Semarang (Antaranews Jateng) - Angin besar dan gelombang tinggi yang kini tengah mendera laut Nusantara menjadi pertanda buruk bagi kehidupan para nelayan. Ya, musim paceklik mulai  menyapa. Musim paceklik bagi para nelayan kecil tidak sekadar sulitnya mendapatkan hasil tangkapan ikan yang semestinya, tetapi juga menjadi waktu yang mengakibatkan ketidakpastian hidup bagi mereka yang tidak memiliki dana cadangan.

Nelayan yang nekat melautpun, bukan untung tetapi justru "buntung" (rugi, red.) karena biaya operasional lebih tinggi dari pada hasil tangkapan yang didapat. Harga jual dimusim paceklik memang tinggi tetapi karena hasil tangkapan rendah, justru mereka merugi untuk memenuhi biaya operasional (biaya solar dan umpan,red.) yang menjadi fixed cost tanpa bisa dikurangi.

Kondisi ini hampir merata dialami nelayan kecil di sepanjang pantai utara Jateng yang terdapat beberapa kabupaten/kota dari bagian timur hingga barat seperti Kabupaten Rembang, Pati, Jepara, Demak, Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Tegal, Kota Tegal, dan Kabupaten Brebes. Juga di Jawa Tengah bagian selatan, ada Kabupaten Cilacap, Kabumen, Purworejo, dan Wonogiri.

Kurun waktu musim paceklik seiring pemanasan global yang semakin sulit untuk diprediksi, tentu akan memberikan bad multiplier effect terhadap para nelayan dan keluarga nelayan yang tidak memiliki pekerjaan alternatif.

Nelayan tentu tidak hanya berharap mendapatkan "ikan" seperti subsidi beras, subsidi bahan bakar, dan dana paceklik yang hanya menjadi obat jangka pendek, tetapi juga dibutuhkan "kail", sehingga bisa memberikan manfaat hingga jangka panjang agar nelayan tidak terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang tidak berujung.

"Kail" tersebut bisa berupa pemberdayaan nelayan dan keluarganya dengan pemberian akses untuk memiliki diversifikasi usaha, dibukanya kegiatan ekonomi lokal, pemanfaatan letak geografis menjadi daerah wisata alam dan wisata kuliner yang seluruhnya bertujuan untuk memberdayaan nelayan dan keluarga nelayan.

"Kail" tersebut tentu akan lebih cepat terealisasi jika ada keterlibatan dari pemerintah setempat, karena tidak hanya terhenti dalam pemberian "kail", tapi ada tugas lain yakni peningkatan kualitas pendidikan, pengetahuan, informasi, dan kemampuan usaha, sehingga "kail" menjadi awet dan dipastikan menghasilkan "ikan" yang banyak dan memberikan manfaat.

Pemberdayaan nelayan dan keluarga nelayan diharapkan bisa menjadi salah satu upaya untuk menghilangkan stigma bahwa nelayan sebagai the poorest of the poor, memberikan nilai tambah sebagai wujud kongkrit untuk pemenuhan janji Nawacita, serta menjadikan kehidupan nelayan sejahtera di negeri maritim.

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024