Semarang (Antaranews Jateng) - Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia harus tegas terhadap provider terkait dengan satu juta nomor induk kependudukan (NIK) untuk jutaan nomor prabayar, kata pakar keamanan siber Pratama Persadha.
Ketika menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Selasa, Pratama menegaskan bahwa provider (perusahaan penyedia berbagai layanan yang menyangkut internet) harus bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan penggunaan NIK itu.
Belakangan ini, kata Pratama, masyarakat di Tanah Air dihebohkan kembali adanya penyalahgunaan NIK untuk registrasi kartu prabayar. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada satu NIK untuk mendaftar 2,2 juta data nomor kartu prabayar.
Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) menegaskan bahwa provider adalah pintu pertama saat masyarakat mendaftarkan NIK dan KK-nya.
Sebelumnya, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil) Zudan Arif Fakrulloh mengungkap banyak NIK dari berbagai provider untuk mendaftar ribuan, bahkan ratusan nomor prabayar.
Menurut Pratama, Dukcapil hanya menerima dan melihat data dari provider. Dalam hal ini, seharusnya di pintu pertama provider sudah membatasi hanya tiga nomor.
"Bila satu NIK dan KK sampai jutaan nomor yang didaftarkan, tidak mungkin mereka tidak tahu," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi atau Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini.
Semua Provider Melanggar
Oleh karena itu, pihaknya meminta Kemkominfo tegas terhadap para provider. Apalagi, dari data yang dibuka oleh Dukcapil semua provider melakukan pelanggaran tersebut.
"Seharusnya sudah ada perbaikan saat ada masyarakat yang melaporkan bahwa NIK dan KK-nya dipakai lebih dari 50 nomor prabayar," katanya.
Tidak menutup kemungkinan pendaftaran ratusan ribu nomor dengan satu NIK dan KK itu, kata Pratama, dilakukan dengan sengaja untuk bisa menjual nomor prabayar yang sudah telanjur turun kepada penjual ritel. Namun, ini tidak bisa menjadi pembenaran, bahkan ini juga melanggar UU ITE Pasal 30 dan Pasal 32.
Dalam sistem kependudukan di Dukcapil, lanjut dia, para provider diberikan akses terhadap NIK dan KK saja, tanpa mengetahui data lain berupa nama, alamat, dan lainnya.
Dengan aturan yang ada, seharusnya setiap NIK dan KK hanya bisa mendaftar maksimal tiga nomor untuk provider yang sama. Bila ingin lebih dari itu, langsung datang ke kantor cabang provider masing-masing.
"Ini baru satu masalah. Bisa jadi NIK dan KK orang yang sudah meninggal juga didaftarkan, bisa oleh siapa pun," katanya.
Kemkominfo dan Polri, kata Pratama, bisa memeriksa lebih lanjut siapa yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap penyalahgunaan tersebut agar tidak terjadi lagi ke depannya.
Bila program registrasi kartu prabayar terus bermasalah, menurut dia, akan punya dua akibat berbahaya, yakni pertama, keamanan nasional terus terancam karena pihak tidak bertanggung jawab terus bisa memanfaatkan kartu prabayar untuk kejahatan, seperti penipuan dan pemerasan.
Kedua, lanjut Pratama, masyarakat akan menganggap program ini tidak serius, bahkan terkesan tipu-tipu.
"Jangan sampai muncul pendapat di tengah masyarakat program registrasi nomor prabayar ini sebagai program gagal dan tidak ada manfaatnya. Ujung-ujungnya akan menjadi bahan para penyebar hoaks," kata Pratama.
Masyarakat juga harus mendapatkan penjelasan bahwa kasus ini bukan data NIK dan KK yang bocor, melainkan penyalahgunaan wewenang. Akibatnya, satu NIK dan KK digunakan untuk registrasi jutaan nomor prabayar.