Semarang (ANTARA) - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) meminta pencabutan larangan ekspor CPO dan produk turunannya yang sudah berlangsung sejak 28 April 2022, karena tidak mampu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, bahkan merugikan dari sisi neraca perdagangan, petani sawit, dan produsen CPO. 

Hal tersebut disampaikan Fadli Zon selaku Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang juga Ketua Badan Kerjasama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI dalam keterangan pers yang diterima di Semarang, Selasa. 

"Sejak bulan lalu HKTI telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa larangan ekspor bukanlah solusi, karena penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri bukanlah jumlah stok, melainkan soal penegakan hukum terkait kewajiban domestic market obligations (DMO). Itu sebabnya, HKTI sejak awal mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan larangan ekspor tersebut," kata Fadli Zon. 

Fadli Zon menyebutkan ada lima alasan kenapa kebijakan tersebut tidak tepat, sehingga perlu segera dicabut dan disusun kembali sebuah kebijakan persawitan yang lebih baik. 

Pertama, kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosa persoalan yang kurang tepat dimana produksi CPO tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton atau 39,29 persen. 

Di sisi lain, lanjut Fadli, produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton atau 25,07 persen. 

"Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik. Kalau pemerintah melarang ekspor CPO dan minyak goreng, lalu sisa produksinya mau dikemanakan," kata Fadli. 

Kedua, HKTI melihat kebijakan tersebut telah merugikan tiga juta petani sawit, karena harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit di hampir seluruh wilayah terus merosot harganya. 

Di Sumatera Selatan, misalnya harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram; di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp1.000 per kilogram; dan secara umum penurunan harga TBS terjadi bervariasi antara Rp500 hingga Rp1.500 per kilogram. 

Baca juga: Pakar hukum Unsoed optimistis tidak ada kriminalisasi dalam kasus ekspor CPO

"Selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya, karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih menggunakan hasil kebun sendiri. Kalau produknya tidak bisa diserap pasar, bagaimana nasib jutaan petani sawit," kata Fadli Zon. 

Ketiga, kebijakan larangan ekspor  juga bisa merugikan kinerja perdagangan karena menurunkan penerimaan devisa ekspor. Tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai US$35 miliar atau lebih dari Rp500 triliun. Selain devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor. 

"Hilangnya potensi devisa yang cukup besar itu tentu bisa menekan nilai tukar rupiah. Secara makro, dampak kebijakan ini sudah bisa dilihat pada akhir bulan nanti," kata Fadli Zon. 

Keempat, kebijakan larangan ekspor ini telah melemahkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Pasca-pemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia, Malaysia kini menjadi penguasa 84 persen ekspor CPO. Padahal, Malaysia sebelumnya hanya memiliki porsi sekitar 27 persen saja dari total produksi CPO dunia. 

"Absennya Indonesia dari pasar CPO dunia jelas sebuah kerugian. Kita gagal memanfaatkan kenaikan harga komoditas CPO bagi kepentingan ekonomi nasional. 

Kelima, kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp24.500 per liter," tutup Fadli Zon.

Baca juga: Ganjar dukung larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya
Baca juga: Mendag dukung proses hukum dugaan gratifikasi ekspor migor

Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2024