Jakarta (ANTARA) - Ketika Vladimir Putin melancarkan apa yang disebutnya "operasi militer khusus" ke Ukraina pada 24 Februari, presiden Rusia ini mengharapkan sebuah perang singkat yang segera dimenangi Rusia.
Dengan mengincar Kiev dari Belarus yang lebih dekat ke ibu kota Ukraina itu ketimbang dari wilayah Rusia di timur Kiev, Putin berusaha melancarkan perang kilat atau blitzkrieg.
Tapi blitzkrieg ini gagal. Perang malah sudah memasuki bulan kedua. Ribuan warga sipil tewas, sejumlah kota di Ukraina hancur lebur, dan 4 juta warga Ukraina mengungsi ke Eropa.
Rusia sendiri rugi besar. Puluhan ribu serdadu Rusia tewas, ditangkap atau terluka, tanpa bisa menduduki Kiev atau menguasai total kota-kota utama Ukraina lainnya.
Ofensif Rusia kerap dipatahkan Ukraina, malah seluruh wilayah sekitar Kiev kini sudah terbebas dari pendudukan Rusia yang kini lebih mengandalkan bombardemen jarak jauh, khususnya peluru kendali, bukan lagi ofensif pasukan darat.
Rusia tak menyangka Ukraina melawan sampai di beberapa medan tempur membuat mereka terpukul mundur.
Militer Rusia kemudian menyatakan fase pertama invasi berhasil memangkas kemampuan militer Ukraina sehingga energi tempur kini dialihkan ke Donbas di Ukraina timur.
Tapi banyak yang beranggapan pergeseran fokus ini adalah demi menyelamatkan muka Putin yang tak menyangka pasukannya gagal memenangi perang secara cepat dan tak berhasil menggulingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Mundurnya militer Rusia dari Kiev dan sejumlah kota Ukraina sambil meninggalkan mayat tentaranya sendiri dan bangkai ratusan kendaraan tempur miliknya, mempertegas kegagalan Rusia dalam menaklukkan Ukraina.
Pada 25 Maret, militer Rusia merilis 1.351 tentaranya tewas. Ini lebih kecil dari klaim Ukraina dan Barat.
Tetap saja, 1.351 nyawa dalam satu bulan adalah besar sekali. Sebagai perbandingan, rata-rata tentara Rusia yang tewas dalam satu tahun selama invasi Afghanistan pada 1979-1989 saja "hanya" 1.530 jiwa.
Ketidakberhasilan memenangi perang secara kilat ini juga menyingkapkan kegagalan dalam mengidentifikasi kekuatan Ukraina.
Musababnya, menurut sejumlah pakar dan komunitas intelijen internasional, adalah karena orang-orang terdekat Putin takut menyampaikan fakta sebenarnya kepada sang presiden.
Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, membantah sinyalemen ini dengan berkata, "Mereka (Barat) tak memahami mekanisme pembuatan kebijakan Rusia. Mereka tak memahami gaya kerja kami."
Tetapi sebagian orang Rusia sendiri seperti Farida Rustamova, jurnalis independen Rusia yang rutin melaporkan suasana hati para pejabat Kremlin sejak invasi ke Ukraina, menilai Putin memang dikelilingi orang-orang 'yes-men' atau 'asal bapak senang'.
"Hanya segelintir orang yang dibolehkan menghadap Putin. Sedikit sekali yang memiliki akses telepon Putin, dan ini pun satu arah. Putin yang menghubungi mereka (bukan mereka yang menghubungi Putin)," kata Rustamova kepada The Guardian.
Laksana Tata Surya
Setiap pekan, Putin menggelar panggilan video bersama dewan keamanannya yang diisi tokoh-tokoh garis keras dan teknokrat. Di pusat lingkaran dalam ini ada siloviki, yakni para pejabat berlatar belakang militer dan pertahanan.
