Purwokerto (ANTARA) - Pelaksanaan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) khususnya untuk jenjang SMA Negeri perlu ditinjau ulang, kata pengamat pendidikan dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto (FKIP UMP) Efi Miftah Faridli, M.Pd.
"Menurut saya, untuk sistem zonasi sebaiknya tidak hanya siswanya yang dizonasi, gurunya juga dizonasi supaya tidak ada ketimpangan, misalnya ada siswa yang punya nilai baik tapi karena kebijakan zonasi, dia tidak bisa sekolah yang dia inginkan," katanya saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Dalam hal ini, kata dia, siswa yang punya nilai baik itu tersisihkan oleh siswa yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah meskipun nilainya lebih rendah.
Bahkan untuk PPDB SMA Negeri di Purwokerto, kata dia, sebaiknya tidak menggunakan kebijakan zonasi karena empat dari lima SMA Negeri di ibu kota Kabupaten Banyumas itu berada di Kecamatan Purwokerto Timur.
Baca juga: Kepala sekolah di Jateng diminta lakukan verifikasi data PPDB antisipasi kecurangan
"Hanya SMA Negeri 3 Purwokerto yang berlokasi di Kecamatan Purwokerto Barat. Dengan demikian, sebaiknya tidak menggunakan kebijakan zonasi, tetapi berdasarkan prestasi dan keunggulan di sekolah tersebut. Batas kelulusan (passing grade) ditentukan, tinggal nanti para kepala sekolah, Dinas Pendidikan, dan para pengambil kebijakan bersepakat supaya tidak ada ketimpangan antara siswa yang satu dan siswa yang lain," katanya.
Selain itu, kata dia, tidak ada penumpukan jumlah pendaftar ke sekolah tertentu.
Dia mencontohkan SMA Negeri 3 Purwokerto yang pernah punya program unggulan berupa kelas atlet bisa dipertimbangkan kembali sehingga siswa yang berasal dari luar zonasinya bersedia mendaftar di sekolah tersebut.
Potensi kecurangan
Disinggung mengenai kemungkinan adanya kecurangan yang dilakukan calon siswa agar diterima di sekolah pilihannya meskipun yang bersangkutan berasal dari luar zona, pengajar Profesi Pendidikan itu mengatakan kecurangan tersebut bisa saja terjadi.
Dalam hal ini, calon siswa dari luar zona tersebut mengupayakan surat keterangan domisili agar bisa masuk zonasi sekolah pilihannya.
"Kemungkinan ada seperti itu. Oleh karena itu, menurut saya Dinas Pendidikan sebaiknya tidak hanya bergerak sendiri, juga harus melibatkan Inspektorat untuk mencegah kemungkinan adanya kecurangan, gratifikasi, dan sebagainya," kata Efi.
Terkait dengan hal itu, dia menegaskan kebijakan zonasi sebaiknya digeser dengan tidak berdasarkan domisili atau jarak sekolah dengan rumah siswa, tetapi berbasis prestasi.
"Mungkin bisa diukur 1-2 tahun, kalau sudah kelihatan hasilnya, yang digeser tidak hanya siswa hasil zonasi setahun-dua tahun ke belakang, tetapi guru-guru yang berprestasi pun digeser untuk mengangkat sekolah-sekolah yang dianggap kurang unggul agar terangkat mutu dan kualitasnya," katanya.
Kendati demikian, dia mengakui sistem zonasi hanya berlaku untuk sekolah negeri, sehingga ada hikmah bagi sekolah-sekolah swasta di daerah-daerah yang peminat sekolah swastanya sedikit guna menjaring siswa lebih banyak.
Penertiban surat domisili
Selain itu, kata dia, sekolah-sekolah di bawah Kementerian Agama pun bisa menjaring calon siswa yang tidak terakomodasi oleh sistem zonasi.
"Jadi, menurut saya, harus ada diskusi kompleks antara Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang terkait sebagai penyelenggara pendidikan itu supaya salah satu pihak tidak dirugikan," katanya.
Saat dihubungi secara terpisah, Kepala Seksi SMA dan SLB Cabang Dinas Pendidikan Wilayah X Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Yuniarso K. Adi mengatakan pihaknya akan menertibkan penggunaan surat keterangan domisili (SKD) dalam PPDB SMA Negeri.
Ia mengatakan jika tempat tinggal calon siswa tersebut berada dalam satu lingkungan dengan sekolah yang dituju secara otomotis akan diterima semua, sehingga hal itu harus diverifikasi.
"Hari ini, kami akan tertibkan. Kami akan verifikasi penggunaan SKD-nya," katanya.
Berdasarkan usia
Sementara, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengatakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan usia sebenarnya sudah sesuai dengan aturan Kemendikbud.
"Masalah usia yang menjadi salah satu pertimbangan seleksi PPDB di DKI Jakarta sebenarnya sudah lama, namun baru diterapkan di DKI Jakarta mulai tahun ini," ujar Hamid di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan usia anak merupakan salah satu persyaratan dalam PPDB. Baik pada Permendikbud No.17/2017 maupun Permendikbud No.44/2019 juga disebutkan, persyaratan calon peserta didik baru kelas satu berusia tujuh hingga 12 tahun, atau paling rendah enam tahun pada 1 Juli tahun berjalan. Untuk SMP berusia paling tinggi 15 tahun pada 1 Juli tahun berjalan, dan untuk jenjang SMA/SMK berusia paling tinggi 21 tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.
"Kita menggunakan usia dalam Permendikbud dan itu tertera dalam aturan Permendikbud tersebut, meskipun banyak yang tidak setuju. Apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sudah sesuai dengan aturan PPDB," kata dia.
Untuk jalur pendaftaran PPDB baru dilaksanakan melalui jalur zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua, dan prestasi. Jalur prestasi pun, tidak hanya prestasi akademik, tapi juga prestasi non akademik.
Sejumlah orang tua murid di Jakarta mengaku tidak setuju dengan aturan seleksi PPDB di DKI Jakarta. Salah satu koordinator orang tua murid, Tita Soedirman, mengaku berdasarkan Permendikbud seharusnya seleksi dilakukan berdasarkan zonasi.
"Kalau berdasarkan umur, kalah anak saya yang mau masuk SMA dengan pendaftar lain yang usianya 20 tahun," kata Tita.
Tita mengaku tidak menyiapkan pilihan lain selain sekolah negeri. Pasalnya jika masuk sekolah swasta yang bagus saat ini sudah tutup pendaftarannya dan biayanya pun mahal.*
Baca juga: Legislator Jateng desak Disdikbud segera atasi permasalahan PPDB
Baca juga: Ganjar datangi Kantor Disdikbud Jateng pantau PPDB daring