Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
mengatakan bahwa harga garam impor lebih murah sekitar 10 persen
dibanding garam lokal sehingga banyak industri garam yang didatangkan
dari luar negeri.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menjelaskan harga garam
produksi petambak akan sulit bersaing terutama saat musim kemarau basah
sudah lewat dan garam impor terdistribusi.
"Selisih garam bisa 10 persen dari harga yang bisa kita produksi.
Lumayan tinggi dan sangat jauh sekali perbedaannya dengan impor. Ketika
kemarau basah lewat, garam kita akan babak belur di pasaran," kata Susan
di Jakarta, Sabtu.
KIARA pun mengusulkan pemerintah menetapkan harga pembelian pokok
(HPP) sebesar Rp2.500 hingga Rp3.000 per kilogram agar petambak
mendapatkan kepastian saat kemarau basah dan panen raya.
Menurut dia, anjloknya harga garam di wilayah penghasil seperti
Lombok bisa berdampak pada alih profesi petambak garam menjadi petambak
udang.
Susan menambahkan selain karena harga garam impor yang lebih murah,
garam yang diproduksi petambak lokal tidak bisa memenuhi kadar Natrium
Chlorida (NaCl) sebesar 97 persen seperti yang dibutuhkan industri.
Menurut Susan, kadar NaCl paling tinggi yang bisa diproduksi
petambak lokal sebesar 94 persen, namun bisa ditingkatkan menjadi 97
persen jika didukung teknologi, seperti mesin iodisasi.
KIARA mencatat sejak 1990 impor garam telah mencapai 349.042 ton
dengan nilai 16,97 juta dolar AS dan itu untuk memenuhi kebutuhan
industri serta kelangkaan stok garam akibat dampak dari anomali cuaca.
Seperti diketahui, pemerintah membuka keran impor 75 ribu ton garam
konsumsi dari Australia yang akan dilakukan secara bertahap.
Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia yang tiba di
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pada Jumat (11/2) akan disebar ke
sejumlah Industri Kecil Menengah (IKM) di tiga wilayah yakni Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.