Di tempat itu, dia berdiri dengan tangan kirinya memegang lonceng gereja terbuat dari besi yang sudah berkarat, sedangkan tangan kanannya membawa palu besi.
Ia kemudian menabuh loceng itu berkali-kali sebagai penanda kepada umat Katolik di Desa Gantang, Kecamatan Sawangan, tersebut bahwa prosesi jalan salib untuk memperingati Jumat Agung sebagai perenungan atas wafat Yesus di kayu salib segera dimulai.
Seakan dalam iringan dentang lonceng gereja itu, umat yang masing-masing membawa salib dari bambu ukuran panjang 30 sentimeter, kemudian berjalan kaki dengan berbondong-bondong menuju pertigaan jalan beraspal di Dusun Mangun yang berjarak sekitar 2 kilometer dari gereja itu.
Sebagian umat lainnya yang setiap hari bekerja sebagai petani sayuran di kawasan itu, telah bersiap di pertigaan jalan tersebut untuk menjalani prosesi Jumat Agung yang mereka menamai "Seribu Jalan Salib" dengan dipimpin Romo Agustinus Tejo Kusumantono.
Perayaan Jumat Agung sebagai bagian dari Tri Hari Suci Paskah yang ditandai dengan prosesi jalan salib oleh umat Katolik itu untuk mengenang peristiwa kematian Yesus guna memenuhi janji Allah menebus dosa-dosa manusia, melalui pengorbanan hingga kematian Putra-Nya itu di kayu salib di Bukit Golgota.
"'Kita nindakaken margi pamenthangan Dalem Gusti. Karana manggul salib, neguhaken pengandel kita dhumateng Gusti, ngraosaken sangsara Dalem ingkang agung, margi tresna dhateng manungsa. Katresnan ingkang tanpa upami. Salib gesang, kita tunggilaken kaliyan salib Dalem'," kata Romo Tejo dalam bahasa Jawa, saat mengajak umat mulai merenungkan Jumat Agung melalui prosesi yang mereka namai "Seribu Jalan Salib".
Arti kata-kata Sang Romo itu, kurang lebih mengajak umat menjalani prosesi jalan salib karena dengan memanggul salib, umat diteguhkan imannya. Umat turut merasakan penderitaan Yesus disalib untuk tujuan yang agung itu, karena Ia mencintai manusia. Cinta kasih Yesus Kristus tiada bandingnya. Salib (penderitaan dan solidaritas, red.) umat sehari-hari, disatukan dengan salib Yesus yang mulia, melalui prosesi tersebut.
Di pertigaan jalan dusun setempat itu, umat memperagakan peradilan terhadap Yesus (Noel Suramin) oleh Ponsius Pilatus (Petrus Wiyono) dan Imam Agung (Yulius Sukri). Beberapa lainnya berperan sebagai Bunda Maria, (Ediyati), Maria Magdalena (Yani), dan para perempuan Yerusalem lainnya.
Selain itu, peraga lainnya, yakni Veronika (Suyatni) yang mengusap wajah Yesus saat memanggul salib dan Simon (Riyono) yang menggantikan Yesus memanggul salib, serta 12 orang lainnya sebagai prajurit Romawi yang mencambuk, menghujat, dan mencerca Yesus selama jalan penyaliban, serta memasang mahkota duri di kepala Yesus.
Tubuh dan wajah pemeran Yesus makin berubah menjadi berwarna merah (tanda warna darah, red.) setiap kali cambukan dari properti cemeti dihunjamkan oleh para serdadu Romawi.
Hujatan, cercaan, tendangan, dan pukulan para serdadu itu terhadap Yesus menambah kesan suasana miris yang dirasakan oleh umat dalam prosesi itu.
Air mata sebagian besar umat pun berderai. Tangan-tangan mereka yang sesekali mengusap deraian air mata itu, kemudian seakan memegang erat setiap salib bambu yang mereka bawa.
Prosesi itu kemudian dilanjutkan umat melalui jalan kaki sambil mendaraskan doa "Jalan Salib" sejauh 2 kilometer menyusuri jalan aspal dusun di kawasan tersebut, dengan pemeran Yesus yang memanggul salib terus mendapatkan sabetan properti cemeti dan hujatan para serdadu tersebut.
