Lima pelukis pameran "Candi-Candi Berbisik" di Studio Mendut
Magelang (ANTARA) - Lima pelukis mamerkan karyanya dengan tajuk "Candi-Candi Berbisik" di Studio Mendut, Kabupaten Magelang mulai Minggu hingga 10 Desember 2019.
"Setiap orang punya interpretasi sendiri-sendiri mengenai candi. Candi itu juga penanda setiap zaman. Kalau di sana ada Candi Borobudur, ada Buddha dan Sidharta Gautama, saya membaca di situ ada guru," kata Cipto Purnowo, salah satu di antara lima pelukis yang berpameran di Magelang, Minggu.
Pembukaan pameran, selain ditandai dengan pementasan tarian dari Sanggar Dua Aap dan Sanggar Saujana, serta pembacaan puisi "Matematika Borobudur" (penyair Haris Hertoraharjo), juga diisi pidato silang inspirasi oleh salah satu pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Yogyakarta Kiai Jadul Maulana.
Tampil pula budayawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo G. Budi Subanar dan mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta Brian Trinanda K. Adi dengan moderator budayawan Komunitas Lima Gunung Kabuapten Magelang Sutanto Mendut.
Baca juga: Seniman performa "Jinjit" pagi di Festival Lima Gunung
Lima pelukis yang berpameran di panggung terbuka Studio Mendut, sektiar 100 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, itu adalah Cipto Purnomo, Kana Fuddy Prakoso, Sujono Keron, Niluh Sudarti, dan Nasya Patrini Rusdi.
Dalam pameran itu, antara lain Kana memamerkan lukisan berjudul "Kisah Batu 2", Cipto Purnomo "Mencari Jalan Pulang" dan "Blessing", Nasya "Retrospeksi Mendut#1" dan "Retrospeksi Mendut #2", Niluh "Toto Titi Tentrem" dan "Madeg Pandhito", Sujono "Keindahan" dan "Peduli" (lukisan dengan bahan limbah plastik).
Cipto menyebut lukisan karyanya berjudul "Blessing" terkait dengan inspirasi tentang sosok guru, yang menunjuk kepada guru kehidupan dalam ajaran Buddha, Sidharta Gautama.
"Zaman sekarang selalu ada guru yang kita bisa membuka, banyak bisik-bisik, itu sebetulnya sang guru itu membuka wawasan kita, mengetahui dari mana kita asalnya dan ke mana kita kejar," ucap dia.
Ia juga menyebut tentang pentingnya mendalami pengalaman spiritual sang guru sebagai bagian dari upaya orang untuk membaca keadaan dan perkembangan zaman.
Kiai Jadul Maulana yang juga pengasuh Pondok Pesantren Kali Opak, Bantul, D.I. Yogyakarta, selain bercerita tentang tempat tinggalnya yang berdekatan dengan situs Candi Payak, juga mengemukakan tentang makna atas temuan berbagai candi di banyak tempat.
"Mungkin candi adalah tradisi universal, perlu merenung, introspeksi diri tentang candi. Candi adalah wilayah suci, 'hotspot' rohani," ujar dia.
Baca juga: 40 seniman pameran "Rasah Mikir" Festival Lima Gunung
Hal serupa juga dikemukakan oleh Sutanto tentang tempat tinggalnya yang tidak jauh dari Candi Mendut yang sebagai bagian dari rangkaian makna spiritual dengan Candi Pawon dan Candi Borobudur.
"Kita di tanah suci," kata Tanto yang pada kesempatan itu menerima pemberian novel terbaru karya Romo Budi Subanar berjudul "Mata Air, Air Mata Kota".
Brian yang sedang melakukan penelitian tentang Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang mengemukakan bahwa candi bukan hanya kisah sejarah, tetapi juga suatu kitab dan makna lainnya, termasuk ajaran transendental. Candi, sebagai ajaran tentang kehidupan, kosmologis, alam, dan Tuhan.
"Tetapi mungkin kita kehilangan cara berkomunikasi dengannya. Sekarang, mungkin candi tidak lagi bersorak, riuh, tetapi berbisik sebagai yang abadi. Candi tidak hilang, tetapi berbisik. Candi juga karya seni yang penting, kreativitas penting," katanya.
Baca juga: 16 seniman performa gerak "Mbuka Lumbung Gunung" di Sungai Senowo
Romo Budi Subanar menyebut menghadiri pameran "Candi-Candi Berbisik" itu sebagai kemewahan, termasuk kaitannya dengan Magelang di mana banyak situs candi.
"Kalau Mas Haris (penyair Haris Kertaraharja) dengan puisinya 'Matematika Borobudur', tetapi bagi saya mat-matan Borobudur. Saya sudah tidak mikir. Mat-matan itu juga Candi Wukir atau Candi Canggal (Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang)," katanya.
Ia menyebut Candi Canggal sebagai candi pertama kali yang sudah ada angka tahun 654 atau 732 itu, penanda bahwa peradaban mulai bangkit, sedangkan candrasekala, "Sruti Indra Rasa" terkait dengan makna peradaban, ilmu pengetahuan, dan nalar rasa.
Ia juga mengemukakan tentang mat-matan Borobudur yang bukan lagi sekadar wadak bangunannya tetapi menjadi bagian kesatuan kepemilikan.
"Mat-matan Borobudur bukan lagi wadaknya tetapi merasakan menyatu jadi milik saya," ucap dia.
