Magelang (ANTARA) - Bukan soal menolong persalinan tentunya, tatkala sejumlah bidan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah berproses untuk kelahiran Soreng Cingan.
Kesenian gerak tersebut bersumber dari tarian rakyat bernama Soreng yang hidup dan disuguhkan, terutama oleh masyarakat petani desa-desa di kawasan Gunung Merbabu dan Andong Kabupaten Magelang.
Para bidan setempat memperluas jangkauan pementasan tarian itu, dari awalnya untuk peringatan HUT Ke-72 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tingkat Provinsi Jateng di Semarang, Sabtu (25/6), menjadi peluncuran Soreng Cingan melalui kesempatan tersebut.
Dengan peluncuran karya itu, melipatgandakan energi para bidan setempat untuk melakukan pementasan kesenian secara berkelanjutan pada masa mendatang.
Ketua IBI Kabupaten Magelang Sri Kuswanti pun mengubah rencana awal menyewa kostum Soreng untuk kepentingan pentas di Semarang itu, menjadi pengadaan sendiri sehingga menjadi aset organisasi profesi bidan tersebut.
Setidaknya, dengan kostum dan aksesoris tarian milik sendiri, memudahkan bidan menggunakan jalan kesenian rakyat itu setiap waktu untuk edukasi dan kampanye penguatan budaya hidup bersih dan sehat, khususnya bagi kalangan ibu dan anak.
Terlebih, sebagian besar masyarakat setempat tinggal di dusun dan gunung-gunung, lekat dengan kehidupan pertanian dan kesenian rakyat, termasuk tari Soreng. Jalan kesenian dipandang tepat untuk menabur pesan penguatan budaya masyarakat hidup sehat.
Oleh karena Soreng pula, masyarakat setempat seolah-olah menanam ingatan panjang setelah Pemerintah Kabupaten Magelang mengusung tarian itu dengan sekitar 200 penari, ke Istana Negara di Jakarta, bertepatan dengan puncak HUT Ke-74 RI pada 17 Agustus 2019.
Asal-usul Soreng untuk jenama tarian tersebut, kelihatannya hingga saat ini masih relatif minim referensi dan kepustakaan, kecuali terkait dengan akar katanya, "Sura" (berani), yang kemudian bermakna keberanian.
Berbagai catatan dan secara tutur, seperti hendak mengantar kepada informasi bahwa tarian itu sudah ada sebelum era 1960-an, sedangkan berbagai kalangan masyarakat petani Gunung Merbabu dan Andong nyaris memiliki kesamaan pemahaman latar belakang kisah yang hendak diungkap oleh tari Soreng.
Tari Soreng bertutur tentang olah keprajuritan dipimpin Arya Penangsang (Jipang) untuk menghadapi kekuatan Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir (Pajang) dalam catatan sejarah perebutan pengaruh kekuasaan wilayah di Jawa sekitar abad ke-15. Arya Penangsang kalah dalam pertarungan melawan kekuatan Hadi Wijaya.
Budayawan utama Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut menyebut tari Soreng sebagai cara genius lokal petani Gunung Merbabu dan Gunung Andong membuat catatan ingatan atas peristiwa sejarah itu, yang bukan sekadar tentang kalah atau menang menghadapi suatu konflik, perseteruan, atau krisis.
Alhasil, tari Soreng seakan menyimpan mantra nilai-nilai ketangguhan, keuletan, keberanian, dan daya juang masyarakat yang secara ulet menjalani hidup berkelindan dengan lingkungan dan tantangan dinamika zaman.
Genius lokal karya tersebut juga termaktub melalui gerakan Soreng yang mengandalkan entakkan kuat kaki, sabetan cepat tangan, dan olah kukuh tubuh penarinya. Tarian itu beriringkan tabuhan alat musik utama berupa bende dan truntung, dengan ritme cepat serta lompatan-lompatan biramanya yang satu ke hitungan ketukan yang lain.
Sejumlah bidan berlatih menari di Gedung IBI Kabupaten Magelang, Senin (20/6/2022). ANTARA/Hari Atmoko
Bidan Kabupaten Magelang seakan mengunduh mantra itu, menjadikan kelekatan tari Soreng dengan masyarakat desa-gunung setempat untuk praktik baik mereka dalam edukasi penerapan pola hidup bersih dan sehat.
Dengan gerak tarian yang dilatihkan seorang penari Komunitas Lima Gunung dari kawasan Gunung Merbabu, Handoko, sejumlah perwakilan bidan dari enam eks kewedanan di Kabupaten Magelang serius berlatih menari Soreng, sebelum peluncurannya bertepatan dengan peringatan HUT IBI tahun ini. Hari ulang tahun IBI jatuh setiap 24 Juni.
Hampir setiap hari selama dua minggu terakhir, mereka latihan menari Soreng dengan memanfaatkan Gedung Sekretariat IBI Kabupaten Magelang yang megah dibangun secara mandiri oleh para bidan setempat itu, di Jalan Soekarno-Hatta Kilometer 2, Desa Bumirejo, Kecamatan Kota Mungkid.
