Kekhawatiran harga sembako menjelang puasa Ramadhan akan naik, terbukti. Bahkan harga gula pasir curah di tingkat eceran, Senin (30/5) menembus Rp16.000/kg. Harga pemanis ini merupakan rekor selama satu dasawarsa terakhir.
Harga beras di sejumlah pasar dan pengecer pun mengalami kenaikan kendati tidak "segila" harga gula pasir yang pada awal 2016 masih dalam kisaran Rp11.000/kg. Harga kebutuhan dapur seperti bawang merah dan cabai juga menggeliat. Harga telur naik menjadi Rp22.000/kg, padahal pekan lalu masih Rp18.000.
Namun, kedua komoditas tersebut selama ini memang harganya fluktuatif. Operasi pasar bawang merah oleh Bulog beberapa waktu lalu belum sepenuhnya mampu meredam harga bawang merah di kisaran Rp40.000/kg.
Harga daging sapi yang diharapkan bisa sedikit turun dari harga hari ini Rp110.000-Rp120.000/kg, juga masih bertahan di angka tersebut. Konon, pemerintah dalam waktu dekat akan impor sapi, agar harga sumber protein hewani ini tidak melambung menjelang Idul Fitri 2016.
Kenaikan harga sembako menjelang Ramadhan dan hari raya selama ini sudah menjadi ritual yang nyaris dimaklumi oleh masyarakat. Padahal, pada waktu hampir bersamaan, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak.
Logika sederhananya, ada komponen biaya yang bisa dipangkas, setidaknya ongkos distribusi, sehingga bisa menekan harga sembako. Atau, paling tidak harganya tidak naik.
Variabel lain, dalam 5 bulan pertama 2016 juga tidak ada bencana alam besar atau gagal panen pada tanaman pangan yang menyebabkan berkurangnya pasokan yang menyebabkan terjadi ketidakseimbangan pasar. Jadi, kenaikan harga sembako saat ini sangat mungkin didesain oleh spekulan dan kartel untuk menangguk untung besar seperti tahun-tahun lalu.
Ihwal gula, kemungkinan besar lebih disulut tidak beroperasinya sejumlah pabrik gula sehingga pasokan di pasar memang berkurang sehingga memicu kenaikan harga secara fantastis. Namun, keadaan seperti itu seharusnya bisa diantisipasi jauh hari karena berhentinya operasi pabrik gula tidak terjadi secara tiba-tiba.
Belakangan, baru terdengar wacana impor gula untuk mengerem kenaikan harga gula. Namun, langkah ini agaknya terlambat karena masyarakat sudah telanjur beli gula dengan harga tinggi.
Terhadap sembako, pemerintah seyogyanya senantiasa menjaga keterjangkauan daya beli, agar tidak lapisan masyarakat kekurangan pangan. Program beras murah untuk kalangan kurang mampu sejauh ini memang membantu. Namun, bagi kelompok subsisten yang daya belinya pas-pasan dan tidak menjadi sasaran raskin, kenaikan harga sembako tentu memukul daya beli beli. Kelompok subsisten ini jumlahnya cukup besar.
Kebijakan impor komoditas pangan memang tidak populer. Namun, bila pilihannya demi memelihara daya beli masyarakat, langkah ini masih dibenarkan sepanjang bersifat temporer.
Masalahnya bisa menjadi runyam bila kenaikan harga yang selalu terjadi jelang hari-hari penting itu diduga disebabkan intervensi kartel gula, beras, bawang merah, minyak goreng, ayam potong, dan komoditas strategis lainnya.
Bila benar demikian, tidak ada tindakan lain kecuali pemerintah segera menghentikan aksi yang menyengsarakan orang banyak tersebut. ***
***
Harga beras di sejumlah pasar dan pengecer pun mengalami kenaikan kendati tidak "segila" harga gula pasir yang pada awal 2016 masih dalam kisaran Rp11.000/kg. Harga kebutuhan dapur seperti bawang merah dan cabai juga menggeliat. Harga telur naik menjadi Rp22.000/kg, padahal pekan lalu masih Rp18.000.
Namun, kedua komoditas tersebut selama ini memang harganya fluktuatif. Operasi pasar bawang merah oleh Bulog beberapa waktu lalu belum sepenuhnya mampu meredam harga bawang merah di kisaran Rp40.000/kg.
Harga daging sapi yang diharapkan bisa sedikit turun dari harga hari ini Rp110.000-Rp120.000/kg, juga masih bertahan di angka tersebut. Konon, pemerintah dalam waktu dekat akan impor sapi, agar harga sumber protein hewani ini tidak melambung menjelang Idul Fitri 2016.
Kenaikan harga sembako menjelang Ramadhan dan hari raya selama ini sudah menjadi ritual yang nyaris dimaklumi oleh masyarakat. Padahal, pada waktu hampir bersamaan, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak.
Logika sederhananya, ada komponen biaya yang bisa dipangkas, setidaknya ongkos distribusi, sehingga bisa menekan harga sembako. Atau, paling tidak harganya tidak naik.
Variabel lain, dalam 5 bulan pertama 2016 juga tidak ada bencana alam besar atau gagal panen pada tanaman pangan yang menyebabkan berkurangnya pasokan yang menyebabkan terjadi ketidakseimbangan pasar. Jadi, kenaikan harga sembako saat ini sangat mungkin didesain oleh spekulan dan kartel untuk menangguk untung besar seperti tahun-tahun lalu.
Ihwal gula, kemungkinan besar lebih disulut tidak beroperasinya sejumlah pabrik gula sehingga pasokan di pasar memang berkurang sehingga memicu kenaikan harga secara fantastis. Namun, keadaan seperti itu seharusnya bisa diantisipasi jauh hari karena berhentinya operasi pabrik gula tidak terjadi secara tiba-tiba.
Belakangan, baru terdengar wacana impor gula untuk mengerem kenaikan harga gula. Namun, langkah ini agaknya terlambat karena masyarakat sudah telanjur beli gula dengan harga tinggi.
Terhadap sembako, pemerintah seyogyanya senantiasa menjaga keterjangkauan daya beli, agar tidak lapisan masyarakat kekurangan pangan. Program beras murah untuk kalangan kurang mampu sejauh ini memang membantu. Namun, bagi kelompok subsisten yang daya belinya pas-pasan dan tidak menjadi sasaran raskin, kenaikan harga sembako tentu memukul daya beli beli. Kelompok subsisten ini jumlahnya cukup besar.
Kebijakan impor komoditas pangan memang tidak populer. Namun, bila pilihannya demi memelihara daya beli masyarakat, langkah ini masih dibenarkan sepanjang bersifat temporer.
Masalahnya bisa menjadi runyam bila kenaikan harga yang selalu terjadi jelang hari-hari penting itu diduga disebabkan intervensi kartel gula, beras, bawang merah, minyak goreng, ayam potong, dan komoditas strategis lainnya.
Bila benar demikian, tidak ada tindakan lain kecuali pemerintah segera menghentikan aksi yang menyengsarakan orang banyak tersebut. ***
***