Purwokerto (ANTARA) - Untuk pertama kalinya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghadirkan kanal media khusus budaya yang dinamakan Indonesiana. Kanal media ini bertujuan untuk mewadahi, mengintegrasikan, serta mempromosikan karya dan ekspresi budaya masyarakat Indonesia.

Kanal Indonesiana diluncurkan sebagai Merdeka Belajar Episode ke-13. Kanal ini dapat diakses melalui laman indonesiana.tv, siaran televisi jaringan Indihome saluran 200 (SD) dan 916 (HD), serta Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, dan TikTok kanal Indonesiana TV.

Kanal Indonesiana merupakan salah satu upaya mewujudkan visi pemajuan kebudayaan, yakni Indonesia  bahagia berlandaskan  keanekaragaman budaya  yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan. 

Hal itu dilakukan Kemendikbudristek karena Indonesia adalah negara pertama di dunia yang memiliki Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) untuk mengukur pemajuan kebudayaan. Dalam mengukur IPK, aspek yang dinilai adalah warisan budaya, ketahanan sosial budaya, pendidikan, ekonomi budaya, gender, budaya literasi, dan ekspresi budaya.

Data Kemendikbudristek menyebutkan, Skor IPK mengalami kenaikan dari 2018 ke 2019, namun nilai aspek ekspresi budaya masih rendah, yakni 37,14 dari rentang nilai 0 sampai dengan 100. Sebab, media yang menjadi sarana pembelajaran, wadah ekspresi, dan interaksi budaya Indonesia masih terbatas. Sudah saatnya bangsa ini memiliki pustaka keragaman budaya Indonesia yang berkualitas. 

Baca juga: SMP UMP didik generasi bangsa islami unggul dan berwawasan global

Alasan lain, Kemendikbudristek menghadirkan Kanal Indonesiana karena belum ada media resmi dari Indonesia yang menjadi wadah diplomasi budaya secara internasional. Padahal, negara-negara maju sudah memiliki media kebudayaan terintegrasi yang menjadi sarana diplomasi budaya. Adapun kanal-kanal kebudayaan asing yang didukung pemerintah di negara maju, misalnya Arirang TV di Korea Selatan dan BBC Culture di Inggris.


Memberi ruang belajar sesuai minat

Kebijakan merdeka belajar yang saat ini dijalankan oleh Kemendikbudristek memberikan ruang kepada setiap peserta didik untuk belajar sesuai dengan minat dan bakatnya karena karena pada dasarnya setiap peserta didik adalah unik. Prinsipnya adalah tidak ada anak yang bodoh, tetapi yang ada adalah anak yang belum mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan potensi dan kecerdasannya.

Lahirnya kebijakan merdeka belajar ingin menegaskan bahwa pendidikan harus berpihak kepada peserta didik agar mereka mendapatkan rasa aman dan nyaman saat belajar (student wellbeing). Mereka dapat belajar melalui berbagai sumber belajar baik dari guru, buku teks pelajaran, maupun dari internet. Dengan demikian, guru bukan satu-satu sumber belajar. Peserta didik dapat memilih sumber belajar selain guru. 

Walau demikian, peran guru tetap tidak dapat tergantikan dalam proses pembelajaran, karena pada proses pembelajaran, peserta didik bukan hanya transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga transformasi nilai-nilai (transformation of value). Secanggih apa pun teknologi pembelajaran, peran guru tidak akan tergantikan.

Kebijakan merdeka belajar hanya bisa terlaksana jika gurunya pun merdeka atau dimerdekakan dari berbagai aturan terkesan membelenggu kreativitas dan inovasi guru, adanya politisasi guru, terbatasnya kesempatan bagi guru untuk mengembangkan profesionalismenya, dan sebagainya. 

Baca juga: UMP dampingi sertifikasi halal rumah potong unggas

Guru yang merdeka pun berjiwa pembelajar, harus memiliki inisiatif untuk meningkatkan kompetensinya secara mandiri. Jangan selalu menunggu bola atau datangnya kesempatan pelatihan dari pemerintah. Guru yang merdeka tidak terlalu ketergantungan kepada juklak dan juknis dari pemerintah, tetapi dia menggali sendiri ide-ide baru agar proses pembelajaran di kelas semakin menarik dan bermakna bagi peserta didik.

Guru harus tanggap terhadap perkembangan dan mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang dinamis. Jika guru lamban dalam merespon perkembangan zaman, maka dikhawatirkan akan berdampak terhadap mutu pembelajaran. Materi yang disampaikan oleh guru menjadi kurang aktual (up to date) dan kontekstual. Materi atau contoh yang ada pada buku teks pelajaran mungkin saja sudah kurang sesuai dengan perkembangan. Oleh karena itu, guru harus menyesuaikan dengan perkembangan terbaru.

Dalam kondisi di mana ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) digunakan untuk mendukung pembelajaran, maka guru mau tidak mau harus mau memacu dirinya untuk menguasai iptek. Sudah bukannya lagi guru yang kudet atau kurang update, sedangkan peserta didik yang dihadapi adalah generasi milenial atau generasi Z yang sangat akrab dengan teknologi. 

Dalam sebuah proses pembelajaran yang interaktif, peran guru bukan hanya sebagai salah satu sumber belajar, juga sebagai fasilitator pembelajaran bagi peserta didik. 

Guru diharapkan merancang pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik untuk aktif belajar dan berpikir kritis sehingga peserta didik mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Pembelajaran yang berorientasi kepada kemampuan berpikir tingkat tinggi diharapkan diterapkan oleh guru agar hal tersebut dapat terwujud.


*) Havidz Cahya Pratama, M.Pd., Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)

Baca juga: PPG UMP laksanakan Gelar Karya Proyek Kepemimpinan
Baca juga: Kurikulum Merdeka berhasil asah minat dan bakat sejak dini

Pewarta : Havidz Cahya Pratama, M.Pd *)
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2024