Komunitas yang terdiri atas kalangan seniman petani di berbagai dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh pun, boleh dikata tak berharap banyak terhadap Komisi Pemilihan Umum setempat untuk melakukan sosialisasi pemilu kepada mereka.

Namun demikian, kabar tentang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, serta ingar bingar informasi menyangkut "Tahun Politik" juga berseliweran, menyentuh mereka yang tinggal di berbagai dusun setempat.

Maka, ketika mereka menggelar pertemuan informal rutin setiap bulan, dalam tajuk "Selikuran Lima Gunung", Jumat (21/2) malam, tersisip kuat tebaran pesan pentingnya kesadaran anggota komunitas itu, untuk memberikan suaranya pada hari pemilihan mendatang di dusun masing-masing.

"Kami memaklumi saja, kalau KPU tidak mengagendakan sosialisasi pemilu secara khusus kepada komunitas kami, karena memang anggota kami tersebar di berbagai dusun yang saling berjauhan, antargunung," kata Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supardi Haryanto.

Putaran "Selikuran Lima Gunung" malam itu, jatuh di Sanggar Wonoseni, Dusun Wonolelo, Desa Bandongan, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, pimpinan kepala dusun setempat, Pangadi.

Hadir pada pertemuan itu, para petinggi dan pegiat Komunitas Lima Gunung, seperti Sutanto Mendut, Sitras Anjilin, Riyadi, Sujono, Ari Kusuma, Mami Kato, Atika, Siti Nurkhasanah, Sutopo, dan Widyo Sumpeno.

Selain membicarakan berbagai agenda kebudayaan, baik di Magelang maupun di beberapa kota lain yang dijalani selama beberapa bulan ke depan, malam itu juga disuguhkan pementasan dengan durasi padat, wayang golek kontemporer berjudul "Tahun Politik". Lakon carangan itu dimainkan oleh dalang muda, pegiat komunitas itu yang tinggal di Desa Sudimoro, Kecamatan Grabag, Sih Agung Prasetyo.

Dalam pementasan selama sekitar satu jam itu, Dalang Sih Agung yang setiap hari juga guru di salah satu sekolah swasta di Kota Magelang tersebut, memainkan wayang golek khusus para tokoh punakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Wayang golek punawakan itu karya ukir pertama seorang anggota Sanggar Wonoseni, Khoirul Mutaqin. Hari-hari biasa selama ini, Irul yang panggilan harian Khoirul, adalah pembuat topeng dari bahan kayu.

Belasan warga dusun setempat, khususnya para pemuda dan anak-anak, berangsek memasuki rumah sanggar seni tersebut. Wayang golek "Tahun Politik" dengan gaya pementasan lepas dari pakem pewayangan dimainkan Sang Dalang yang tak mengenakan pakaian Jawa dan hanya memakai iket di kepalanya.

Dialog yang kental dengan sendau gurau dan saling sindir bernuansa hangat, baik antara dalang dan penonton, maupun antarpenonton sendiri, mewarnai pementasan itu.

Ketika Sang Dalang meminta gamelan ditabuh, tak ada anggota komunitas yang mau beranjak dari tempatnya bersila, untuk secara spontan menjadi penabuh gamelan milik sanggar itu. Peristiwa itu pun juga menjadi penyulut "ger-geran" pementasan.

Dalang Sih Agung pun kemudian hanya mengiringi dialog antartokoh wayangnya dengan sesekali menabuh "kethuk". Suasana pementasan wayang dengan penuh tawa penonton terasa tak tergerus dan tetap lancar, meskipun tanpa tabuhan gamelan.

"'Lagi iki dalang ora kajen yo Truk (Petruk, red.). Mentaske wayang kok ra nganggo gamelan. Karang yo ra bayaran' (Baru kali ini dalang tidak terhormat ya Truk. Pentas kok tidak memakai gamelan. Maklum saja karena memang tidak dibayar)," demikian penggalan dialog Gareng dan Petruk yang diucapkan Sang Dalang.

"'Wis lumayan disiapke debok karo Pak Ipang (Pangadi, red.), keno nggo nancepke wayang e Irul to Gong (Bagong, red.) Deboke colongan seko kuburan' (Sudah lumayan Pak Ipang menyiapkan gedebok. Bisa untuk menancapkan wayang buatan Irul ini Gong. Padahal gedebok curian dari kuburan)," begitu ucapan Petruk menimpali Bagong.

Materi kuat dalam dialog antara Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, yang dimainkan Sih Agung dalam pementasan dengan lakon "Tahun Politik" itu, menyangkut berbagai nama partai politik peserta pemilu, tentang para calon anggota legislatif, latar belakang pemimpin masa depan Indonesia, khususnya antara militer dan sipil, pembawaan para petinggi politik yang mereka ketahui melalui media massa.

Selain itu, menyangkut pentingnya masyarakat memberikan suara pada pemilihan mendatang, tentang memilih secara cerdas, dan komitmen warga untuk menjaga hidup bersama dengan semangat bersaudara dan kekeluargaan, meskipun berbeda-beda pilihan pada "Tahun Politik 2014".

"'Ojo nganti, goro-goro pemilu, sing diarani Tahun Politik iki, awak e dhewe dadi crah suloyo. Tetap rukun ono ing alam demokrasi. (Jangan sampai, karena pemilu, Tahun Politik ini, kita semua malah berseteru. Kerukunan dalam alam demokrasi tetap dijaga)," demikian petuah Semar kepada tiga anaknya itu, sebagaimana dimainkan oleh Sang Dalang.

Melalui ucapan Sang Dalang itu pula, disampaikan harapan bahwa pemilu mendatang bisa melahirkan para elit politik yang tak mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, serta tidak korupsi.

Akan tetapi, katanya, pemilu mendatang melahirkan pemimpin nasional yang amanah, bekerja keras untuk kepentingan seluruh warga dan negara, sehingga terwujud cita-cita kehidupan bangsa yang aman, tenteram, makmur, serta sejahtera.

"'Wis ayo, saiki awake dhewe podho mangkat nyoblos' (Ayo kita semua sekarang memberikan suara)," demikian Sang Dalang menceritakan ajakan Semar kepada anak-anaknya untuk ikut dalam pemilu.

Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025