Rohingya sebagai salah satu etnis minoritas di Myanmar kembali menjadi perhatian dunia, termasuk Indonesia. Akibat kekerasan dan pembantaian yang mereka alami, sebagian warga beragama Islam spontan menggelar pelbagai aksi sebagai wujud simpati mereka akan penderitaan warga Muslim di negara yang mayoritasnya beragama Buddha.
Ada yang Salat Gaib ketika mendengar kabar saudaranya sesama Muslim meninggal dunia di negara yang berbatasan dengan India dan Bangladesh (barat), Thailand dan Laos (timur), dan Tiongkok di sebelah utara dan timur laut itu. Ada pula yang menggalang dana, unjuk rasa, dan aksi solidaritas. Bahkan, Pemerintah pun melakukan diplomasi pascaramainya pemberitaan mengenai Rohingya.
Aksi unjuk rasa tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga umat Buddha di berbagai daerah juga menggelar aksi solidaritas dan penggalangan dana. Sekitar 100 orang beragama Buddha dari berbagai vihara di Kota Jambi, misalnya, menggalang dana. Mereka melakukan bersama Aliansi Umat Islam (AUI) Kota Jambi.
Apa yang mereka lakukan tidak sekadar simpati, tetapi juga empati. Apabila hal yang sama juga menimpa kita? Siapa pun tidak mau diperlakukan seperti etnis Rohingya yang dipaksa keluar dari negaranya.
Empati terhadap sesama merupakan ikatan alami antarmakhluk ijtimaiah (makhluk sosial). Mereka telah menanggalkan: suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), bahkan negara dalam urusan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di balik penderitaan yang dialami saudara kita, etnis Rohingya, telah tumbuh simpati sekaligus empati di antara kita.
Empati yang sudah tertanam secara alami di antara kita sebaiknya terus tumbuh subur di Tanah Air, atau tidak hanya saat kita membela etnis Rohingya. Apalagi, negara kita yang beraneka ragam tampaknya perlu ada empati agar negara ini tetap utuh dan tidak mudah goyah menerima informasi apa pun dari mana pun, termasuk media sosial.