Mereka adalah Nikolai Patrushev, mantan intel dinas rahasia Uni Soviet (KGB) yang dikenal Putin sejak 1970-an, kepala dinas rahasia Rusia (FSB) Alexander Bortnikov yang juga kawan dekat Putin, Menteri Pertahanan Sergey Shoigu, dan kepala dinas intelijen luar negeri Sergey Naryshkin.
Keempatnya seirama dengan Putin karena sama-sama dihinggapi kecurigaan besar terhadap Barat dan paranoia bahwa Rusia sedang dihancurkan kekuatan luar.
Tapi orang-orang ini diyakini tak berani menyampaikan hal sebenarnya kepada Putin. Mereka membisiki Putin dengan hal yang ingin didengar sang presiden, bukan hal yang harus diketahuinya.
Vladimir Gelman, profesor politik Rusia pada Universitas Helsinki, mengibaratkan Kremlin dengan Tata Surya. Putin menjadi mataharinya, sedangkan pembantu-pembantunya menjadi planet-planet yang mengorbiti si matahari. Dalam kata lain, mereka hanya mengekor Putin.
Di luar siloviki yang selalu rapat tertutup, ada 'orang dalam' lainnya yang cuma bisa menunggu dihubungi Putin. Mereka adalah para teknokrat seperti Perdana Menteri Mikhail Mishustin dan Gubernur Bank Sentral Elvira Nabiullina.
Di antara semua itu, Shoigu adalah yang amat dipercayai Putin. Namun, bersama panglima angkatan bersenjata Jenderal Valery Gerasimov, Shoigu sempat menghilang selama hampir dua pekan sehingga memicu desas desus telah dihukum karena perang yang tak berjalan sesuai skenario, termasuk kontroversi penglibatan tentara wajib militer yang jauh-jauh hari telah dibantah Putin.
Namun Putin dinilai enggan memecat Shoigu karena pergantian pucuk pimpinan militer saat perang berlangsung adalah pesan buruk yang bisa menguatkan anggapan militer Rusia memang gagal di Ukraina, selain bisa meruntuhkan moral pasukan.
Putin sendiri menilai para pembantunya dari loyalitasnya. Alhasil, lingkaran terdalam Putin adalah loyalis-loyalis seperti Shoigu.
Tapi para loyalis ini lebih suka memberikan informasi yang ingin didengar Putin, bukan informasi yang harus diketahui Putin. Praktisnya, mereka lebih berusaha menyenangkan bosnya.
Bagaimana dengan oligarki Rusia yang sudah seperti mesin ATM untuk Putin dan kini dijatuhi sanksi oleh Barat?
Ternyata, sejak lama mereka menyingkir atau disingkirkan dari lingkaran dalam kekuasaan Putin, terutama semenjak siloviki mengisi kabinet Putin dalam 20 tahun terakhir.
"Orang-orang seperti saya tak punya lagi kesempatan berbicara dengan Kremlin,” kata seorang oligarki yang sudah mengenal Putin sejak 1990-an kepada The Observer. "Jangan naif. Sudah sejak lama kami tak punya akses sama sekali."
Terjebak rawa konflik
Para taipan bisnis itu bahkan tak tahu menahu soal invasi Ukraina. Mereka baru dikumpulkan setelah invasi terjadi guna menuntut loyalitasnya kepada Putin.
Lingkaran terdalam kekuasaan Putin semakin satu warna ketika tokoh-tokoh demokrat dan liberal menyingkir atau disingkirkan.
Anatoly Chubais yang arsitek swastanisasi Rusia sejak era Boris Yeltsin mundur dari jabatan utusan khusus Putin untuk masalah lingkungan. Chubais mengungsi ke Turki.
Kemudian Arkady Dvorkovich yang mantan penasihat ekonomi Kremlin, dipaksa mundur dari kepala Skolkovo Foundation karena mengkritik perang di Ukraina.
Pun dengan Alexei Kudrin yang lama menjadi penasihat Putin. Dia tak lagi didengar karena pernah meminta Putin mengurungkan invasi ke Ukraina.