Ia menyebut mengalami, menikmati, dan merasakan candi-candi berbisik, termasuk melalui pameran lukisan di Studio Mendut yang juga pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.
"Setiap orang punya interpretasi sendiri-sendiri mengenai candi. Candi itu juga penanda setiap zaman. Kalau di sana ada Candi Borobudur, ada Buddha dan Sidharta Gautama, saya membaca di situ ada guru," kata Cipto Purnowo, salah satu di antara lima pelukis yang berpameran di Magelang, Minggu.
Pembukaan pameran, selain ditandai dengan pementasan tarian dari Sanggar Dua Aap dan Sanggar Saujana, serta pembacaan puisi "Matematika Borobudur" (penyair Haris Hertoraharjo), juga diisi pidato silang inspirasi oleh salah satu pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) Yogyakarta Kiai Jadul Maulana.
Tampil pula budayawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo G. Budi Subanar dan mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta Brian Trinanda K. Adi dengan moderator budayawan Komunitas Lima Gunung Kabuapten Magelang Sutanto Mendut.
Baca juga: Seniman performa "Jinjit" pagi di Festival Lima Gunung
Lima pelukis yang berpameran di panggung terbuka Studio Mendut, sektiar 100 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang, itu adalah Cipto Purnomo, Kana Fuddy Prakoso, Sujono Keron, Niluh Sudarti, dan Nasya Patrini Rusdi.
Dalam pameran itu, antara lain Kana memamerkan lukisan berjudul "Kisah Batu 2", Cipto Purnomo "Mencari Jalan Pulang" dan "Blessing", Nasya "Retrospeksi Mendut#1" dan "Retrospeksi Mendut #2", Niluh "Toto Titi Tentrem" dan "Madeg Pandhito", Sujono "Keindahan" dan "Peduli" (lukisan dengan bahan limbah plastik).
Cipto menyebut lukisan karyanya berjudul "Blessing" terkait dengan inspirasi tentang sosok guru, yang menunjuk kepada guru kehidupan dalam ajaran Buddha, Sidharta Gautama.
"Zaman sekarang selalu ada guru yang kita bisa membuka, banyak bisik-bisik, itu sebetulnya sang guru itu membuka wawasan kita, mengetahui dari mana kita asalnya dan ke mana kita kejar," ucap dia.
Ia juga menyebut tentang pentingnya mendalami pengalaman spiritual sang guru sebagai bagian dari upaya orang untuk membaca keadaan dan perkembangan zaman.
Kiai Jadul Maulana yang juga pengasuh Pondok Pesantren Kali Opak, Bantul, D.I. Yogyakarta, selain bercerita tentang tempat tinggalnya yang berdekatan dengan situs Candi Payak, juga mengemukakan tentang makna atas temuan berbagai candi di banyak tempat.
"Mungkin candi adalah tradisi universal, perlu merenung, introspeksi diri tentang candi. Candi adalah wilayah suci, 'hotspot' rohani," ujar dia.
Baca juga: 40 seniman pameran "Rasah Mikir" Festival Lima Gunung
Hal serupa juga dikemukakan oleh Sutanto tentang tempat tinggalnya yang tidak jauh dari Candi Mendut yang sebagai bagian dari rangkaian makna spiritual dengan Candi Pawon dan Candi Borobudur.
"Kita di tanah suci," kata Tanto yang pada kesempatan itu menerima pemberian novel terbaru karya Romo Budi Subanar berjudul "Mata Air, Air Mata Kota".
Brian yang sedang melakukan penelitian tentang Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang mengemukakan bahwa candi bukan hanya kisah sejarah, tetapi juga suatu kitab dan makna lainnya, termasuk ajaran transendental. Candi, sebagai ajaran tentang kehidupan, kosmologis, alam, dan Tuhan.
"Tetapi mungkin kita kehilangan cara berkomunikasi dengannya. Sekarang, mungkin candi tidak lagi bersorak, riuh, tetapi berbisik sebagai yang abadi. Candi tidak hilang, tetapi berbisik. Candi juga karya seni yang penting, kreativitas penting," katanya.
Baca juga: 16 seniman performa gerak "Mbuka Lumbung Gunung" di Sungai Senowo
Romo Budi Subanar menyebut menghadiri pameran "Candi-Candi Berbisik" itu sebagai kemewahan, termasuk kaitannya dengan Magelang di mana banyak situs candi.
"Kalau Mas Haris (penyair Haris Kertaraharja) dengan puisinya 'Matematika Borobudur', tetapi bagi saya mat-matan Borobudur. Saya sudah tidak mikir. Mat-matan itu juga Candi Wukir atau Candi Canggal (Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang)," katanya.
Ia menyebut Candi Canggal sebagai candi pertama kali yang sudah ada angka tahun 654 atau 732 itu, penanda bahwa peradaban mulai bangkit, sedangkan candrasekala, "Sruti Indra Rasa" terkait dengan makna peradaban, ilmu pengetahuan, dan nalar rasa.
Ia juga mengemukakan tentang mat-matan Borobudur yang bukan lagi sekadar wadak bangunannya tetapi menjadi bagian kesatuan kepemilikan.
"Mat-matan Borobudur bukan lagi wadaknya tetapi merasakan menyatu jadi milik saya," ucap dia.
Ia menyebut mengalami, menikmati, dan merasakan candi-candi berbisik, termasuk melalui pameran lukisan di Studio Mendut yang juga pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.