Festival Lima Gunung 2020 pamerkan wayang karya maestro Rastika
Magelang (ANTARA) - Festival Lima Gunung XIX/2020 di tengah pandemi COVID-19 memamerkan koleksi wayang Cirebon karya maestro pembuat wayang Rastika (1942-2014) di Studio Mendut, sekitar 100 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pameran yang berlangsung sampai 30 November 2020 itu dibuka dengan penonton dalam jumlah relatif terbatas di Magelang, Minggu, antara lain ditandai performa seni oleh lima dalang di Kabupaten dan Kota Magelang bersama sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung --pemrakarsa Festival Lima Gunung--, pentas suluk, pembacaan doa, dan sarasehan pedalangan.
Lima dalang ikut berperforma seni dengan berjalan mengelilingi arena studio seni budaya yang dikelola budayawan Magelang Sutanto Mendut yaitu, Triyono Lebdo Carito (Pakis), Sih Agung Prasetyo dan Sitras Anjilin (Komunitas Lima Gunung), Susilo Anggoro (Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia/Pepadi Kota Magelang), dan Muhyad Adicarito (Ketua Pepadi Kabupaten Magelang).
Baca juga: Seniman petani Lima Gunung kolaborasi pentas dengan santri
Dalam performa itu, masing-masing seniman membawa tokoh wayang dan gunungan wayang gaya Cirebon, dupa, dan bunga mawar warna merah serta putih.
Dalam rangkaian performa dengan instalasi seni berupa sejumlah kursi bambu ukuran tinggi 2-5 meter di panggung studio terbuka itu, sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung, seperti Handoko, Lyra de Blaw, dan Nabila Rifani, serta dua mahasiswi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Winda dan Maya, memainkan performa gerak, tari, dan bunyi yang bercerita tentang lakon dunia pewayangan, "Begawan Ciptaning".
Wayang Cirebon yang dipamerkan tersebut selama ini menjadi koleksi budayawan dan perintis Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut. Selama hidupnya, Rastika bersahabat dekat dengan Tanto Mendut. Tanto juga mengoleksi cukup banyak lukisan kaca karya sang maestro itu.
Tanto menyebut memiliki satu kotak wayang kulit gaya Cirebon dengan sekitar 200 tokoh wayang Mahabharata dan Ramayana yang satu demi satu dibuat sepanjang hidup oleh Rastika.
Rastika, disebut dia, membuat wayang kulit sejak sekitar 1970 dan terakhir pada 2010. Sebelum berpulang pada 2014, Rastika berpesan kepada keluarganya untuk menjadikan karya wayang itu koleksi Tanto Mendut. Setahun setelah Rastika wafat, keluarganya membawa wayang-wayang tersebut ke Tanto Mendut untuk dikoleksi di Studio Mendut. Tanto tidak bersedia menyebut harga waktu itu untuk penggantian koleksi sekotak wayang karya Rastika.
"Ini soal kedekatan dan kepercayaan. Tetapi wayang itu dibuat satu demi satu di sela ketekunannya membuat lukisan kaca. Saya juga membeli lukisan kaca Rastika sejak 1988," ujarnya usai pembukaan pameran dalam lanjutan Festival Lima Gunung XIX/2020 untuk putaran kesembilan di tengah pandemi COVID-19. Festival berlangsung sejak awal Agustus hingga akhir Desember mendatang.
Seiring dengan umurnya yang makin tua, Sutanto mengemukakan pentingnya ada sosok, lembaga, atau institusi di dalam atau luar negeri yang tepat untuk melanjutkan pengoleksian wayang Cirebon karya maestro Rastika itu.
Pameran tersebut, disebut dia, mencari alamat yang tepat untuk kelanjutan pelestarian karya sang maestro.
