Setiap kontestasi politik di negara demokrasi memang selalu melahirkan kompetisi, namun dalam praktiknya, persaingan itu tidak selalu berjalan secara sehat. Dalam beberapa kasus, ada yang berujung pada konflik sosial.
Di era pra-digital, kontestasi politik lebih banyak ditampilkan oleh media konvesional (cetak, televisi, radio, selebaran), kampanye, hingga di ruang terbuka semacam pemasangan spanduk dan baliho.
Bersamaan dengan kemajuan dunia internet, kehadiran media sosial makin dominan. Ia mengambil banyak ruang dan perhatian yang dulu dikuasai oleh media konvensional. Melalui akun-akun media sosial semacam Twitter, Facebook, Instagram, blog, dan lainnya, setiap pemilik akun bisa mengekspresikan pilihan politik.
Sayangnya, dalam beberapa kasus kebebasan berekspresi tersebut tidak dibarengi dengan tanggung jawab sehingga beberapa orang akhirnya terjebak dalam kasus hukum ujaran kebencian. Dukungan membabi buta menyebabkan individu selalu hanya melihat dari sisi kekurangan dari pihak lawan serta selalu membenarkan apa yang dilakukan idolanya.
Dan, melalui media sosial itulah, baik unggahan sendiri maupun "reposting", mereka membangun opini untuk menyerang lawan sembari membela mati-matian idolanya.
Pemilihan Presiden 2014 diakui menjadikan pemilih terbelah, bahkan hingga hari ini. Di satu pihak, mendukung Presiden Jokowi dan di pihak lain mendukung Prabowo Subianto yang kalah dalam pilpres 4 tahun lalu. Sisa-sisa terpolarisasinya pemilih pada pilpres tersebut makin mengeras pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.
Pada masa itulah muncul kebiasaan memberi label "cebong" bagi kelompok yang sekubu dengan pemerintahan saat ini atau julukan "kampret" untuk menyebut pendukung oposisi. Sungguh pemilihan dua kata yang tidak nyaman dibaca atau enak didengar. Namun, dua kata tersebut sudah telanjur populer untuk menyebut kedua kubu yang berbeda tersebut.
Dua kata yang merujuk pada nama binatang tersebut masih terus berseliweran di media sosial hingga hari ini. Tidak ada tanda-tanda dua kata tersebut bakal surut dari jagad dunia maya. Apalagi Pilpres 2019 tak lama lagi bakal dilaksanakan.
Demokrasi memang memberi tempat terhormat bagi oposisi untuk melakukan kontrol dan kritik atas penyelenggaraan negara. Namun, membiarkan terpolorasisasinya rakyat dalam kontestasi tanpa ada ujungnya, itu sama saja dengan memelihara api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa merobek ikatan sosial dan kebangsaan.
Itu pula yang menjadi keprihatinan Presiden Joko Widodo. Presiden ketika menghadiri pengajian khataman Alquran dan haul di Ponpes An Najah, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah,Sabtu (14/7) pekan lalu, mengingatkan pentingnya menjaga ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, persaudaraan, persatuan, dan kerukunan meskipun berbeda pilihan politik.
Jangan sampai karena pilihan bupati, wali kota, gubernur, dan presiden berbeda, kata Kepala Negara, "Kita tidak saling sapa antartetangga, tidak saling sapa antarteman. Ongkos sosialnya terlalu besar. Itu pesta demokrasi setiap 5 tahun ada. Enggak apa-apa beda pilihan dengan tetangga. Tidak ada-apa, asal tetap rukun."
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi tersebut patut digarisbawahi agar dalam perjalanan menuju negara demokrasi yang matang, Indonesia tidak terseok-seok di tengah jalan akibat terjadinya konflik sosial dan politik.
Untuk mencapai negara demokrasi yang matang, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri, tapi perlu dukungan dari elite yang berseberangan. Tidak sepantasnya elite oposisi malah "menggoreng" isu hanya untuk memuaskan pengikut (followers) fanatiknya di media sosial.
Ihwal siapa berkuasa, itu soal waktu saja karena rakyatlah yang menentukan. Oleh karena itu, semua elite harus memiliki cara beradab yang sama dalam mematangkan demokrasi di negeri ini. ***