Dari sisi lebar, jalan ini sebenarnya cukup untuk melintas enam mobil dari dua arah. Namun, keberadaan pintu masuk-keluar tol Jatingaleh, pasar, pertigaan kantor PLN, kemudian belokan untuk memutar, menyebabkan jalan tampak semrawut. Apalagi bila tak ada polisi yang mengaturnya. Lampu pengatur lalu lintas di jalan itu sudah lama tak difungsikan. Sebelum tahun 2000, waktu tempuh Tembalang-Simpanglima dengan mobil pribadi sekitar 20 menit pada pagi hari, namun kini 35-40 menit.

Kemacetan bakal bertambah parah mengingat belakangan ini semakin banyak pengembang membangun kompleks perumahan di kawasan Semarang atas. Warga pun banyak yang memilih bermukim di kawasan atas yang dianggap lebih aman dari ancaman banjir dan rob.

Lahirnya kelas menengah baru dibarengi dengan bertambahnya kendaraan bermotor. Apalagi saat ini tersedia mobil LCGC (low cost green car), yang sebenarnya tidak murah dan tidak pula ramah lingkungan karena mayoritas "menenggak" BBM bersubsidi. Kemudahan membeli mobil dengan sistem cicilan menjadikan orang berpenghasilan Rp4 jutaan per bulan jadi sasaran empuk pedagang mobil.

Kemacetan tidak hanya terjadi di Jatingaleh. Pada jam-jam sibuk, Jalan A. Yani juga mengalami masalah serupa. Pengendara mobil baru bisa melintas setelah 3-4 kali giliran lampu hijau menyala di lampu pengatur lalu lintas. Pemandangan serupa juga terlihat di Jalan Kaligawe, Jalan Majapahit, bundaran Tugu Muda, bundaran Bubakan, ruas jalan di kampus Undip Tembalang, dan tentu saja Simpanglima. Pinggiran Kota Semarang yang belakangan ini kawasannya banyak berubah menjadi kompleks perumahan juga mulai dilanda kemacetan setiap pagi dan sore.

Di sisi sama, pengembangan angkutan publik yang manusiawi di Kota Semarang nyaris tidak mengalami kemajuan berarti semenjak bus rapit transit (BRT) diluncurkan di kota ini pada 2009. Dengan keterbatasan trayek, BRT amat sulit diandalkan oleh warga yang ingin hijrah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Berbeda dengan TransJakarta, jalur BRT tidak dipagari dengan sparator kanstein, tetapi hanya marka bercat putih. Akibatnya, BRT harus sering mengalah ketika jalurnya dipakai kendaraan lain. Aspek cepat (rapid) tidak terpenuhi.

Oleh karena itu, angkutan kota berjenis mikrobus -- apa merek mobilnya lazim disebut daihatsu -- tetap mendominasi transportasi publik dengan segala kekurangan atas jaminan rasa aman dan nyaman selama berada di dalamnya. Kendati tingkat keterisian penumpang tidak sepenuh tahun 1990-an -- karena ada di mana-mana -- angkot masih menjadi pilihan sebagian warga, terutama anak sekolah dan ibu rumah tangga. Bagi kalangan menengah yang ingin mendapatkan kecepatan dan kenyamanan lebih, taksi menjadi pilihan. Mekarnya kelas menengah ini pula yang ikut menggelembungkan populasi taksi di Kota Lunpia ini.

Dengan jumlah penduduk sekitar 1,6 juta jiwa, Kota Semarang bisa dipastikan bakal mengalami masalah kepadatan lalu lintas serupa yang sudah dialami Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Jumlah sepeda motor diperkirakanlebih dari 500 ribu unit, sedangkan mobil sekitar 200 ribu unit. Itu belum termasuk kendaraan bermotor dari luar daerah yang lalu lalang di kota ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2010 panjang jalan (semua jenis) di Kota Semarang tercatat 2.691 kilometer. Bila perekonomian terus membaik, jumlah kendaraan bermotor bakal terus bertambah, sementara penambahan panjang dan lebar jalan tidak secepat pertambahan jumlah kendaraan darat ini. Bila semua mobil dan sepeda motor di Kota Semarang ditata berderet, itu sudah memakan panjang jalan sekitar 1.100 kilometer. Padahal tidak semua jalan yang disebut bisa dilalu mobil.

DKI Jakarta sudah membuktikan penambahan jalan tol sebanyak apa pun tidak akan pernah mampu mengurangi kemacetan lalu lintas. Pembangunan jalan layang di tengah kota juga hanya sebentar saja meredam kemacetan. Moda TransJakarta yang dirintis oleh Sutiyoso dan terus disempurnakan hingga duet Gubernur Joko Widodo dan Wagub Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), masih membutuhkan waktu lama agar menjadi pilihan utama warga Ibu Kota.

Namun, kehadiran TransJakarta setidaknya memberi harapan bahwa transportasi publik yang aman dan nyaman, syukur-syukur murah, bisa menjadi pilihan mayoritas warga perkotaan. Di negara-negara maju, seperti Jepang dan Inggris, angkutan umum menjadi pilihan mayoritas warga dalam aktivitas sehari-hari.

Mumpung kemacetan di Kota Semarang belum separah Jakarta, Pemerintah Kota Semarang harus lebih fokus menyiapkan prasarana angkutan publik yang lebih memadai dibandingkan yang ada sekarang ini. Rencana pembangunan jembatan layang di Jatingaleh, diperkirakan hanya menjadi solusi temporer. "Flyover" Kalibanteng yang sudah beroperasi saat ini memang bisa mengurai kepadatan lalu lintas, tapi efektivitasnya sangat sulit dipertahankan hingga satu dekade ke depan.

Untuk menghindari datangnya "neraka" di jalan-jalan utama di Kota Semarang, solusi terbaiknya menyediakan angkutan publik yang nyaman, aman, tepat waktu, dan terjangkau. Apabila ketiga kebutuhan ini bisa terpenuhi, orang akan melirik kembali angkutan umum.

Gagasan memperluas trayek-trayek BRT hingga ke kompleks-kompleks perumahan menjadi agenda mendesak yang harus diwujudkan. Hampir semua akses ke kompleks perumahan sudah diwarnai kemacetan pada jam-jam sibuk akibat membeludaknya mobil dan sepeda motor. Gagasan membangun monorel juga layak dikaji.

Pemkot Semarang harus fokus dan serius pada pembangunan transportasi publik bila tidak ingin wajah-wajah warganya kian kusut akibat sehari-hari menghadapi lalu lintas yang semakin semrawut.

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024