Tapi, menurut berbagai laporan, lingkaran terdalam Putin ini juga saling menjatuhkan satu sama lain. Ini dilakukan mulai dari Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov sampai FSB. Meskipun demikian mereka menggenggam narasi sama dengan Putin.
Memang bagus dikelilingi oleh orang loyalis tetapi loyalis yang hanya ingin menyenangkan pemimpinnya, membuat si pemimpin tak mampu mendengar suara lain dan akibatnya mengecualikan perbedaan pendapat.
Putin sudah lama ingin menginvasi Ukraina dan memulihkan kejayaan imperium Rusia. Hasrat itu semakin menjadi-jadi setelah dikelilingi orang-orang dekatnya yang menyokong narasinya.
Tak ada debat, tak ada dialog, karena dalam sistem seperti ini, demokrasi dianggap penghambat.
"Perselisihan dan tawar-menawar politik selalu menjadi masalah demokrasi, tapi alternatifnya selalu sistem satu orang (kediktatoran) yang diagungkan oleh orang-orang 'yes-men'. Saat ini terjadi, Anda tak bisa lagi mendapatkan informasi yang jujur dan benar," kata negarawan besar Inggris, Winston Churchill.
Inilah yang mungkin terjadi pada Putin. Dia mengira Ukraina tak akan mampu melawan. Dia menganggap Ukraina bakal mudah dihancurkan untuk kemudian dia kendalikan.
Tak ada yang berani meluruskan pandangannya. Sebaliknya mereka melapori Putin dengan hal-hal yang dia ingin dengar, bukan hal yang seharusnya dia ketahui.
Akibatnya, laporan yang masuk pun menjadi tak mencerminkan realitas karena hanya diunjukkan untuk memenuhi selera Putin. Tak heran blitzkrieg Putin di Ukraina pun gagal.
Kini Putin terjebak dalam rawa konflik Ukraina yang sudah menelan korban ribuan tentaranya dan tujuh jenderalnya.
Meski begitu Putin dipastikan pantang mundur. Dia akan dengan segala cara menggenggam kuat-kuat Ukraina timur karena di sinilah citra dan mukanya dipertaruhkan.
Dengan mengincar Kiev dari Belarus yang lebih dekat ke ibu kota Ukraina itu ketimbang dari wilayah Rusia di timur Kiev, Putin berusaha melancarkan perang kilat atau blitzkrieg.
Tapi blitzkrieg ini gagal. Perang malah sudah memasuki bulan kedua. Ribuan warga sipil tewas, sejumlah kota di Ukraina hancur lebur, dan 4 juta warga Ukraina mengungsi ke Eropa.
Rusia sendiri rugi besar. Puluhan ribu serdadu Rusia tewas, ditangkap atau terluka, tanpa bisa menduduki Kiev atau menguasai total kota-kota utama Ukraina lainnya.
Ofensif Rusia kerap dipatahkan Ukraina, malah seluruh wilayah sekitar Kiev kini sudah terbebas dari pendudukan Rusia yang kini lebih mengandalkan bombardemen jarak jauh, khususnya peluru kendali, bukan lagi ofensif pasukan darat.
Rusia tak menyangka Ukraina melawan sampai di beberapa medan tempur membuat mereka terpukul mundur.
Militer Rusia kemudian menyatakan fase pertama invasi berhasil memangkas kemampuan militer Ukraina sehingga energi tempur kini dialihkan ke Donbas di Ukraina timur.
Tapi banyak yang beranggapan pergeseran fokus ini adalah demi menyelamatkan muka Putin yang tak menyangka pasukannya gagal memenangi perang secara cepat dan tak berhasil menggulingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Mundurnya militer Rusia dari Kiev dan sejumlah kota Ukraina sambil meninggalkan mayat tentaranya sendiri dan bangkai ratusan kendaraan tempur miliknya, mempertegas kegagalan Rusia dalam menaklukkan Ukraina.
Pada 25 Maret, militer Rusia merilis 1.351 tentaranya tewas. Ini lebih kecil dari klaim Ukraina dan Barat.
