Borobudur, ANTARA JATENG - Para seniman di sekitar Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, memperoleh berkah dan ujian atas perkembangan kepariwisataan setempat, kata penulis seni rupa dari Yogyakarta Rain Rosidi.

"Menjadi seniman yang tinggal dan berkarya di dekat Borobudur, memiliki dua hal sekaligus, yaitu dapat dianggap sebagai berkah sekaligus pula sebagai ujian," katanya di Borobudur, Sabtu (18/3) malam.

Ia mengatakan hal itu saat pembukaan pameran seni rupa bertajuk "The Balance" di Limanjawi Art House sekitar 600 meter timur Candi Borobudur.

Pameran diikuti 64 seniman dari berbagai daerah dan lintas generasi, berlangsung hingga 18 April 2017 dibuka oleh kolektor seni rupa dan pemilik OHD Museum Kota Magelang, Oei Hong Djien. Pembukaan acara, ditandai antara lain dengan pentas sejumlah kesenian tradisional sekitar Borobudur, pembacaan puisi, dan pentas musik.

Rain yang juga dosen Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, mengatakan berkah bagi seniman Borobudur terkait dengan kunjungan wisatawan yang terus menerus sepanjang tahun di candi yang juga warisan budaya dunia itu. Hal tersebut membuat konsumen produk seni tidak akan pernah berkurang.

Di sisi lain, ujanya, para seniman dapat pula merasa tertindas kreativitasnya karena tekanan industri pariwisata yang memengaruhi jenis karya dan gaya seperti apa yang diminati oleh para wisatawan.

Ia mengemukakan industri pariwisata membuat perkembangan produksi seni lebih dominan untuk melayani pelancong, karena diproduksi secara massal sebagai benda kerajinan.

Hal tersebut, katanya, menguntungkan secara ekonomi terhadap pelaku seni, akan tetapi tidak menguntungkan perkembangan wacana seni yang lain, termasuk berbagai diskusi mengenai apa yang bisa dilakukan oleh seni, identitas budaya, dan masalah perkembangan media seni itu sendiri.

Ia mengemukakan para seniman perupa di Borobudur memiliki persoalan yang agak berbeda dengan seniman di Yogyakarta. Mereka, dihadapkan dengan aktivitas pariwisata yang lebih kuat berimbas ke karya-karya mereka.

"Wilayah sekitar Candi Borobudur adalah pedesaan yang tidak banyak memiliki ruang dan gelaran seni yang menggelar wacana perbincangan di luar praktik komodifikasi seni," katanya.

Ia mengemukakan pameran "The Balance" bukan saja untuk memamerkan karya-karya para perupa akan tetapi juga ruang bertemu para seniman dengan masyarakat umum, dan pertemuan di antara para perupa itu sendiri.

Berbagai karya yang dipamerkan antara lain berjudul "Mendengar Kabar Burung" (Agus Putu Suyadnya), "Menoreh" (Deskhairi), "Color Life" (Easting Medi), "Keluarga Terpelajar" (Godek Mintorogo), "Margasatwa" (Heni Susilawati), "Life and a Civilization#1" (I Komang Trisno Adi Wirawan), "Salsabila" (Jaya Adi).

Selain itu, karya berjudul "Omahe Kartika" (Kartika Afandi), "No Fake Destiny" (Listya Van Sorren), "Power of Love" (Mola), "Om Mani Padme Hum" (Nadia Diandra), "The Balance" (Oentoeng Nugroho), "Menyatu dalam Kesucian" (Priyaris Munandar), "Asmara yang Tak Pernah Reda" (Rejo Arianto), "Winter Stanza" (Sitok Srengenge), "The Balance of Nature" (Tantto), "Mushroom Party" (Utami Atasia Ishii), "Road to Balance" (Vije), "Kesempurnaan" (Wahudi), dan "Documentation" (Yasumi Ishii).


Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024