"Kami melihat prospek bisnis perumahan pada tahun ini dan tahun depan masih cerah. Bahkan, ada kenaikan setidaknya lima persen," kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Apersi Eddy Ganefo di Semarang, Selasa.
Hal tersebut diungkapkannya di sela seminar bertema "Green Urban Housing Policy; Pembangunan Perumahan Sesuai Dengan Kebijakan Pemerintah" yang berlangsung di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
Ia mengakui ada beberapa regulasi yang kurang sejalan, seperti Undang-Undang Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang membatasi rumah minimal tipe 36 yang berhak mendapatkan subsidi pemerintah.
Meski demikian, kata dia, penjualan rumah yang ramai sekarang ini masih didominasi untuk tipe di bawah 36 karena masyarakat mampunya memang membeli rumah tipe menengah bawah, meski tidak diberikan subsidi.
"Sekarang bandingkan selisih tipe 21 dengan 36 yang mencapai 15 meter persegi. Kalau satu meter persegi dinilai Rp1,2 juta berarti harus menambah 18 juta. Berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," katanya.
Menurut dia, rumah tipe 21 yang sekarang ini banyak dicari dengan harga kisaran Rp50-70 juta/unit, sesuai perhitungan pengajuan kredit yang mensyaratkan pendapatan minimal tiga kali besaran cicilan setiap bulan.
"Upah minimum regional (UMR) Jakarta sekarang Rp1,5 juta/bulan. Hanya mampu beli rumah seharga Rp70 juta dengan uang muka 10 persen. Artinya, nilai KPR mencapai Rp63 juta dengan angsuran Rp505 juta/bulan. Pas sepertiga," katanya.
Ada pula kebijakan Bank Indonesia, kata dia, terkait pengenaan uang muka sebesar 30 persen untuk pembelian rumah di atas tipe 70 (70 meter persegi) yang tentunya memberatkan masyarakat yang ingin membeli rumah.
"Seharusnya aturan itu tidak didasarkan dari tipe rumah, melainkan harga rumah. Sebab, ada rumah tipe 70 yang harganya masih murah, bergantung wilayah. Kami kritisi juga kebijakan itu karena memberatkan," katanya.
Menyikapi aturan "Loan to Value" (LTV) dari Bank Indonesia itu, ia menjelaskan banyak pengembang perumahan yang kemudian melirik pembiayaan KPR dari kalangan perbankan syariah karena tidak terkena aturan tersebut.
"Namun, kami melihat prospek bisnis perumahan ke masih cerah. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia yang belum bertempat tinggal layak masih ada sekitar 8,5 juta jiwa. Berarti, pasarnya masih banyak sekali," kata Eddy.
Hal tersebut diungkapkannya di sela seminar bertema "Green Urban Housing Policy; Pembangunan Perumahan Sesuai Dengan Kebijakan Pemerintah" yang berlangsung di Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
Ia mengakui ada beberapa regulasi yang kurang sejalan, seperti Undang-Undang Nomor 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang membatasi rumah minimal tipe 36 yang berhak mendapatkan subsidi pemerintah.
Meski demikian, kata dia, penjualan rumah yang ramai sekarang ini masih didominasi untuk tipe di bawah 36 karena masyarakat mampunya memang membeli rumah tipe menengah bawah, meski tidak diberikan subsidi.
"Sekarang bandingkan selisih tipe 21 dengan 36 yang mencapai 15 meter persegi. Kalau satu meter persegi dinilai Rp1,2 juta berarti harus menambah 18 juta. Berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," katanya.
Menurut dia, rumah tipe 21 yang sekarang ini banyak dicari dengan harga kisaran Rp50-70 juta/unit, sesuai perhitungan pengajuan kredit yang mensyaratkan pendapatan minimal tiga kali besaran cicilan setiap bulan.
"Upah minimum regional (UMR) Jakarta sekarang Rp1,5 juta/bulan. Hanya mampu beli rumah seharga Rp70 juta dengan uang muka 10 persen. Artinya, nilai KPR mencapai Rp63 juta dengan angsuran Rp505 juta/bulan. Pas sepertiga," katanya.
Ada pula kebijakan Bank Indonesia, kata dia, terkait pengenaan uang muka sebesar 30 persen untuk pembelian rumah di atas tipe 70 (70 meter persegi) yang tentunya memberatkan masyarakat yang ingin membeli rumah.
"Seharusnya aturan itu tidak didasarkan dari tipe rumah, melainkan harga rumah. Sebab, ada rumah tipe 70 yang harganya masih murah, bergantung wilayah. Kami kritisi juga kebijakan itu karena memberatkan," katanya.
Menyikapi aturan "Loan to Value" (LTV) dari Bank Indonesia itu, ia menjelaskan banyak pengembang perumahan yang kemudian melirik pembiayaan KPR dari kalangan perbankan syariah karena tidak terkena aturan tersebut.
"Namun, kami melihat prospek bisnis perumahan ke masih cerah. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia yang belum bertempat tinggal layak masih ada sekitar 8,5 juta jiwa. Berarti, pasarnya masih banyak sekali," kata Eddy.