Semarang (ANTARA) - Guru Besar Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago sependapat pasal-pasal terkait dengan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden RI masuk dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) meski delik aduan.
"Keberadaan pasal-pasal dalam RUU KUHP itu tidak lain demi menjaga muruah (kehormatan) Presiden/Wakil Presiden RI," kata Ketua Program Studi Doktor Hukum Unbor Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA, di Semarang, Senin.
Apalagi, kata Prof. Faisal Santiago, fungsi presiden termaktub di dalam UUD NRI Tahun 1945, antara lain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (vide Bab III Pasal 4 Ayat 1).
Baca juga: Eva Sundari: Tidak perlu bahas semua pasal RUU KUHP
Selanjutnya, dalam Pasal 10 menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Dalam Pasal 13 Ayat (1) Presiden mengangkat duta dan konsul, kemudian dalam Pasal 15 Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
"Itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan, dan keagungan/kebesaran dari seorang kepala negara yang notabene kepala pemerintahan," kata Prof. Faisal Santiago.
Karena itu, dia sepakat pasal-pasal yang terkait dengan kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara.
Hal tersebut tercantum dalam RUU KUHP Pasal 218 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).
Selain itu, terdapat Pasal 219 yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007 yang mencabut Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 serta Pasal 154 dan 155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah, Faisal mengatakan bahwa RUU KUHP juga memperhatikan putusan MK.
Ia menyebutkan Pasal 220 Ayat (1) yang menyatakan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Bahkan, diatur pula bahwa pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Baca juga: Wamenkumham: RUU KUHP atur penghinaan lewat IT
Baca juga: Dinilai menimbulkan gejolak, mahasiswa IAIN Kudus tuntut RUU KUHP dievaluasi
"Keberadaan pasal-pasal dalam RUU KUHP itu tidak lain demi menjaga muruah (kehormatan) Presiden/Wakil Presiden RI," kata Ketua Program Studi Doktor Hukum Unbor Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA, di Semarang, Senin.
Apalagi, kata Prof. Faisal Santiago, fungsi presiden termaktub di dalam UUD NRI Tahun 1945, antara lain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (vide Bab III Pasal 4 Ayat 1).
Baca juga: Eva Sundari: Tidak perlu bahas semua pasal RUU KUHP
Selanjutnya, dalam Pasal 10 menyebutkan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Dalam Pasal 13 Ayat (1) Presiden mengangkat duta dan konsul, kemudian dalam Pasal 15 Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
"Itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan, dan keagungan/kebesaran dari seorang kepala negara yang notabene kepala pemerintahan," kata Prof. Faisal Santiago.
Karena itu, dia sepakat pasal-pasal yang terkait dengan kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara.
Hal tersebut tercantum dalam RUU KUHP Pasal 218 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).
Selain itu, terdapat Pasal 219 yang menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Menyinggung soal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007 yang mencabut Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 serta Pasal 154 dan 155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah, Faisal mengatakan bahwa RUU KUHP juga memperhatikan putusan MK.
Ia menyebutkan Pasal 220 Ayat (1) yang menyatakan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Bahkan, diatur pula bahwa pengaduan dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Baca juga: Wamenkumham: RUU KUHP atur penghinaan lewat IT
Baca juga: Dinilai menimbulkan gejolak, mahasiswa IAIN Kudus tuntut RUU KUHP dievaluasi