Tetap saja, 1.351 nyawa dalam satu bulan adalah besar sekali. Sebagai perbandingan, rata-rata tentara Rusia yang tewas dalam satu tahun selama invasi Afghanistan pada 1979-1989 saja "hanya" 1.530 jiwa.
Ketidakberhasilan memenangi perang secara kilat ini juga menyingkapkan kegagalan dalam mengidentifikasi kekuatan Ukraina.
Musababnya, menurut sejumlah pakar dan komunitas intelijen internasional, adalah karena orang-orang terdekat Putin takut menyampaikan fakta sebenarnya kepada sang presiden.
Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, membantah sinyalemen ini dengan berkata, "Mereka (Barat) tak memahami mekanisme pembuatan kebijakan Rusia. Mereka tak memahami gaya kerja kami."
Tetapi sebagian orang Rusia sendiri seperti Farida Rustamova, jurnalis independen Rusia yang rutin melaporkan suasana hati para pejabat Kremlin sejak invasi ke Ukraina, menilai Putin memang dikelilingi orang-orang 'yes-men' atau 'asal bapak senang'.
"Hanya segelintir orang yang dibolehkan menghadap Putin. Sedikit sekali yang memiliki akses telepon Putin, dan ini pun satu arah. Putin yang menghubungi mereka (bukan mereka yang menghubungi Putin)," kata Rustamova kepada The Guardian.
Laksana Tata Surya
Setiap pekan, Putin menggelar panggilan video bersama dewan keamanannya yang diisi tokoh-tokoh garis keras dan teknokrat. Di pusat lingkaran dalam ini ada siloviki, yakni para pejabat berlatar belakang militer dan pertahanan.
Mereka adalah Nikolai Patrushev, mantan intel dinas rahasia Uni Soviet (KGB) yang dikenal Putin sejak 1970-an, kepala dinas rahasia Rusia (FSB) Alexander Bortnikov yang juga kawan dekat Putin, Menteri Pertahanan Sergey Shoigu, dan kepala dinas intelijen luar negeri Sergey Naryshkin.
Keempatnya seirama dengan Putin karena sama-sama dihinggapi kecurigaan besar terhadap Barat dan paranoia bahwa Rusia sedang dihancurkan kekuatan luar.
Tapi orang-orang ini diyakini tak berani menyampaikan hal sebenarnya kepada Putin. Mereka membisiki Putin dengan hal yang ingin didengar sang presiden, bukan hal yang harus diketahuinya.
Vladimir Gelman, profesor politik Rusia pada Universitas Helsinki, mengibaratkan Kremlin dengan Tata Surya. Putin menjadi mataharinya, sedangkan pembantu-pembantunya menjadi planet-planet yang mengorbiti si matahari. Dalam kata lain, mereka hanya mengekor Putin.
Di luar siloviki yang selalu rapat tertutup, ada 'orang dalam' lainnya yang cuma bisa menunggu dihubungi Putin. Mereka adalah para teknokrat seperti Perdana Menteri Mikhail Mishustin dan Gubernur Bank Sentral Elvira Nabiullina.
Di antara semua itu, Shoigu adalah yang amat dipercayai Putin. Namun, bersama panglima angkatan bersenjata Jenderal Valery Gerasimov, Shoigu sempat menghilang selama hampir dua pekan sehingga memicu desas desus telah dihukum karena perang yang tak berjalan sesuai skenario, termasuk kontroversi penglibatan tentara wajib militer yang jauh-jauh hari telah dibantah Putin.
Namun Putin dinilai enggan memecat Shoigu karena pergantian pucuk pimpinan militer saat perang berlangsung adalah pesan buruk yang bisa menguatkan anggapan militer Rusia memang gagal di Ukraina, selain bisa meruntuhkan moral pasukan.
Putin sendiri menilai para pembantunya dari loyalitasnya. Alhasil, lingkaran terdalam Putin adalah loyalis-loyalis seperti Shoigu.
