Semarang (ANTARA) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, memandang perlu ada ketentuan calon pemilih menunjukkan sertifikat vaksin ketika akan masuk TPS pada Pemilihan Umum 2024 jika pandemi Covid-19 belum berakhir.
"Kalau pandemi masih berlangsung, persyaratan itu perlu untuk mencegah klaster baru penularan Covid-19," kata dia kepada ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Ia menyinggung pula hari-H pencoblosan Pemilu pada 21 Februari 2024, kemudian ada pula yang mengusulkan pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan ini pada bulan April dan Mei.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Pandemi COVID-19 tidak bisa jadi alasan tunda Pemilu 2024
Ketika menjawab apakah pelaksanaan pada Februari dan Mei tidak melanggar UUD NRI Tahun 1945 pasal 22E ayat (1), dia mengatakan, "Yang penting masih dalam kurun lima tahun tidak ada masalah."
Hal terpenting, menurut ketua umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam ini, adalah disesuaikan dengan masa jabatan untuk jabatan yang dipilih melalui pemilu, yaitu presiden dan wakil presiden serta DPR, DPD, dan DPRD.
Sebelumnya, KPU mengusulkan penyelenggaraan pemilu pada 21 Februari 2024. Selain itu, KPU juga mengusulkan penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November 2024.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan, Said Salahudin, meminta DPR, pemerintah, KPU, dan Badan Pengawas Pemilu perlu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024.
Berbicara di Jakarta, Senin (20/9), dia mengemukakan bahwa mengubah waktu pelaksanaan pemilu berpotensi inkonstitusional karena UUD NRI Tahun 1945 pasal 22E ayat (1) tegas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Ia menjelaskan bahwa frasa "lima tahun" itu mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali lima. Kalau pada 2019 Pemilu dilaksanakan pada April, 60 bulan berikutnya jatuh pada April 2024.
Menurut dia, semestinya semua pihak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi karena negara harus dibangun dengan sistem yang ajek agar agenda kenegaraan lima tahunan bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kalau ada alasan yang bersifat force majeure, seperti bencana alam atau bencana nonalam yang terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lainnya, kata dia, itu bisa saja sebagai pertimbangan untuk memajukan atau memundurkan jadwal pemilu sehingga tidak harus pelaksanaannya pada April.
Baca juga: CISSReC: e-Voting Pemilu 2024 sangat memungkinkan
Baca juga: Titi: Lebih baik KPU fokus pada Sirekap daripada pikirkan e-voting
"Kalau pandemi masih berlangsung, persyaratan itu perlu untuk mencegah klaster baru penularan Covid-19," kata dia kepada ANTARA di Semarang, Kamis pagi.
Ia menyinggung pula hari-H pencoblosan Pemilu pada 21 Februari 2024, kemudian ada pula yang mengusulkan pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan ini pada bulan April dan Mei.
Baca juga: Hamdan Zoelva: Pandemi COVID-19 tidak bisa jadi alasan tunda Pemilu 2024
Ketika menjawab apakah pelaksanaan pada Februari dan Mei tidak melanggar UUD NRI Tahun 1945 pasal 22E ayat (1), dia mengatakan, "Yang penting masih dalam kurun lima tahun tidak ada masalah."
Hal terpenting, menurut ketua umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam ini, adalah disesuaikan dengan masa jabatan untuk jabatan yang dipilih melalui pemilu, yaitu presiden dan wakil presiden serta DPR, DPD, dan DPRD.
Sebelumnya, KPU mengusulkan penyelenggaraan pemilu pada 21 Februari 2024. Selain itu, KPU juga mengusulkan penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November 2024.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan dan Persatuan, Said Salahudin, meminta DPR, pemerintah, KPU, dan Badan Pengawas Pemilu perlu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024.
Berbicara di Jakarta, Senin (20/9), dia mengemukakan bahwa mengubah waktu pelaksanaan pemilu berpotensi inkonstitusional karena UUD NRI Tahun 1945 pasal 22E ayat (1) tegas menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Ia menjelaskan bahwa frasa "lima tahun" itu mudah sekali menghitungnya, yaitu 12 bulan dikali lima. Kalau pada 2019 Pemilu dilaksanakan pada April, 60 bulan berikutnya jatuh pada April 2024.
Menurut dia, semestinya semua pihak patuh dan konsisten pada perintah konstitusi karena negara harus dibangun dengan sistem yang ajek agar agenda kenegaraan lima tahunan bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Kalau ada alasan yang bersifat force majeure, seperti bencana alam atau bencana nonalam yang terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lainnya, kata dia, itu bisa saja sebagai pertimbangan untuk memajukan atau memundurkan jadwal pemilu sehingga tidak harus pelaksanaannya pada April.
Baca juga: CISSReC: e-Voting Pemilu 2024 sangat memungkinkan
Baca juga: Titi: Lebih baik KPU fokus pada Sirekap daripada pikirkan e-voting