Purwokerto (ANTARA) - Budayawan asal Banyumas Ahmad Tohari menilai penggunaan baju daerah atau pakaian adat sebagai seragam sekolah untuk peserta didik jenjang pendidikan dasar hingga menengah akan memperkuat ciri kedaerahan.
"Kita memang perlu sekali-kali menampilkan diri kita itu siapa. Kita kan Indonesia, yang Jawa, yang Banyumas, itu bisa ditampilkan warna kedaerahan kita," kata penulis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Selain itu, kata dia, penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah juga sejiwa dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh karena itu, lanjut dia, kebijakan penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah sangat baik untuk diterapkan, sehingga bisa menunjukkan siapa sebenarnya bangsa Indonesia ke pihak luar.
"Kita harus menjelaskan kepada pihak luar suku maupun luar negeri bahwa siapa kita sebenarnya. Kalau kita Jawa, tampilkan kejawaan kita dan kalau kita Banyumas, tampilkan Jawa yang kebanyumasan kita," kata pria yang akrab disapa Kang Tohari itu.
Kendati demikian, ia mengharapkan kebijakan penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah tersebut terus berkelanjutan dan bukan hanya sekadar kebijakan sesaat.
Baca juga: Siswi SDN 03 Sugihan surati Ganjar curhat kondisi sekolah
"Jangan merupakan 'hangat-hangat tahi ayam', jangan begitu. Kita mesti konsisten dan taat asas supaya memperkuat ciri kedaerahan kita," tegasnya.
Lebih lanjut, Kang Tohari mencontohkan satu ungkapan yang ia buat sebagai tulisan untuk dipasang pada gapura pintu gerbang SMA Negeri 2 Purwokerto sebelah timur.
Menurut dia, tulisan dengan dialek Banyumas itu berbunyi "Wong Pinter Gedhe Regane" yang berarti orang pandai harganya mahal.
"Itu saya buat supaya anak-anak SMA Negeri 2 atau siapapun yang melewati gerbang itu menyadari bahwa mereka sedang berada di daerah kebanyumasan," jelasnya.
Dengan demikian, kata dia, ciri-ciri kebanyumasan bisa tertanam pada anak-anak SMA Negeri 2 Purwokerto maupun siapa saja yang lewat pintu gerbang itu.
Baca juga: Pemkot Surakarta menyiapkan lahan di Pasar Kliwon untuk bangun SMA
Ia mengaku sengaja menggunakan bahasa Jawa Banyumasan, bukan bahasa Indonesia dalam tulisan tersebut karena saat ini kedaerahan tidak lagi menjadi bahaya perpecahan.
"Kalau dulu mungkin tahun-tahun 1960-an ke bawah seperti itu (kedaerahan menjadi bahaya percepecahan, red.), sehingga persatuan Indonesia dinyatakan dengan bahasa nasional yang kuat," katanya.
Akan tetapi saat sekarang, kata dia, bahasa Indonesia sudah sangat dominan, sehingga bahasa daerah harus dijaga kelestariannya.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, ada tiga jenis seragam sekolah yang digunakan siswa SD hingga SMA, yakni pakaian seragam nasional, pakaian seragam Pramuka dan pakaian adat.
Penggunaan pakaian adat ini diatur dalam Pasal 10 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa pakaian adat digunakan peserta didik pada hari atau acara adat tertentu.
Baca juga: Gandeng Polrestabes, teman sekolah Jokowi bagikan bansos ke warga Semarang
"Kita memang perlu sekali-kali menampilkan diri kita itu siapa. Kita kan Indonesia, yang Jawa, yang Banyumas, itu bisa ditampilkan warna kedaerahan kita," kata penulis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.
Selain itu, kata dia, penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah juga sejiwa dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh karena itu, lanjut dia, kebijakan penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah sangat baik untuk diterapkan, sehingga bisa menunjukkan siapa sebenarnya bangsa Indonesia ke pihak luar.
"Kita harus menjelaskan kepada pihak luar suku maupun luar negeri bahwa siapa kita sebenarnya. Kalau kita Jawa, tampilkan kejawaan kita dan kalau kita Banyumas, tampilkan Jawa yang kebanyumasan kita," kata pria yang akrab disapa Kang Tohari itu.
Kendati demikian, ia mengharapkan kebijakan penggunaan pakaian adat sebagai seragam sekolah tersebut terus berkelanjutan dan bukan hanya sekadar kebijakan sesaat.
Baca juga: Siswi SDN 03 Sugihan surati Ganjar curhat kondisi sekolah
"Jangan merupakan 'hangat-hangat tahi ayam', jangan begitu. Kita mesti konsisten dan taat asas supaya memperkuat ciri kedaerahan kita," tegasnya.
Lebih lanjut, Kang Tohari mencontohkan satu ungkapan yang ia buat sebagai tulisan untuk dipasang pada gapura pintu gerbang SMA Negeri 2 Purwokerto sebelah timur.
Menurut dia, tulisan dengan dialek Banyumas itu berbunyi "Wong Pinter Gedhe Regane" yang berarti orang pandai harganya mahal.
"Itu saya buat supaya anak-anak SMA Negeri 2 atau siapapun yang melewati gerbang itu menyadari bahwa mereka sedang berada di daerah kebanyumasan," jelasnya.
Dengan demikian, kata dia, ciri-ciri kebanyumasan bisa tertanam pada anak-anak SMA Negeri 2 Purwokerto maupun siapa saja yang lewat pintu gerbang itu.
Baca juga: Pemkot Surakarta menyiapkan lahan di Pasar Kliwon untuk bangun SMA
Ia mengaku sengaja menggunakan bahasa Jawa Banyumasan, bukan bahasa Indonesia dalam tulisan tersebut karena saat ini kedaerahan tidak lagi menjadi bahaya perpecahan.
"Kalau dulu mungkin tahun-tahun 1960-an ke bawah seperti itu (kedaerahan menjadi bahaya percepecahan, red.), sehingga persatuan Indonesia dinyatakan dengan bahasa nasional yang kuat," katanya.
Akan tetapi saat sekarang, kata dia, bahasa Indonesia sudah sangat dominan, sehingga bahasa daerah harus dijaga kelestariannya.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, ada tiga jenis seragam sekolah yang digunakan siswa SD hingga SMA, yakni pakaian seragam nasional, pakaian seragam Pramuka dan pakaian adat.
Penggunaan pakaian adat ini diatur dalam Pasal 10 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa pakaian adat digunakan peserta didik pada hari atau acara adat tertentu.
Baca juga: Gandeng Polrestabes, teman sekolah Jokowi bagikan bansos ke warga Semarang