Para bidan penari menjadikan konfigurasi gerak tarian menunjuk kepada gerakan enam langkah mencuci tangan, sesuai anjuran Kementerian Kesehatan, dalam tari Soreng. Inspirasi bersama mereka terus mengalir hingga melahirkan sebutan Soreng Cingan untuk tarian itu. Kata "cingan" menunjuk kepada kepanjangan "cuci tangan".
Kebiasaan masyarakat mencuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir, sebagai salah satu cara penting setiap orang agar terhindar dari penularan penyakit dan menjaga secara andal kesehatan tubuh.
Sebagaimana pemahaman bahwa tarian menyimpan simbol-simbol, Soreng Cingan juga simbol atas misi lebih luas bidan Kabupaten Magelang, dari sekadar pesan kepada masyarakat untuk rajin mencuci tangan, menjadi pesan tentang kebutuhan memperkuat konstruksi kesadaran masyarakat terhadap pentingnya budaya hidup sehat.
Terlebih, pandemi COVID-19 dalam dua tahun terakhir, memberi pelajaran berharga umat manusia untuk menjadikan kesehatan sebagai panglima warga global menjalani masa depan hidup bersama menjadi lebih baik, maju, makmur, sukses, bungah, dan sejahtera.
"Ini bukan sebatas ingin menari dan pentas, kami menyampaikan pesan melalui cara dan nilai budaya masyarakat," kata Sri Kuswanti yang juga pegiat senior perempuan di daerah itu.
Bidan menari barangkali peristiwa tak ternyana karena umumnya publik memahami kehidupan profesional mereka mengurusi kesehatan ibu dan anak. Akan tetapi, dengan menari, mereka sekaligus menjalani penguatan daya kesehatan tubuhnya.
Para penari Soreng Cingan yang notabene para bidan Kabupaten Magelang itupun, berusaha keras berlatih dan mengolah diri untuk menyajikan karyanya itu sebaik mungkin, dengan pesan kesehatan secara tepat merasuk ke jantung kesadaran khalayak.
Pergulatan mereka mengunduh mantra tari Soreng Cingan seakan menguak pembenaran pandangan seorang tokoh panutan Komunitas Lima Gunung dari kawasan Gunung Merapi, Sitras Anjilin, bahwa setiap orang sesungguhnya makhluk kesenian karena secara naluriah menyukai keindahan.
Pada umumnya, orang tidak merasa bahwa dirinya manusia seni. Padahal, sebetulnya unsur seni yang sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban itu, ada dalam benak, kebiasaan, serta kehidupan setiap orang.
Termasuk budaya hidup sehat, itu indah dan bermantra!
Kesenian gerak tersebut bersumber dari tarian rakyat bernama Soreng yang hidup dan disuguhkan, terutama oleh masyarakat petani desa-desa di kawasan Gunung Merbabu dan Andong Kabupaten Magelang.
Para bidan setempat memperluas jangkauan pementasan tarian itu, dari awalnya untuk peringatan HUT Ke-72 Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tingkat Provinsi Jateng di Semarang, Sabtu (25/6), menjadi peluncuran Soreng Cingan melalui kesempatan tersebut.
Dengan peluncuran karya itu, melipatgandakan energi para bidan setempat untuk melakukan pementasan kesenian secara berkelanjutan pada masa mendatang.
Ketua IBI Kabupaten Magelang Sri Kuswanti pun mengubah rencana awal menyewa kostum Soreng untuk kepentingan pentas di Semarang itu, menjadi pengadaan sendiri sehingga menjadi aset organisasi profesi bidan tersebut.
Setidaknya, dengan kostum dan aksesoris tarian milik sendiri, memudahkan bidan menggunakan jalan kesenian rakyat itu setiap waktu untuk edukasi dan kampanye penguatan budaya hidup bersih dan sehat, khususnya bagi kalangan ibu dan anak.
Terlebih, sebagian besar masyarakat setempat tinggal di dusun dan gunung-gunung, lekat dengan kehidupan pertanian dan kesenian rakyat, termasuk tari Soreng. Jalan kesenian dipandang tepat untuk menabur pesan penguatan budaya masyarakat hidup sehat.
Oleh karena Soreng pula, masyarakat setempat seolah-olah menanam ingatan panjang setelah Pemerintah Kabupaten Magelang mengusung tarian itu dengan sekitar 200 penari, ke Istana Negara di Jakarta, bertepatan dengan puncak HUT Ke-74 RI pada 17 Agustus 2019.
Asal-usul Soreng untuk jenama tarian tersebut, kelihatannya hingga saat ini masih relatif minim referensi dan kepustakaan, kecuali terkait dengan akar katanya, "Sura" (berani), yang kemudian bermakna keberanian.
Berbagai catatan dan secara tutur, seperti hendak mengantar kepada informasi bahwa tarian itu sudah ada sebelum era 1960-an, sedangkan berbagai kalangan masyarakat petani Gunung Merbabu dan Andong nyaris memiliki kesamaan pemahaman latar belakang kisah yang hendak diungkap oleh tari Soreng.
