelas Wapres.
Baca juga: Dana kapitasi BPJS Kesehatan mengendap di pemda capai Rp2,5 triliun
"Salah satu penyebab utamanya adalah iuaran BPJS Kesehatan terlalu kecil dengan menawarkan banyak manfaat, namun risikonya juga terlalu besar," kata Menkeu kepada Komisi XI, DPR, Jakarta, Rabu.
Kemudian, katanya, penyebab kedua adalah banyak peserta BPJS PBPU yang mendaftarkan pada saat sakit, kemudian setelah sembuh tidak membayarkan lagi iurannya.
Selanjutnya, tingkat peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) masih cukup rendah, sekitar 54 persen, sementara tingkat utilitasnya cukup tinggi.
Dan yang terakhir adalah beban pembiayaan penyakit katastropik yang sangat besar yakni lebih dari 20 persen dari total biaya manfaat.
Sebelumnya, Pemerintah telah memutuskan tiga strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Baca juga: Hingga Maret 2019 biaya JKN penyakit jantung capai Rp2,8 triliun
Strategi pertama, pemerintah akan menaikkan premi yang harus dibayarkan oleh peserta jaminan. Nominal kenaikan tersebut, kata Wapres, masih dalam penghitungan oleh tim teknis.
"Kita sudah setuju untuk menaikkan iuran, berapa naiknya itu akan dibahas oleh tim teknis. Masyarakat seharusnya menyadari bahwa iurannya itu (sekarang) rendah, sekitar Rp23 ribu itu tidak sanggup sistem kita," kata JK.
Iuran bulanan BPJS Kesehatan saat ini terbagi dalam tiga jenis, yakni Rp25.500 untuk peserta jaminan kelas III, Rp51.000 untuk peserta jaminan kelas II dan tertinggi Rp80.000 untuk peserta jaminan kelas I.
Strategi kedua, lanjut JK, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar lembaga BPJS Kesehatan melakukan perbaikan manajemen dengan menerapkan sistem kendali di internal institusi tersebut.
Strategi ketiga, pemerintah akan kembali menyerahkan wewenang jaminan sosial kesehatan tersebut ke masing-masing pemerintah daerah. Artinya, pengelolaan tagihan fasilitas kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan akan menjadi tanggung jawab gubernur, bupati dan wali kota masing-masing daerah.
"Karena tidak mungkin satu instansi bisa mengontrol 200 juta lebih pesertanya, maka harus didaerahkan, didesentralisasi, supaya rentang kendalinya tinggi, supaya 2.500 rumah sakit yang melayani BPJS Kesehatan itu dapat dibina oleh gubernur dan bupati setempat," jelas Wapres.
Baca juga: Dana kapitasi BPJS Kesehatan mengendap di pemda capai Rp2,5 triliun