Tapi para loyalis ini lebih suka memberikan informasi yang ingin didengar Putin, bukan informasi yang harus diketahui Putin. Praktisnya, mereka lebih berusaha menyenangkan bosnya.
Bagaimana dengan oligarki Rusia yang sudah seperti mesin ATM untuk Putin dan kini dijatuhi sanksi oleh Barat?
Ternyata, sejak lama mereka menyingkir atau disingkirkan dari lingkaran dalam kekuasaan Putin, terutama semenjak siloviki mengisi kabinet Putin dalam 20 tahun terakhir.
"Orang-orang seperti saya tak punya lagi kesempatan berbicara dengan Kremlin,” kata seorang oligarki yang sudah mengenal Putin sejak 1990-an kepada The Observer. "Jangan naif. Sudah sejak lama kami tak punya akses sama sekali."
Terjebak rawa konflik
Para taipan bisnis itu bahkan tak tahu menahu soal invasi Ukraina. Mereka baru dikumpulkan setelah invasi terjadi guna menuntut loyalitasnya kepada Putin.
Lingkaran terdalam kekuasaan Putin semakin satu warna ketika tokoh-tokoh demokrat dan liberal menyingkir atau disingkirkan.
Anatoly Chubais yang arsitek swastanisasi Rusia sejak era Boris Yeltsin mundur dari jabatan utusan khusus Putin untuk masalah lingkungan. Chubais mengungsi ke Turki.
Kemudian Arkady Dvorkovich yang mantan penasihat ekonomi Kremlin, dipaksa mundur dari kepala Skolkovo Foundation karena mengkritik perang di Ukraina.
Pun dengan Alexei Kudrin yang lama menjadi penasihat Putin. Dia tak lagi didengar karena pernah meminta Putin mengurungkan invasi ke Ukraina.
Tapi, menurut berbagai laporan, lingkaran terdalam Putin ini juga saling menjatuhkan satu sama lain. Ini dilakukan mulai dari Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov sampai FSB. Meskipun demikian mereka menggenggam narasi sama dengan Putin.
Memang bagus dikelilingi oleh orang loyalis tetapi loyalis yang hanya ingin menyenangkan pemimpinnya, membuat si pemimpin tak mampu mendengar suara lain dan akibatnya mengecualikan perbedaan pendapat.
Putin sudah lama ingin menginvasi Ukraina dan memulihkan kejayaan imperium Rusia. Hasrat itu semakin menjadi-jadi setelah dikelilingi orang-orang dekatnya yang menyokong narasinya.
Tak ada debat, tak ada dialog, karena dalam sistem seperti ini, demokrasi dianggap penghambat.
"Perselisihan dan tawar-menawar politik selalu menjadi masalah demokrasi, tapi alternatifnya selalu sistem satu orang (kediktatoran) yang diagungkan oleh orang-orang 'yes-men'. Saat ini terjadi, Anda tak bisa lagi mendapatkan informasi yang jujur dan benar," kata negarawan besar Inggris, Winston Churchill.
Inilah yang mungkin terjadi pada Putin. Dia mengira Ukraina tak akan mampu melawan. Dia menganggap Ukraina bakal mudah dihancurkan untuk kemudian dia kendalikan.
Tak ada yang berani meluruskan pandangannya. Sebaliknya mereka melapori Putin dengan hal-hal yang dia ingin dengar, bukan hal yang seharusnya dia ketahui.
Akibatnya, laporan yang masuk pun menjadi tak mencerminkan realitas karena hanya diunjukkan untuk memenuhi selera Putin. Tak heran blitzkrieg Putin di Ukraina pun gagal.
Kini Putin terjebak dalam rawa konflik Ukraina yang sudah menelan korban ribuan tentaranya dan tujuh jenderalnya.
Meski begitu Putin dipastikan pantang mundur. Dia akan dengan segala cara menggenggam kuat-kuat Ukraina timur karena di sinilah citra dan mukanya dipertaruhkan.