Solo (ANTARA) - Pakar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Muhammad Rustamaji menyoroti kasus pagar laut yang hingga saat ini belum tuntas proses penyelesaiannya.
Pada diskusi daring Jarcomm Nusantara Series IV bertema Polisi Tolak Petunjuk Jaksa dalam Kasus Pagar Laut, Ada Apakah? di Solo, Jawa Tengah, Jumat Rustamaji menyoroti soal penyidik Bareskrim yang bersikukuh memakai Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.
Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat pelaku dengan UU tindak pidana korupsi (Tipikor). Oleh karena itu, Kejagung memberikan masukan kepada penyidik Polri agar memasukkan jeratan tindak pidana korupsi.
Terkait hal itu, ia menilai petunjuk dari Kejaksaan yang menilai kasus pagar laut masuk tuduhan tindak pidana korupsi itu masuk akal.
Apalagi pagar laut yang membentang sepanjang 30,6 km dinilai sistematis. Hal itu berdampak pada kerugian yang mencapai puluhan miliar rupiah. Pada kasus tersebut, diketahui ada 20 perusahaan besar memiliki 260 SHM di pagar laut.
Menurut dia, Kejaksaan tidak akan serampangan dalam memberikan petunjuk.
"Jadi kalau hanya Pasal 263 yang diputuskan Bareskrim Polri tidak layak untuk kasus sebesar itu. Patut dicurigai dan dipertanyakan," katanya.
Ia mengatakan jika kepolisian bersikukuh dengan Pasal 263 dan tidak membuka jalan UU Tipikor seperti petunjuk jaksa, justru ke depan nama Polri jadi taruhan. Apalagi, pagar laut adalah kasus besar dan ekspektasi masyarakat terkait penyelesaian kasus tersebut juga besar.
Rustamaji mengatakan dalam sistem hukum Indonesia, hubungan antara penyidik dan penuntut umum tidak dapat dipisahkan dan diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Penyidik kepolisian seharusnya mau menerima setiap petunjuk jaksa dalam pengusutan kasus, karena yang bertanggung jawab dalam pembuktian di persidangan adalah jaksa selaku penuntut umum, bukan penyidik polisi," katanya.
Apalagi, kasus ini tidak hanya dilaporkan ke polisi tetapi juga ke Kejaksaan Agung dan KPK. Hanya saja karena surat keputusan bersama (SKB), maka polisi yang melakukan penyidikan dahulu.
"Laporannya dugaan korupsi. Jika masih ngotot dengan Pasal 263 dan menolak petunjuk masukan jaksa, citra kepolisian bisa redup," katanya.
Ia mengatakan seharusnya ada hal yang bisa ditelisik lebih lanjut melalui masukan jaksa, yakni berlandaskan Pasal 2 dan 3 UU Tipikior dengan pencabutan kewenangan.
"Maka, polisi harusnya selain memakai Pasal 263, bisa dilapisi Pasal 55 KUHP yang bisa difungsikan sebagai pemidanaan seseorang. Di balik Kades Kohod siapa, harus dibuka. Jika ada masukan jaksa, kewajiban polisi untuk melaksanakannya. Jangan berhenti Pasal 263, lanjut ke Pasal 55," katanya.
Pada acara yang sama, Advokat Peradi Jawa Tengah Badrus Zaman mengatakan seharusnya penyidik dengan jaksa koordinasi aktif mengingat kasus ini menjadi perhatian publik.
Ia mengatakan petunjuk jaksa agar kasus pagar laut memakai UU Tipikor merupakan bagian dari transparansi dalam hukum.
"Kita harus menyelamatkan peradilan kita, harus diperbaiki. Kalau petunjuk kejaksaan itu jelas, polisi juga bisa bertanya dan berdiskusi secara profesional," katanya.
Ia menilai petunjuk jaksa bisa dikembangkan oleh penyidik kepolisian sehingga pemeriksaan tidak hanya berhenti di Kades Kohod.
"Polisi harus berani memeriksa pembuat SHM di pagar laut yang jumlahnya ratusan dokumen itu. Kalau dikembangkan itu, menurut saya bisa juga kemungkinan ada tersangka-tersangka lain," katanya.