Akademisi : Festival Lima Gunung arena pendidikan budaya
Magelang (ANTARA) - Festival Lima Gunung Kabupaten Magelang sebagai arena pendidikan budaya bagi generasi muda, terutama kesenian tradisional dan kearifan lokal, kata pengamat seni Universitas Islam Negeri (UIN) Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (Saizu) Purwokerto Fajry Sub'haan Syah Sinaga.
"Dari sudut pandang saya lebih ke pendidikan, karena saya meyakini (Festival Lima Gunung, red.) sebagai sebuah pendidikan kaitan dengan seni, apresiasi, yang mana di sini banyak sekali seni-seni kerakyatan, seni-seni dari daerah lain," katanya di Magelang, Jawa Tengah Sabtu sore.
Ia mengemukakan hal itu ketika berkomentar tentang Festival Lima Gunung XXII/2023 di Kabupaten Magelang, selama 25-27 Agustus 2027, yang secara rutin setiap tahun diselenggarakan secara mandiri berdasarkan kekuatan warga desa tuan rumah ajang tersebut. Pelopor penyelenggaraan setiap tahun festival tersebut, kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Kabupaten Magelang.
Mereka yang hadir untuk menonton dan melakukan pementasan dalam festival tersebut, ujarnya, bukan hanya kalangan orang dewasa, akan tetapi juga anak-anak sekolah dan kalangan mahasiswa dari berbagai tempat, serta seniman baik di daerah itu maupun luar kota di Indonesia dan luar negeri. Para budayawan, pemerhati seni, dan penikmat seni dari berbagai kota juga hadir dalam festival tersebut.
"Yang nonton juga banyak anak-anak sekolah. Artinya Festival Lima Gunung merupakan sebuah proses pendidikan kebudayaan yang dihadirkan dengan rasa sukacita. Festival ini betul-betul festival dari kata 'festiv', yang sangat ramai, riuh, bervariasi," ujar Fajri yang pengajar seni Fakultas Tarbiyah UIN Saizu Purwokerto dan mahasiswa Program Studi Strata 3 Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.
Festival Lima Gunung XXII/2023 menyuguhkan berbagai pementasan kesenian, seperti tari-tarian, musik, pembacaan puisi, performa seni, pentas kolaborasi seni, teater, kirab budaya, penyerahan Lima Gunung Award kepada sejumlah tokoh, dan pidato kebudayaan.
Sekitar 80 grup kesenian dengan total sekitar 1.700 personel dari berbagai kelompok seniman di daerah itu, luar kota, dan luar negeri menggelar pementasan di panggung raksasa Festival Lima Gunung XXII/2023 yang dibuat warga bersama pegiat Komunitas Lima Gunung menggunakan berbagai bahan alami setempat.
Ia mengemukakan mereka dari kalangan generasi muda, pelajar, dan mahasiswa yang mengikuti pementasan pada festival tersebut ataupun sebagai penonton acara seni dan budaya itu, sekaligus menjalani proses pendidikan kebudayaan.
"Jauh-jauh ke sini mereka latihan, bukan sesuatu yang mudah. Biasanya anak-anak itu harus meluangkan latihan dibandingkan hanya sekadar di kelas, meluangkan tenaga, pikiran, dan mungkin biaya untuk menjadi penampil di Festival Lima Gunung. Ini ada proses pendidikan (kebudayaan, red.) luar biasa," ujar dia.
Pada kesempatan itu, Fajri bersama delapan mahasiswa UIN Saizu Purwokerto mementaskan musikalisasi puisi "Kidung Tengah Malam", karya Guru Besar Bahasa dan Satra UIN Saizu Purwokerto Prof. Abdul Wahid, dengan iringan angklung, gamelan, kendang, piano, dan tarian kontemporer
Kemungkinan, ujar dia, hasil dari proses itu tidak bisa segera dirasakan atau terlihat secara seketika atau saat ini, akan tetapi ke depan menjadi berarti penting karena sebagai tunas budayawan atau seniman Indonesia.
Ia juga mengemukakan tentang manfaat penting warga desa sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung, antara lain menjadi muara aliran energi-energi seni dan budaya dari berbagai daerah.
"Dalam proses pendidikan, media pembelajaran, bahan ajar, materi-materi yang berkaitan dengan kebudayaan datang sendiri ke sini (desa tuan rumah Festival Lima Gunung, red.). Itu luar biasa," ucapnya.
