Semarang (ANTARA) - Matematika sering dianggap momok oleh banyak siswa, terutama ketika membahas topik pecahan. Konsepnya yang abstrak dan sulit dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari membuat banyak anak merasa kesulitan.
Namun, di sekolah diseminasi program Tanoto Foundation ini, pecahan menjadi salah satu topik favorit siswa. Semua berkat sebuah inovasi sederhana yakni menggunakan semangka sebagai media pembelajaran.
Inisiatif ini lahir dari tantangan yang dihadapi dalam pembelajaran. Di kelas 3, siswa sering merasa bingung saat harus memahami konsep pecahan dari buku teks saja. Motivasi mereka rendah, dan pemahaman mereka terhadap materi pun terbatas. Dibutuhkan sebuah pendekatan baru berupa cara yang menarik, menyenangkan, sekaligus relevan dengan keseharian siswa.
Semangka dipilih karena keakraban dan kesederhanaannya. Sebagai buah yang sering dijumpai di kehidupan sehari-hari, semangka menjadi media yang sangat mudah dipahami oleh siswa. Media pembelajaran ini dibuat dari kertas yang dipotong menyerupai potongan semangka. Setiap potongan merepresentasikan bagian tertentu dari pecahan, misalnya 1/4, 1/8, atau 1/2. Dengan pendekatan ini, siswa diajak untuk "melihat" dan "merasakan" pecahan, bukan hanya membayangkannya.
Metode pembelajarannya dimulai dengan pengenalan konsep pecahan secara sederhana. Guru memotong semangka tiruan di depan kelas sambil menjelaskan arti dari setiap potongan. Proses ini dilanjutkan dengan aktivitas kelompok. Setiap kelompok diberikan "semangka" untuk dipotong dan dihitung sesuai dengan instruksi. Diskusi kelompok ini bukan hanya meningkatkan pemahaman siswa, tetapi juga melatih keterampilan mereka dalam bekerja sama dan menyelesaikan masalah.
Salah satu momen paling menarik adalah ketika siswa diminta mempraktikkan pembagian yang adil. Potongan semangka yang mereka bagi-bagi menjadi pengingat bahwa prinsip keadilan tidak hanya berlaku dalam matematika, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Pembelajaran ini bahkan dikaitkan dengan isu global, seperti konsumsi yang bertanggung jawab, sesuai prinsip SDG 12. Guru melibatkan siswa dalam diskusi tentang bagaimana menghindari pemborosan makanan, berbagi sumber daya dengan adil, dan mengonsumsi sesuai kebutuhan.
Melalui contoh semangka, siswa tidak hanya belajar matematika tetapi juga memahami bahwa pembagian yang adil dan konsumsi yang bertanggung jawab adalah hal penting untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dengan memahami bahwa makanan, air, dan sumber daya lainnya terbatas, siswa belajar menjadi individu yang peduli lingkungan sejak dini.
Hasilnya luar biasa. Siswa yang sebelumnya kesulitan memahami pecahan kini merasa lebih percaya diri. "Belajar pecahan jadi gampang dan seru," ujar Khansa, salah satu siswa kelas 3C. "Aku bisa lihat langsung kalau satu per delapan artinya satu semangka dibagi delapan bagian yang sama. Jadi, lebih mudah dipahami!"
Kesan serupa datang dari siswa lainnya. Shakilla, teman sekelas Khansa, mengatakan, "Senang banget belajar pakai semangka! Dulu aku nggak ngerti pecahan, tapi sekarang jadi paham. Ternyata pecahan itu nggak sesulit yang aku pikirkan."
Inovasi ini tidak hanya meningkatkan pemahaman siswa terhadap pecahan, tetapi juga membuat mereka lebih termotivasi untuk belajar matematika. Melalui pendekatan yang kontekstual, pembelajaran yang sebelumnya dianggap sulit menjadi pengalaman yang menyenangkan dan relevan. Bahkan, siswa mulai menerapkan konsep pecahan dalam kehidupan sehari-hari, seperti membagi makanan atau barang lainnya.
Pembelajaran dengan media semangka ini menjadi bukti bahwa kreativitas guru memiliki dampak besar dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui langkah-langkah sederhana namun terencana, siswa dapat belajar dengan cara yang menyenangkan sekaligus bermakna. Media seperti semangka juga dapat dikembangkan lebih lanjut menggunakan buah atau benda lain yang relevan dengan kehidupan siswa, sehingga pembelajaran terus terasa segar dan menarik. ***
*) Penulis adalah guru SD Pasirkaliki Mandiri 2, Kota Cimahi