Semarang (ANTARA) - Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono mengingatkan pengalaman pada masa pemerintahan presiden ke-2 RI H.M. Soeharto kepada sejumlah pihak yang bermaksud mengubah konstitusi dengan menambah masa jabatan presiden.
"Kalangan akademisi dan media massa sebagai penjaga demokrasi harus memastikan bahwa sistem demokrasi yang ada di dalam konstitusi harus ditegakkan," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Senin.
Teguh Yuwono mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari di sejumlah media yang menjelaskan alasan pembentukan Komunitas Jokowi-Prabowo 2024. Keberadaan sukarelawan ini muncul, karena ada ide dan gagasan dari berbagai kalangan agar Presiden Jokowi bisa menjabat hingga 3 periode.
Baca juga: Iqbal Wibisono: Komunitas Jokowi-Prabowo tak goyahkan sikap kenegarawan
Teguh Yuwono lantas mengingatkan mereka bahwa bangsa ini pernah punya pengalaman ketika pemerintahan Pak Harto (sapaan akrab Jenderal Besar H.M. Soeharto) tidak ada pembatasan masa bakti sebagai presiden, kemudian bermasalah ke mana-mana.
"Jadi, tidak boleh ada pemikiran-pemikiran, misalnya, mengubah konstitusi dengan menambah masa jabatan presiden," kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini.
Di sisi lain, Teguh Yuwono melihat fenomena pendukung dengan memunculkan pasangan-pasangan baru atau sukarelawan-sukarelawan baru, seperti sukarelawan Ganjar dan sukarelawan Puan, lebih pada pendidikan politik.
Walaupun pemilu presiden dan wakil presiden RI masih lama (sesuai dengan jadwal pada tanggal 28 Februari 2024), nama-nama bakal capres tidak tabu dibicarakan oleh publik. Hal ini, menurut dia, justru menjadi poin positif untuk pembangunan budaya demokrasi dan keterbukaan politik bangsa ini.
"Hingga orang tidak sungkan berbicara. Hal ini beda dengan zaman Orde Baru, tidak ada orang yang berani bicara siapa pun pengganti H.M. Soeharto," kata alumnus Flinders University Australia ini.
Sekarang ini, menurut dia, lebih bagus karena ada pendemokrasian (demokratisasi) ketika orang sudah selesai masa jabatannya dan tidak mungkin lagi menjabat di tempat itu, muncul nama-nama baru.
"Nah, nama-nama baru muncul ke permukaan dalam wacana publik itu bagian dari proses demokratisasi. Jadi, jangan dilihat kemudian munculnya lembaga survei yang cukup aktif memengaruhi wacana publik itu menjadi menurunkan kadar demokrasi kita," katanya.
"Apakah koalisi Jokowi-Prabowo akan berlangsung?" tanya ANTARA yang dijawab Teguh Yuwono, "Itu menjadi bagian yang menarik. Akan tetapi, itu semua muaranya pada tokoh-tokoh partai sebetulnya, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan tokoh partai lainnya."
Ia memprediksi pada Pemilu 2024 tokoh-tokoh lama sebagai faktor penentu siapa saja yang menjadi bakal capres/cawapres, sementara figurnya baru, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Puan Maharani. Mereka bukan tokoh lama selevel dengan Megawati, Amien Rais, SBY, dan Prabowo.
"Sebetulnya pertarungannya masih tokoh-tokoh lama. Pertarungan tokoh-tokoh tua yang memang menguasai jaringan perpolitikan nasional, khususnya di partai-partai besar dan kuat itu," kata analis politik Teguh Yuwono.
Baca juga: Guru Besar Unbor sependapat pasal penghinaan presiden masuk RUU KUHP
Baca juga: Di balik pentingnya pasal penghinaan terhadap Presiden
"Kalangan akademisi dan media massa sebagai penjaga demokrasi harus memastikan bahwa sistem demokrasi yang ada di dalam konstitusi harus ditegakkan," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Senin.
Teguh Yuwono mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari di sejumlah media yang menjelaskan alasan pembentukan Komunitas Jokowi-Prabowo 2024. Keberadaan sukarelawan ini muncul, karena ada ide dan gagasan dari berbagai kalangan agar Presiden Jokowi bisa menjabat hingga 3 periode.
Baca juga: Iqbal Wibisono: Komunitas Jokowi-Prabowo tak goyahkan sikap kenegarawan
Teguh Yuwono lantas mengingatkan mereka bahwa bangsa ini pernah punya pengalaman ketika pemerintahan Pak Harto (sapaan akrab Jenderal Besar H.M. Soeharto) tidak ada pembatasan masa bakti sebagai presiden, kemudian bermasalah ke mana-mana.
"Jadi, tidak boleh ada pemikiran-pemikiran, misalnya, mengubah konstitusi dengan menambah masa jabatan presiden," kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang ini.
Di sisi lain, Teguh Yuwono melihat fenomena pendukung dengan memunculkan pasangan-pasangan baru atau sukarelawan-sukarelawan baru, seperti sukarelawan Ganjar dan sukarelawan Puan, lebih pada pendidikan politik.
Walaupun pemilu presiden dan wakil presiden RI masih lama (sesuai dengan jadwal pada tanggal 28 Februari 2024), nama-nama bakal capres tidak tabu dibicarakan oleh publik. Hal ini, menurut dia, justru menjadi poin positif untuk pembangunan budaya demokrasi dan keterbukaan politik bangsa ini.
"Hingga orang tidak sungkan berbicara. Hal ini beda dengan zaman Orde Baru, tidak ada orang yang berani bicara siapa pun pengganti H.M. Soeharto," kata alumnus Flinders University Australia ini.
Sekarang ini, menurut dia, lebih bagus karena ada pendemokrasian (demokratisasi) ketika orang sudah selesai masa jabatannya dan tidak mungkin lagi menjabat di tempat itu, muncul nama-nama baru.
"Nah, nama-nama baru muncul ke permukaan dalam wacana publik itu bagian dari proses demokratisasi. Jadi, jangan dilihat kemudian munculnya lembaga survei yang cukup aktif memengaruhi wacana publik itu menjadi menurunkan kadar demokrasi kita," katanya.
"Apakah koalisi Jokowi-Prabowo akan berlangsung?" tanya ANTARA yang dijawab Teguh Yuwono, "Itu menjadi bagian yang menarik. Akan tetapi, itu semua muaranya pada tokoh-tokoh partai sebetulnya, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan tokoh partai lainnya."
Ia memprediksi pada Pemilu 2024 tokoh-tokoh lama sebagai faktor penentu siapa saja yang menjadi bakal capres/cawapres, sementara figurnya baru, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Puan Maharani. Mereka bukan tokoh lama selevel dengan Megawati, Amien Rais, SBY, dan Prabowo.
"Sebetulnya pertarungannya masih tokoh-tokoh lama. Pertarungan tokoh-tokoh tua yang memang menguasai jaringan perpolitikan nasional, khususnya di partai-partai besar dan kuat itu," kata analis politik Teguh Yuwono.
Baca juga: Guru Besar Unbor sependapat pasal penghinaan presiden masuk RUU KUHP
Baca juga: Di balik pentingnya pasal penghinaan terhadap Presiden