Purwokerto (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Purbalingga, Jawa Tengah akan segera memasuki puncak kemarau pada bulan Agustus 2021.
"Memasuki bulan Agustus berarti memasuki puncak musim kemarau," kata Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara (BMKG Banjarnegara) Setyoajie Prayoedhi ketika dihubungi dari Purwokerto, Selasa.
Kondisi serupa, kata dia juga diprakirakan akan berlangsung di kabupaten sekitar seperti Kebumen, Cilacap dan Banyumas.
Terkait hal tersebut, pihaknya mengimbau masyarakat untuk mewaspadai dampak yang mungkin ditimbulkan saat puncak musim kemarau.
"Misalkan bagi mereka yang tinggal di lokasi rawan kekeringan maka perlu mewaspadai penurunan intensitas curah hujan karena dapat berdampak pada krisis air bersih," katanya.
Untuk itu, BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mulai bijak menggunakan air guna mencegah terjadinya krisis air bersih saat musim kemarau.
Dia menambahkan, selain dapat berdampak pada krisis air bersih, penurunan intensitas curah hujan juga dapat meningkatkan potensi kebakaran hutan lahan.
Baca juga: Petani di Pekalongan diimbau lakukan pompanisasi antisipasi gagal panen
Sementara itu, Pakar Hidrologi dan Sumber Daya Air Universitas Jenderal Soedirman Yanto, Ph.D kembali mengingatkan mengenai pentingnya memperkuat mitigasi bencana kekeringan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan.
"Upaya-upaya mitigasi bencana kekeringan harus kembali diintensifkan guna mengantisipasi puncak musim kemarau," katanya.
Dia menambahkan, upaya ini harus dilakukan kendati menurut prakiraan BMKG musim kemarau tahun ini lebih basah dari rata-rata normal.
"Walau menurut prakiraan BMKG musim kemarau tahun 2021 ini lebih basah dari rata-rata normal dan di sebagian besar wilayah, musim kemarau juga diperkirakan mundur dari tahun normalnya namun upaya mitigasi tetap harus dilakukan," katanya.
Dia juga kembali mengingatkan bahwa upaya mitigasi harus tetap dibarengi dengan beberapa strategi adaptasi perubahan iklim.
"Mitigasi saja tidak cukup sehingga perlu dibarengi dengan beberapa strategi adaptasi perubahan iklim, yang dapat dilakukan antara lain meningkatkan kapasitas tampungan air dalam bentuk waduk, bendungan, situ, embung, sumur resapan, biopori maupun alat pemanen hujan," katanya.
"Memasuki bulan Agustus berarti memasuki puncak musim kemarau," kata Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara (BMKG Banjarnegara) Setyoajie Prayoedhi ketika dihubungi dari Purwokerto, Selasa.
Kondisi serupa, kata dia juga diprakirakan akan berlangsung di kabupaten sekitar seperti Kebumen, Cilacap dan Banyumas.
Terkait hal tersebut, pihaknya mengimbau masyarakat untuk mewaspadai dampak yang mungkin ditimbulkan saat puncak musim kemarau.
"Misalkan bagi mereka yang tinggal di lokasi rawan kekeringan maka perlu mewaspadai penurunan intensitas curah hujan karena dapat berdampak pada krisis air bersih," katanya.
Untuk itu, BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mulai bijak menggunakan air guna mencegah terjadinya krisis air bersih saat musim kemarau.
Dia menambahkan, selain dapat berdampak pada krisis air bersih, penurunan intensitas curah hujan juga dapat meningkatkan potensi kebakaran hutan lahan.
Baca juga: Petani di Pekalongan diimbau lakukan pompanisasi antisipasi gagal panen
Sementara itu, Pakar Hidrologi dan Sumber Daya Air Universitas Jenderal Soedirman Yanto, Ph.D kembali mengingatkan mengenai pentingnya memperkuat mitigasi bencana kekeringan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan.
"Upaya-upaya mitigasi bencana kekeringan harus kembali diintensifkan guna mengantisipasi puncak musim kemarau," katanya.
Dia menambahkan, upaya ini harus dilakukan kendati menurut prakiraan BMKG musim kemarau tahun ini lebih basah dari rata-rata normal.
"Walau menurut prakiraan BMKG musim kemarau tahun 2021 ini lebih basah dari rata-rata normal dan di sebagian besar wilayah, musim kemarau juga diperkirakan mundur dari tahun normalnya namun upaya mitigasi tetap harus dilakukan," katanya.
Dia juga kembali mengingatkan bahwa upaya mitigasi harus tetap dibarengi dengan beberapa strategi adaptasi perubahan iklim.
"Mitigasi saja tidak cukup sehingga perlu dibarengi dengan beberapa strategi adaptasi perubahan iklim, yang dapat dilakukan antara lain meningkatkan kapasitas tampungan air dalam bentuk waduk, bendungan, situ, embung, sumur resapan, biopori maupun alat pemanen hujan," katanya.