Semarang (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut RUU KUHP telah lengkap mengatur tentang penghinaan atau penghasutan yang menggunakan sarana teknologi informasi.
"Sesungguhnya ketentuan yang terkait dengan penghinaan simbol negara, penghasutan/ penghinaan yang menggunakan sarana IT telah lengkap diatur dalam RUU KUHP," kata Wamenkumham saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik "Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP" di Semarang, Kamis.
Oleh karena itu, ia mendorong pengesahan RUU KUHP.
"Nantinya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya akan mengatur tentang alur informasi dan transaksi elektronik yang menggunakan sarana IT," katanya.
"Sementara pelanggaran pidananya diatur dalam KUHP," katanya.
75 tahun setelah merdeka, lanjut dia, Indonesia masih menggunakan KUHP warisan Belanda yang dinilai tidak menjamin kepastian hukum.
Menurut dia, saat ini terdapat KUHP dengan dua jenis terjemahan, yakni versi Moeljatno dan R. Susilo.
"Banyak pasal yang berbeda antara dua terjemahan itu. Sangat signifikan karena berkaitan dengan ancaman pidana," katanya.
Ia menyebut suara-suara yang menolak atau menunda pengesahan RUU KUHP tersebut ingin mempertahankan status quo dan ketidakpastian hukum.
"Sesungguhnya ketentuan yang terkait dengan penghinaan simbol negara, penghasutan/ penghinaan yang menggunakan sarana IT telah lengkap diatur dalam RUU KUHP," kata Wamenkumham saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik "Penghinaan/ Pencemaran Nama Baik Menurut KUHP, UU ITE, dan RUU KUHP" di Semarang, Kamis.
Oleh karena itu, ia mendorong pengesahan RUU KUHP.
"Nantinya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik hanya akan mengatur tentang alur informasi dan transaksi elektronik yang menggunakan sarana IT," katanya.
"Sementara pelanggaran pidananya diatur dalam KUHP," katanya.
75 tahun setelah merdeka, lanjut dia, Indonesia masih menggunakan KUHP warisan Belanda yang dinilai tidak menjamin kepastian hukum.
Menurut dia, saat ini terdapat KUHP dengan dua jenis terjemahan, yakni versi Moeljatno dan R. Susilo.
"Banyak pasal yang berbeda antara dua terjemahan itu. Sangat signifikan karena berkaitan dengan ancaman pidana," katanya.
Ia menyebut suara-suara yang menolak atau menunda pengesahan RUU KUHP tersebut ingin mempertahankan status quo dan ketidakpastian hukum.