Semarang (Antaranews Jateng) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha memandang perlu langkah preventif dengan menelusuri potensi bibit terorisme yang bisa dilacak dari aktivitas digital.
"Langkah tersebut sebagai antisipasi penyebaran paham radikalisme melalui internet, terutama lewat media sosial," kata Pratama ketika dikonfirmasi Antara di Semarang, Selasa sore.
Selain itu, katanya lagi, aparat juga dituntut untuk segera memetakan jaringan kelompok terorisme berdasarkan informasi hasil penangkapan tersangka.
"Sekalipun aksi teror dilakukan secara tunggal, tentu sudah ada komunikasi dan koordinasi dengan jaringan utamanya," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pratama menekankan bahwa media sosial juga perlu steril dari paham radikalisme. Dalam hal ini, Pemerintah bisa melakukan kerja sama dengan perusahaan media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
Akun-akun yang sudah jelas aktif menyebarkan paham radikalisme, kata Pratama, harus segera ditindak dan ditutup, termasuk juga situs web.
Pemerintah, lanjut dia, bisa berkoordinasi dengan penyedia hosting (penyewaan tempat untuk menampung data-data) untuk menutup situs-situs web yang meresahkan masyarakat.
Pratama juga memandang perlu pelibatan masyarakat dalam mencegah tindak terorisme. Pasalnya, pada umumnya para pelaku terorisme adalah pribadi yang tertutup dan jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar.
"Masyarakat yang melihat tanda-tanda seperti ini bisa segera melaporkan melalui kanal media pemerintah," katanya.
Menurut dia, seharusnya dengan tingkat penetrasi internet yang cukup merata di semua wilayah, pelaporan tanda-tanda terorisme bisa dilakukan dengan mudah, seperti melalui online chatting (obrolan daring), aplikasi berbasis Android dan iOS, atau hotline yang siap sedia 24 jam.
"Pemerintah harus bisa memfasilitasi itu," kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC).
Di samping itu, guna meminimalkan konten berbau terorisme di media sosial, Pratama mengusulkan agar pemerintah lebih merangkul para tokoh lintas agama untuk mempromosikan ajakan perdamaian bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan paham terorisme.
Selama ini, disadari atau tidak, menurut Pratama, berkembangnya paham radikalisme banyak dipengaruhi oleh konten di media sosial. Bahkan, terorisme berkembang bukan hanya dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan pendidikan semata, melainkan adanya narasi-narasi ekstrem yang menawarkan kehidupan lebih bermakna dengan jalan kekerasan dan penderitaan.
"Narasi ini tentu sangat berbahaya. Dengan membanjiri media sosial tentang ajakan damai, tentu secara perlahan akan menenggelamkan konten-konten yang berbau terorisme," kata Pratama.