Untuk selanjutnya, katanya, warga dan mereka lainnya yang mengunjungi serta berpartisipasi dalam festival tersebut menjalani proses internalisasi masing-masing menjadi kekuatan kebudayaan Indonesia.
"Dari sudut pandang saya lebih ke pendidikan, karena saya meyakini (Festival Lima Gunung, red.) sebagai sebuah pendidikan kaitan dengan seni, apresiasi, yang mana di sini banyak sekali seni-seni kerakyatan, seni-seni dari daerah lain," katanya di Magelang, Jawa Tengah Sabtu sore.
Ia mengemukakan hal itu ketika berkomentar tentang Festival Lima Gunung XXII/2023 di Kabupaten Magelang, selama 25-27 Agustus 2027, yang secara rutin setiap tahun diselenggarakan secara mandiri berdasarkan kekuatan warga desa tuan rumah ajang tersebut. Pelopor penyelenggaraan setiap tahun festival tersebut, kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) di Kabupaten Magelang.
Mereka yang hadir untuk menonton dan melakukan pementasan dalam festival tersebut, ujarnya, bukan hanya kalangan orang dewasa, akan tetapi juga anak-anak sekolah dan kalangan mahasiswa dari berbagai tempat, serta seniman baik di daerah itu maupun luar kota di Indonesia dan luar negeri. Para budayawan, pemerhati seni, dan penikmat seni dari berbagai kota juga hadir dalam festival tersebut.
"Yang nonton juga banyak anak-anak sekolah. Artinya Festival Lima Gunung merupakan sebuah proses pendidikan kebudayaan yang dihadirkan dengan rasa sukacita. Festival ini betul-betul festival dari kata 'festiv', yang sangat ramai, riuh, bervariasi," ujar Fajri yang pengajar seni Fakultas Tarbiyah UIN Saizu Purwokerto dan mahasiswa Program Studi Strata 3 Pendidikan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu.
Festival Lima Gunung XXII/2023 menyuguhkan berbagai pementasan kesenian, seperti tari-tarian, musik, pembacaan puisi, performa seni, pentas kolaborasi seni, teater, kirab budaya, penyerahan Lima Gunung Award kepada sejumlah tokoh, dan pidato kebudayaan.
Sekitar 80 grup kesenian dengan total sekitar 1.700 personel dari berbagai kelompok seniman di daerah itu, luar kota, dan luar negeri menggelar pementasan di panggung raksasa Festival Lima Gunung XXII/2023 yang dibuat warga bersama pegiat Komunitas Lima Gunung menggunakan berbagai bahan alami setempat.
Ia mengemukakan mereka dari kalangan generasi muda, pelajar, dan mahasiswa yang mengikuti pementasan pada festival tersebut ataupun sebagai penonton acara seni dan budaya itu, sekaligus menjalani proses pendidikan kebudayaan.
"Jauh-jauh ke sini mereka latihan, bukan sesuatu yang mudah. Biasanya anak-anak itu harus meluangkan latihan dibandingkan hanya sekadar di kelas, meluangkan tenaga, pikiran, dan mungkin biaya untuk menjadi penampil di Festival Lima Gunung. Ini ada proses pendidikan (kebudayaan, red.) luar biasa," ujar dia.
Pada kesempatan itu, Fajri bersama delapan mahasiswa UIN Saizu Purwokerto mementaskan musikalisasi puisi "Kidung Tengah Malam", karya Guru Besar Bahasa dan Satra UIN Saizu Purwokerto Prof. Abdul Wahid, dengan iringan angklung, gamelan, kendang, piano, dan tarian kontemporer
Kemungkinan, ujar dia, hasil dari proses itu tidak bisa segera dirasakan atau terlihat secara seketika atau saat ini, akan tetapi ke depan menjadi berarti penting karena sebagai tunas budayawan atau seniman Indonesia.
Ia juga mengemukakan tentang manfaat penting warga desa sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung, antara lain menjadi muara aliran energi-energi seni dan budaya dari berbagai daerah.
"Dalam proses pendidikan, media pembelajaran, bahan ajar, materi-materi yang berkaitan dengan kebudayaan datang sendiri ke sini (desa tuan rumah Festival Lima Gunung, red.). Itu luar biasa," ucapnya.
Untuk selanjutnya, katanya, warga dan mereka lainnya yang mengunjungi serta berpartisipasi dalam festival tersebut menjalani proses internalisasi masing-masing menjadi kekuatan kebudayaan Indonesia.