Hendi: Warganet Muda Tak Suka yang Formal
Semarang, ANTARA JATENG - Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi menilai warganet (netizen) muda dengan rentang usia 17 hingga 34 tahun tidak menyukai hal-hal yang berbau formal, termasuk dalam penggunaan bahasa di media sosial.
"Saya punya pengalaman, setiap kali posting (konten, red.) di media sosial dengan bahasa resmi, yang 'like' hanya 1.000-an, tapi kalau pakai bahasa anak muda, yang 'like' bisa 4.000 hingga 10.000-an," ujar Hendi, sapaan Hendrar Prihadi, dalam pelantikan pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Jawa Tengah di Semarang, Sabtu.
Menurut dia, perkembangan dunia teknologi informasi memang tidak lepas dari anak muda karena warganet dengan rentang usia 17-34 tahun itulah yang banyak menentukan warna dunia digital saat ini.
"Mereka sangat menyukai sesuatu yang 'eye catching' (menarik) dan foto. Generasi dulu, mau makan diajarkan berdoa lebih dulu, tapi mereka malah foto (makanan) lebih dulu, lalu unggah, baru makan," ujarnya.
Teknologi informasi itu ibarat pisau bermata dua sehingga menurut Hendi, di balik manfaatnya yang demikian besar, misalnya, untuk mendorong kemajuan bangsa, namun ada sebagian kelompok yang sengaja menggunakannya untuk mengadu domba elemen bangsa.
"Ada kelompok yang dibayar untuk menciptakan hoaks," katanya.
Kepada SMSI, Hendi menegaskan pihaknya sama sekali terbuka terhadap kritik, namun jangan sampai karena ada pihak yang membayar lantas kekurangan atau kesalahan kecil terus-menerus diberitakan.
Menurut dia, pengelolaan media digital yang menempatkan profesionalitas pada posisi tertinggi akan mampu ikut mendorong kemajuan bangsa.
Ketua SMSI Jateng, Setiawan Hendra Kelana, menyatakan, pengelola media online punya tanggung jawab meliterasi warganet.
Emoji
Ketua PWI Jateng, Amir Machmud NS, selaku pembicara dalam seminar di tempat sama menyatakan bahwa saat ini sebagian media online terjebak pada aspek ketergesaan dalam menyajikan informasi demi menjadi yang tercepat.
"Seolah siapa yang tercepat, dialah yang terunggul. Apakah kita sudah kehilangan etika jurnalistik gara-gara mengejar ketergesaan tersebut?" ujarnya.
Hasilnya, menurut Amir, unggahan atau berita tersebut hanya bermuara pada emoji, simbol dengan pesan yang begitu sederhana, tidak berbekas. "Bagaimana kita gembira atau menolak atas unggahan/berita, itu berhenti pada emoji, simbolnya," katanya.
Padahal, katanya lagi, produk jurnalistik menghendaki lebih dari itu, yakni bagaimana huruf, kata, hingga kalimat yang dirangkai itu mencuatkan imaji bagi pembacanya.
"Itulah yang dilakukan oleh sejumlah wartawan yang tulisannya mampu meninggalkan imaji kepada pembacanya," kata Amir seraya menyebut sejumlah wartawan senior Indonesia.
Menurut Amir, fenomena unggahan emoji tersebut tidak akan bertahan karena perubahan terus terjadi sehingga suatu saat pasti akan jenuh lalu terjadi dekonstruksi atas unggahan ketergesaan (emoji) dan pembaca akan kembali merindukan karya jurnalistik yang dihasilkan dengan penghayatan etika.