Dalam prosesi "Seribu Jalan Salib" itu, umat yang seakan tak bisa menghentikan derai air mata kesedihan atas penderitaan salib Yesus, mendaraskan doa-doa. Prosesi jalan salib tiba di tanah lapang tak jauh dari bangunan sekolah dasar di Desa Gantang atau dekat dengan gereja setempat. Di tanah lapang yang menjadi simbol Bukit Golgota itu, dikisahkan bahwa para serdadu menyalibkan Yesus dengan salib setinggi sekitar 4 meter.
Dikisahkan, setelah Yesus dipastikan wafat, kemudian para serdadu meninggalkannya, dan Yesus diturunkan dari salib untuk selanjutnya dimakamkan.
Sejumlah petugas kemudian menempatkan patung "Pieta" di bawah salib bambu setinggi 4 meter itu. Patung "Pieta" menggambarkan Bunda Maria sedang memangku jenazah Yesus.
Para perempuan Yerusalem dikisahkan bersimpuh di bawah salib itu. Seluruh umat yang raut wajahnya tampak menunjukkan duka kemudian juga berkerumun dan bersimpuh di bawah patung Bunda Maria sedang memangku jenazah Yesus.
Tiga orang, yakni Wiyono, Sudarman, dan Sukri, yang masing-masing mengenakan jubah warna putih, secara bergantian membacakan geguritan berjudul "Ingsun Tansah Nunggal ing Sira, Nganti Pungkasaning Jaman" (Aku selalu bersamamu, hingga akhir zaman) dengan iringan musik gamelan.
Syair-syair geguritan karangan mereka itu, selain bertutur tentang perjalanan kemanusiaan Yesus, menggemban misi Putra Allah, yakni menebus dosa manusia melalui penyaliban.
"'Panjenenganipun jumeneng juru wilujeng lan Gusti. Ing pundia kemawon pawartos punika kaluntakaken, ing ngriku gesang enggal, pengajeng-ajeng enggal, sarta tujuan gesang ingkang enggal dados kayektosan. Sedanipun ing kajeng salib inggih elok. Watasis 2.013 tahun kapengker Allah Gustining Sarwa Dumados ngutus Kang Putra ontang-anting, Gusti Yesus, dados kurban dosaning umat manungsa sadaya. Panjenenganipun seda kangge kita sadaya'," demikian salah satu bait geguritan yang mereka bacakan.
Arti kalimat tersebut, kira-kira bahwa Yesus yang sumber kehidupan dan Allah itu memberikan hidup baru. Di mana pun pewartaan disampaikan, menjadi sumber pengharapan baru dan tujuan hidup baru yang menjadi kenyataan. Wafat-Nya di kayu salib sebagai peristiwa agung. Sekitar 2.013 tahun lalu, Allah Bapa mengutus Putra yang tunggal itu menjadi kurban, untuk penebusan dosa-dosa manusia. Kematian Yesus untuk kehidupan umat manusia.
Mereka juga mendaraskan doa secara takzim dalam bahasa Jawa, "Gusti Yesus, kawula mbetahaken Paduka. Matur nuwun dene Paduka kersa seda, ngrembat dosa kawula. Kawula mbikak korining gesang kawula, nampeni Paduka dados juru wilujeng lan Gusti kawula. Mugi Paduka reh gesang kawula, saha Paduka wangun dados gesang ingkang nyondhong klayan kersa Paduka".
Ungkapan doa itu kira-kira artinya, "Allah, kami membutuhkan Engkau. Terima kasih Engkau rela mati, menebus dosa kami. Kami membuka pintu hati kami, untuk menerima Engkau menjadi sumber hidup dan Allah kami. Semoga Engkau menguasai hidup kami dan membangun menjadi hidup yang selalu mengharapkan kehendak-Mu".
Romo Tejo pun kemudian mengajak umat setempat selalu rela berkorban dan membaktikan diri kepada Allah dengan setia dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana telah dilakukan oleh Yesus melalui pengorbanan dan bakti-Nya kepada Allah Bapa, melalui jalan salib untuk membebaskan manusia dari dosa-dosa.
"'Kita dados umat Dalem ingkang taksih tuhu, caos pangabekti ing sak ngandhap salib Dalem. Pangabekti minangka abdi Dalem ingkang nyadhong sih kawelasan, lumantar panebusan Dalem. (Kita menjadi umat Allah yang setia, berbakti di bawah salib Tuhan, sebagai abdi Allah yang selalu memohon belas kasih-Nya, karena dosa-dosa kita telah ditebus oleh Yesus)," katanya.
Perayaan Jumat Agung oleh umat Katolik kawasan Gunung Merbabu melalui prosesi "Seribu Jalan Salib" itu, semoga menjadi deraian atas penguatan iman mereka.