Bangsa Indonesia dianggap mengalami lompatan dari budaya tutur (lisan) menuju budaya menonton. Di negara-negara maju, fase pascabudaya lisan adalah membaca kemudian disusul budaya menonton seiring dengan datangnya teknologi audio visual.
Benarkah minat baca bangsa Indonesia rendah?
Kehadiran teknologi audio visual tersebut tidak otomatis melenyapkan kebiasaan membaca di negara-negara maju tersebut. Artinya, minat baca masyarakat negara maju tetap tinggi kendati serbuan teknologi aduio visual digital terus meruyak.
Berbeda halnya dengan negara berkembang, termasuk Indonesia, ketika budaya membaca belum terlalu melembaga, serbuan teknologi audio visual sudah demikian dahsyat. Terlebih dengan munculnya teknologi informasi dan internet.
Survei Most Littered Nation in The World 2016 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara yang diriset. Posisi tersebut seolah menunjukkan bangsa Indonesia tidak memiliki minat baca.
Benarkah demikian? Bila ukuran minat baca hanya diukur dari membaca buku, koran, atau majalah dalam bentuk cetak, barangkali hasil studi tersebut bisa diamini. Hal itu bisa dilihat dari rendahnya angka penjualan buku cetak atau surat kabart cetak.
Namun, apabila minat baca tersebut ditarik secara luas pada intensitas warga dalam jagat internet yang berkembang saat ini, hasil studi tersebut patut dipertanyakan.
Berkembangnya dunia digital menjadikan sumber bacaan bukan melulu berupa cetak. Begitu banyak buku, surat kabar, majalah, jurnal, dan terbitan lain bermutu dalam versi digital yang bisa diakses oleh masyarakat Indonesia.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan pada 2017 jumlah penduduk Indonesia yang terkoneksi dengan jaringan internet mencapai 143 juta orang atau lebih dari separuh penduduk negeri ini. Terbukanya akses tersebut jelas membuka pintu bagi ratusan juta orang untuk mencari ilmu dan pengetahuan.
Sejumlah data juga menunjukkan bahwa puluhan juta orang Indonesia memiliki akun media sosial, semacam Facebook, Twitter, blog, hingga Instagram. Tentu semua ini membutuhkan keterampilan membaca dan menulis. Indonesia termasuk negara paling "berisik" di jagat Twitter dan Instagram.
Banyak informasi penting dan berguna yang bisa diperoleh dari media sosial. Mungkin belum pernah terjadi minat baca (juga menonton) setinggi ini di Indonesia.
Keterampilan membaca dan menulis tentu hanya bisa diperoleh dengan kebiasaan mengakses sumber informasi yang nyaris tanpa batas di dunia maya. Harus diakui bahwa tidak semua informasi yang beredar di internet bermanfaat, tapi bukankah terbitan cetak juga ada mengalami masalah yang sama?
Betapa pun buku, majalah, surat kabar, dan terbitan cetak hingga kini memang masih menjadi sumber informasi penting. Namun, tidak selayaknya untuk mengukur minat baca hanya berdasarkan dari angka penjualan terbitan cetak atau membaca buku cetak.
Kita mengapresiasi upaya pemerintah yang berusaha keras menutup laman-laman yang tidak mendidik dan berbahaya bagi persatuan Indonesia. Upaya literasi media yang dilakukan oleh berbagai pihak sejauh ini sudah memberi hasil sehingga makin banyak warganet yang paham tentang konten internet sehat. ***