Tari Soreng bertutur tentang olah keprajuritan dipimpin Arya Penangsang (Jipang) untuk menghadapi kekuatan Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir (Pajang) dalam catatan sejarah perebutan pengaruh kekuasaan wilayah di Jawa sekitar abad ke-15. Arya Penangsang kalah dalam pertarungan melawan kekuatan Hadi Wijaya.
Budayawan utama Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut menyebut tari Soreng sebagai cara genius lokal petani Gunung Merbabu dan Gunung Andong membuat catatan ingatan atas peristiwa sejarah itu, yang bukan sekadar tentang kalah atau menang menghadapi suatu konflik, perseteruan, atau krisis.
Alhasil, tari Soreng seakan menyimpan mantra nilai-nilai ketangguhan, keuletan, keberanian, dan daya juang masyarakat yang secara ulet menjalani hidup berkelindan dengan lingkungan dan tantangan dinamika zaman.
Genius lokal karya tersebut juga termaktub melalui gerakan Soreng yang mengandalkan entakkan kuat kaki, sabetan cepat tangan, dan olah kukuh tubuh penarinya. Tarian itu beriringkan tabuhan alat musik utama berupa bende dan truntung, dengan ritme cepat serta lompatan-lompatan biramanya yang satu ke hitungan ketukan yang lain.
Bidan Kabupaten Magelang seakan mengunduh mantra itu, menjadikan kelekatan tari Soreng dengan masyarakat desa-gunung setempat untuk praktik baik mereka dalam edukasi penerapan pola hidup bersih dan sehat.
Dengan gerak tarian yang dilatihkan seorang penari Komunitas Lima Gunung dari kawasan Gunung Merbabu, Handoko, sejumlah perwakilan bidan dari enam eks kewedanan di Kabupaten Magelang serius berlatih menari Soreng, sebelum peluncurannya bertepatan dengan peringatan HUT IBI tahun ini. Hari ulang tahun IBI jatuh setiap 24 Juni.
Hampir setiap hari selama dua minggu terakhir, mereka latihan menari Soreng dengan memanfaatkan Gedung Sekretariat IBI Kabupaten Magelang yang megah dibangun secara mandiri oleh para bidan setempat itu, di Jalan Soekarno-Hatta Kilometer 2, Desa Bumirejo, Kecamatan Kota Mungkid.
Para bidan penari menjadikan konfigurasi gerak tarian menunjuk kepada gerakan enam langkah mencuci tangan, sesuai anjuran Kementerian Kesehatan, dalam tari Soreng. Inspirasi bersama mereka terus mengalir hingga melahirkan sebutan Soreng Cingan untuk tarian itu. Kata "cingan" menunjuk kepada kepanjangan "cuci tangan".
Kebiasaan masyarakat mencuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir, sebagai salah satu cara penting setiap orang agar terhindar dari penularan penyakit dan menjaga secara andal kesehatan tubuh.
Sebagaimana pemahaman bahwa tarian menyimpan simbol-simbol, Soreng Cingan juga simbol atas misi lebih luas bidan Kabupaten Magelang, dari sekadar pesan kepada masyarakat untuk rajin mencuci tangan, menjadi pesan tentang kebutuhan memperkuat konstruksi kesadaran masyarakat terhadap pentingnya budaya hidup sehat.
Terlebih, pandemi COVID-19 dalam dua tahun terakhir, memberi pelajaran berharga umat manusia untuk menjadikan kesehatan sebagai panglima warga global menjalani masa depan hidup bersama menjadi lebih baik, maju, makmur, sukses, bungah, dan sejahtera.
"Ini bukan sebatas ingin menari dan pentas, kami menyampaikan pesan melalui cara dan nilai budaya masyarakat," kata Sri Kuswanti yang juga pegiat senior perempuan di daerah itu.
Bidan menari barangkali peristiwa tak ternyana karena umumnya publik memahami kehidupan profesional mereka mengurusi kesehatan ibu dan anak. Akan tetapi, dengan menari, mereka sekaligus menjalani penguatan daya kesehatan tubuhnya.
Para penari Soreng Cingan yang notabene para bidan Kabupaten Magelang itupun, berusaha keras berlatih dan mengolah diri untuk menyajikan karyanya itu sebaik mungkin, dengan pesan kesehatan secara tepat merasuk ke jantung kesadaran khalayak.
Pergulatan mereka mengunduh mantra tari Soreng Cingan seakan menguak pembenaran pandangan seorang tokoh panutan Komunitas Lima Gunung dari kawasan Gunung Merapi, Sitras Anjilin, bahwa setiap orang sesungguhnya makhluk kesenian karena secara naluriah menyukai keindahan.
Pada umumnya, orang tidak merasa bahwa dirinya manusia seni. Padahal, sebetulnya unsur seni yang sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban itu, ada dalam benak, kebiasaan, serta kehidupan setiap orang.
Termasuk budaya hidup sehat, itu indah dan bermantra!