Di sela seminar tentang "Socio-Ecopreneurship" di Surabaya, Kamis (25/6), Suharmadi mengaku ide awalnya mengubah eceng gondok atau enceng gondok menjadi listrik didapat setelah banyak menerima keluhan dari nelayan tambak di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
Isi keluhannya antara lain sejumlah nelayan tambak harus mengeluarkan biaya banyak untuk membersihkan eceng gondok, sebab tanaman yang mempunyai karater cepat tumbuh itu telah mengancam keberlangsungan hidup ikan tambak milik warga.
"Kemudian saya berpikir bagaimana membuat eceng gondok ini bermanfaat, lalu saya mengirimkan foto sampah eceng gondok itu kepada sejumlah rekan di luar negeri," ucap pria yang mengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS tersebut.
Hasil kiriman foto itu mendapat respons positif dari rekannya yang ada di Amerika, Belanda serta Afrika, lalu pihaknya bersama tim di ITS dengan bantuan rekan dari luar negeri membuat penelitian dan pengujian mengenai manfaat tanaman yang bernama latin "Eichhornia crassipes" itu.
"Saya memulainya pada tahun 2012, dan hasilnya cukup bagus serta terbukti kandungan eceng gondok dengan beberapa campuran kimia itu mampu menjadi gas yang kemudian diubah menjadi listrik," ungkap pria berkacamata ini.
Hasil temuannya bersama tim ITS kemudian ditawarkan ke Pemkab Lamongan untuk mengatasi masalah yang ada masyarakat setempat, dan kembali mendapat respons positif untuk dikembangkan ke skala lebih besar.
Namun usaha serius yang dilakukan sejak tahun 2012 bersama Pemkab Lamongan untuk membuat proyek mengubah danau yang penuh enceng gondok menjadi tenaga pembangkit listrik itu tidak berjalan mulus, karena pimpinan proyek meninggal dunia.
"Proyek itu kini berhenti sementara, dan saya bersama tim masih terus berusaha mencari pemodal yang mampu membiayai ide ini, sehingga bisa dimanfaatkan masyarakat untuk kebaikan bersama," katanya.
Ia mengaku proyek serupa pernah diterima pemerintah daerah Sulawesi Tengah yang bekerja sama dengan Universitas Tadulako di wilayah setempat. Namun itu masih terkendala karena harus menunggu sampai selesainya pelaksanaan Pilkada di wilayah setempat.
"Kita berharap setelah selesainya Pilkada, ide ini bisa dikembangkan untuk kebaikan bersama, sebab kita tidak mungkin terus-terusan mengandalkan energi yang ada tanpa adanya pembaruan," kata Suharmadi yang kini fokus mengajar di Jurusan Matematika ini.
Penelitian
Suharmadi mengatakan dari hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Indonesia memiliki potensi eceng gondok yang banyak, sebab hasil pantauan udara ada sebanyak 840 danau besar dengan luas rata-rata diatas 30 km2, dan 735 danau kecil yang banyak ditumbuhi tanaman itu.
Menurut dia, 15 danau besar memerlukan revitalisasi mendesak karena banyak dipenuhi oleh eceng gondok, di antaranya Danau Toba, Danau Maninjau, serta Danau Tempe.
"Bahkan, banyaknya eceng gondok di sejumlah danau membuat pemerintah membuat program prioritas untuk segera ditangani. Kalau tidak ditangani akan terjadi kerusakan ekosistem," ucapnya.
Suharmadi menyebutkan salah satu keburukan eceng gondok adalah menyebabkan banjir, sehingga dapat menghilangkan ikan-ikan endemik yang ada pada danau, dan matinya ekosistem yang berdampak pada hidup masyarakat yang ada di sekitarnya.
"Oleh karena itu, hingga kini saya terus berusaha kembali untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan, meski kini masih belum terwujud dalam skala besar," katanya.
Suharmadi menganalogikan, proyek mengubah limbah menjadi tenaga listrik pada danau besar diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar dengan dibangunnya pabrik bata, pupuk, air kemasan dan sebagainya.
Ia menyebutkan satu danau besar diperkirakan dapat menyerap 30.000 orang tenaga kerja, dengan satu danau bisa dibuat tiga pembangkit listrik, dan satu pembangkit bisa mencapai 5 Mega Watt (MW), dan satu MW bisa menyediakan listrik untuk 1.600 rumah.