Rakyat berharap banyak atas tekad Presiden Joko Widodo dalam memberantas pungutan liar. Puluhan tahun rakyat selalu mengeluarkan uang ekstra untuk mendapatkan pelayanan publik yang semestinya diperoleh tanpa ada biaya tambahan kecuali yang resmi.
Sudah bukan rahasia lagi bila untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), cek fisik perpanjangan SNTK, mengurus KTP, mengurus surat kehilangan, melewati jembatan timbang, masuk pasar, dan lainnya publik harus membayar lebih dari ketentuan.
Inspeksi mendadak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Kantor Samsat Magelang pada 5 Oktober 2016 mendapati korban praktik pungli. Ini sebuah ironi. Betapa warga negara yang akan bayar pajak pun masih dipungli.
Jumlah uang yang dipungli memang tidak besar, namun secara akumulatif sangat banyak karena jumlah korban sangat masif dan berlangsung terus-menerus. Penyakit pungli ini sudah berlangsung puluhan tahun sehingga ada rasa pesimisme pungli bisa dihapus. Bahkan yang terjadi belakangan ini cakupannya semakin meluas. Parkir liar tumbuh di mana-mana. PKL juga sering dipungli dengan dalih retribusi.
Seorang wiraniaga roti keliling mengeluhkan beban berat yang harus dikeluarkan untuk bayar parkir. Setiap hari paling tidak ia mengeluarkan Rp20.000 untuk parkir, yang sebagian besar tidak berkarcis. Karena perusahaan hanya mau mengganti biaya parkir yang berkarcis, wiraniaga itu terpaksa tombok dengan mengambil uang makan hariannya.
Bila seluruh pungli yang terjadi di Indonesia diakumulasikan, bisa jadinya nilainya mencapai triliunan rupiah. Sungguh tidak adil bila uang pungli tersebut hanya mengalir di sejumlah oknum yang memiliki kuasa di hadapan publik yang membutuhkan surat keterangan tersebut.
Dibandingkan dengan 5 tahun lalu, pungli pada sektor pelayanan publik sekarang ini memang berkurang. Di Kota Semarang, misalnya, sudah tidak terdengar lagi penduduk dikutip sumbangan (baca: pungli) ketika melegalisasi kartu keluarga. Juga dalam pengurusan KTP, dan akta kelahiran.
Kendati demikian, masih banyak sektor yang rawan pungli. Operasi Pemberantasan Pungli (OPP) yang dilakukan polisi di Kementerian Perhubungan pada 11 Oktober 2016 menunjukkan betapa kronis praktik pungli di bidang perizinan tersebut. Praktik pungli tersebut juga menunjukkan tidak adanya urat malu aparat ketika menghadapi rakyat untuk mendapatkan pelayanan.
Aparat seharusnya bisa mencontoh pengurus RT dan RW yang bisa melayani sepenuh hati warga yang minta surat keterangan di tingkat pertama. Para pengurus RT dan RW di kampung-kampung tidak dibayar negara, namun bisa memberi pelayanan prima dan cepat.
Bahkan kadang masih bisa memberi minum dan kudapan sekadarnya kepada warga yang menunggu karena pengurus RT/RW sedang mandi. Ketua RT dan RW belakangan ini memang mendapat honor, namun sebagian besar dari mereka menyerahkan honornya ke kas RT dan RW.
Kita berharap kebijakan pemberantasan pungli kali ini tidak berhenti pada gebrakan, tapi disertai kesungguhan untuk memidanakan pelaku. Upaya lain yang harus ditempuh yakni menciptakaan sistem yang mempu menghapuskan praktik pungli. Di era digital, tidak sulit menciptakan sistem administrasi yang terbuka dan dapat dipercaya.
Persoalannya, pengambil kebijakan mau atau tidak!
Sudah bukan rahasia lagi bila untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), cek fisik perpanjangan SNTK, mengurus KTP, mengurus surat kehilangan, melewati jembatan timbang, masuk pasar, dan lainnya publik harus membayar lebih dari ketentuan.
Inspeksi mendadak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Kantor Samsat Magelang pada 5 Oktober 2016 mendapati korban praktik pungli. Ini sebuah ironi. Betapa warga negara yang akan bayar pajak pun masih dipungli.
Jumlah uang yang dipungli memang tidak besar, namun secara akumulatif sangat banyak karena jumlah korban sangat masif dan berlangsung terus-menerus. Penyakit pungli ini sudah berlangsung puluhan tahun sehingga ada rasa pesimisme pungli bisa dihapus. Bahkan yang terjadi belakangan ini cakupannya semakin meluas. Parkir liar tumbuh di mana-mana. PKL juga sering dipungli dengan dalih retribusi.
Seorang wiraniaga roti keliling mengeluhkan beban berat yang harus dikeluarkan untuk bayar parkir. Setiap hari paling tidak ia mengeluarkan Rp20.000 untuk parkir, yang sebagian besar tidak berkarcis. Karena perusahaan hanya mau mengganti biaya parkir yang berkarcis, wiraniaga itu terpaksa tombok dengan mengambil uang makan hariannya.
Bila seluruh pungli yang terjadi di Indonesia diakumulasikan, bisa jadinya nilainya mencapai triliunan rupiah. Sungguh tidak adil bila uang pungli tersebut hanya mengalir di sejumlah oknum yang memiliki kuasa di hadapan publik yang membutuhkan surat keterangan tersebut.
Dibandingkan dengan 5 tahun lalu, pungli pada sektor pelayanan publik sekarang ini memang berkurang. Di Kota Semarang, misalnya, sudah tidak terdengar lagi penduduk dikutip sumbangan (baca: pungli) ketika melegalisasi kartu keluarga. Juga dalam pengurusan KTP, dan akta kelahiran.
Kendati demikian, masih banyak sektor yang rawan pungli. Operasi Pemberantasan Pungli (OPP) yang dilakukan polisi di Kementerian Perhubungan pada 11 Oktober 2016 menunjukkan betapa kronis praktik pungli di bidang perizinan tersebut. Praktik pungli tersebut juga menunjukkan tidak adanya urat malu aparat ketika menghadapi rakyat untuk mendapatkan pelayanan.
Aparat seharusnya bisa mencontoh pengurus RT dan RW yang bisa melayani sepenuh hati warga yang minta surat keterangan di tingkat pertama. Para pengurus RT dan RW di kampung-kampung tidak dibayar negara, namun bisa memberi pelayanan prima dan cepat.
Bahkan kadang masih bisa memberi minum dan kudapan sekadarnya kepada warga yang menunggu karena pengurus RT/RW sedang mandi. Ketua RT dan RW belakangan ini memang mendapat honor, namun sebagian besar dari mereka menyerahkan honornya ke kas RT dan RW.
Kita berharap kebijakan pemberantasan pungli kali ini tidak berhenti pada gebrakan, tapi disertai kesungguhan untuk memidanakan pelaku. Upaya lain yang harus ditempuh yakni menciptakaan sistem yang mempu menghapuskan praktik pungli. Di era digital, tidak sulit menciptakan sistem administrasi yang terbuka dan dapat dipercaya.
Persoalannya, pengambil kebijakan mau atau tidak!