"Pameran ini untuk mencari alamat, untuk ketemu orang yang pas atau lembaga yang tepat untuk merawat. Syaratnya, antara lain ada kuratorium, mempunyai tempat terawat, harus diteliti, dipelajari dengan disiplin ilmu dan nilai secara interdisipliner, wayang Cirebon ini ada nilai-nilai keislaman dan artistik, tanaman, dan alam. Harus jatuh ke alamat yang tepat," ujarnya.
Pada kesempatan itu, antara lain dalang Triyono mengemukakan tentang silsilah keluarga dalang di Magelang dan sekitarnya, sedangkan Susilo Anggoro selain mengemukakan eksistensi pedalangan Cirebon juga tentang kekhasan pameran wayang Cirebon yang justru dilakukan di Magelang dengan masyarakat pada umumnya yang lebih dekat dengan wayang gaya Yogyakarta dan Surakarta.
Muhyad mengemukakan tentang relief wayang di Candi Borobudur dan pergeseran perkembangan kebudayaan pewayangan dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur pada masa lampau atau zaman kerajaan, termasuk perkembangan pedalangan di kawasan pantai utara timur dan barat Pulau Jawa, termasuk Cirebon.
"Wayang 'gagerak' (gaya) Cirebon ini lebih dekat dengan wayang 'gagerak' Kedu (Wilayah eks-Keresidenan Kedu, di dalamnya termasuk Magelang, red.)," katanya.
Sitras Anjilin antara lain menyebut keberadaan dalang yang karena keturunan dan dalang yang bukan dari keturunan, di mana keduanya harus terus belajar agar semakin andal kemampuannya, baik dalam menyajikan pementasan maupun memaknai lakon demi lakon sesuai perkembangan zaman.
"Dalang-dalang yang bisa mengikuti kebutuhan itu sangat jarang, zaman sekarang yang baru bisa sesuai dengan zamannya baru durasi. Durasi diperpendek, tetapi untuk menciptakan pakeliran padat harus betul-betul bisa dirasakan intinya," ujar dia.
Baca juga: Bagi Komunitas Lima Gunung, pandemi bukan halangan berkarya
Baca juga: Festival Lima Gunung diusung ke Universitas Mulawarman
Pameran yang berlangsung sampai 30 November 2020 itu dibuka dengan penonton dalam jumlah relatif terbatas di Magelang, Minggu, antara lain ditandai performa seni oleh lima dalang di Kabupaten dan Kota Magelang bersama sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung --pemrakarsa Festival Lima Gunung--, pentas suluk, pembacaan doa, dan sarasehan pedalangan.
Lima dalang ikut berperforma seni dengan berjalan mengelilingi arena studio seni budaya yang dikelola budayawan Magelang Sutanto Mendut yaitu, Triyono Lebdo Carito (Pakis), Sih Agung Prasetyo dan Sitras Anjilin (Komunitas Lima Gunung), Susilo Anggoro (Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia/Pepadi Kota Magelang), dan Muhyad Adicarito (Ketua Pepadi Kabupaten Magelang).
Baca juga: Seniman petani Lima Gunung kolaborasi pentas dengan santri
Dalam performa itu, masing-masing seniman membawa tokoh wayang dan gunungan wayang gaya Cirebon, dupa, dan bunga mawar warna merah serta putih.
Dalam rangkaian performa dengan instalasi seni berupa sejumlah kursi bambu ukuran tinggi 2-5 meter di panggung studio terbuka itu, sejumlah seniman Komunitas Lima Gunung, seperti Handoko, Lyra de Blaw, dan Nabila Rifani, serta dua mahasiswi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Winda dan Maya, memainkan performa gerak, tari, dan bunyi yang bercerita tentang lakon dunia pewayangan, "Begawan Ciptaning".
Wayang Cirebon yang dipamerkan tersebut selama ini menjadi koleksi budayawan dan perintis Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut. Selama hidupnya, Rastika bersahabat dekat dengan Tanto Mendut. Tanto juga mengoleksi cukup banyak lukisan kaca karya sang maestro itu.
Tanto menyebut memiliki satu kotak wayang kulit gaya Cirebon dengan sekitar 200 tokoh wayang Mahabharata dan Ramayana yang satu demi satu dibuat sepanjang hidup oleh Rastika.
Rastika, disebut dia, membuat wayang kulit sejak sekitar 1970 dan terakhir pada 2010. Sebelum berpulang pada 2014, Rastika berpesan kepada keluarganya untuk menjadikan karya wayang itu koleksi Tanto Mendut. Setahun setelah Rastika wafat, keluarganya membawa wayang-wayang tersebut ke Tanto Mendut untuk dikoleksi di Studio Mendut. Tanto tidak bersedia menyebut harga waktu itu untuk penggantian koleksi sekotak wayang karya Rastika.
"Ini soal kedekatan dan kepercayaan. Tetapi wayang itu dibuat satu demi satu di sela ketekunannya membuat lukisan kaca. Saya juga membeli lukisan kaca Rastika sejak 1988," ujarnya usai pembukaan pameran dalam lanjutan Festival Lima Gunung XIX/2020 untuk putaran kesembilan di tengah pandemi COVID-19. Festival berlangsung sejak awal Agustus hingga akhir Desember mendatang.
Seiring dengan umurnya yang makin tua, Sutanto mengemukakan pentingnya ada sosok, lembaga, atau institusi di dalam atau luar negeri yang tepat untuk melanjutkan pengoleksian wayang Cirebon karya maestro Rastika itu.
Pameran tersebut, disebut dia, mencari alamat yang tepat untuk kelanjutan pelestarian karya sang maestro.
"Pameran ini untuk mencari alamat, untuk ketemu orang yang pas atau lembaga yang tepat untuk merawat. Syaratnya, antara lain ada kuratorium, mempunyai tempat terawat, harus diteliti, dipelajari dengan disiplin ilmu dan nilai secara interdisipliner, wayang Cirebon ini ada nilai-nilai keislaman dan artistik, tanaman, dan alam. Harus jatuh ke alamat yang tepat," ujarnya.
Pada kesempatan itu, antara lain dalang Triyono mengemukakan tentang silsilah keluarga dalang di Magelang dan sekitarnya, sedangkan Susilo Anggoro selain mengemukakan eksistensi pedalangan Cirebon juga tentang kekhasan pameran wayang Cirebon yang justru dilakukan di Magelang dengan masyarakat pada umumnya yang lebih dekat dengan wayang gaya Yogyakarta dan Surakarta.
Muhyad mengemukakan tentang relief wayang di Candi Borobudur dan pergeseran perkembangan kebudayaan pewayangan dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa Timur pada masa lampau atau zaman kerajaan, termasuk perkembangan pedalangan di kawasan pantai utara timur dan barat Pulau Jawa, termasuk Cirebon.
"Wayang 'gagerak' (gaya) Cirebon ini lebih dekat dengan wayang 'gagerak' Kedu (Wilayah eks-Keresidenan Kedu, di dalamnya termasuk Magelang, red.)," katanya.
Sitras Anjilin antara lain menyebut keberadaan dalang yang karena keturunan dan dalang yang bukan dari keturunan, di mana keduanya harus terus belajar agar semakin andal kemampuannya, baik dalam menyajikan pementasan maupun memaknai lakon demi lakon sesuai perkembangan zaman.
"Dalang-dalang yang bisa mengikuti kebutuhan itu sangat jarang, zaman sekarang yang baru bisa sesuai dengan zamannya baru durasi. Durasi diperpendek, tetapi untuk menciptakan pakeliran padat harus betul-betul bisa dirasakan intinya," ujar dia.
Baca juga: Bagi Komunitas Lima Gunung, pandemi bukan halangan berkarya
Baca juga: Festival Lima Gunung diusung ke Universitas Mulawarman