Semarang (ANTARA) - Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari sependapat dengan pernyataan sejumlah anggota Komisi III DPR RI yang menyatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) tidak semua pasal, cukup yang top list issues.
"Setuju, adu argumen ke top list issues (masalah daftar teratas) atau sejumlah pasal di antara 628 pasal yang menjadi perhatian hingga muncul pro dan kontra di tengah masyarakat," kata Eva Kusuma Sundari, M.A., M.D.E. yang pernah menjadi anggota Komisi III (Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) menjawab pertanyaan ANTARA, di Semarang, Jumat malam.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyarankan agar tidak perlu membahas ulang semua pasal dalam RUU KUHP, tetapi cukup beberapa pasal saja yang kontroversial dan menjadi perdebatan di publik.
"Harus disepakati antara Komisi III DPR dan Pemerintah, hemat saya tidak perlu (semua pasal dibahas), kecuali 14 hingga 16 pasal yang ramai dan mendapatkan sorotan di tengah masyarakat," kata Arsul, di Jakarta, Kamis (10/6).
Arsul Sani memandang tidak perlu semua pasal dalam RUU KUHP. Jika dibahas satu per satu, khawatir tidak akan selesai dibahas di DPR.
Eva K. Sundari sependapat pasal-pasal dalam RUU KUHP yang telah disepakati Komisi III DPR RI periode 2014—2019 tidak perlu dibahas kembali.
Hal itu termasuk Pasal 79 RUU KUHP yang menyebutkan penetapan denda paling banyak berdasarkan kategori 1 sampai 8, yakni Kategori I, Rp1.000.000,00; Kategori II, Rp10.000.000,00; Kategori III, Rp50.000.000,00; dan Kategori IV, Rp200.000.000,00.
Selanjutnya, Kategori V, Rp500.000.000,00; Kategori VI, Rp2.000.000.000,00; Kategori VII, Rp5.000.000.000,00; dan Kategori VIII, Rp50.000.000.000,00.
Eva yang pada periode 2014—2019 sebagai anggota Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan) dari Fraksi PDIP DPR RI menyebutkan Pasal 79 Ayat (2) RUU KUHP menyatakan apabila terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
"Jika di tengah proses ada pasal yang kontroversial, disusulkan dibahas, asal menginginkan pembahasan transparan dan terbuka," kata Eva K. Sundari.
Ia menyebutkan hal itu termasuk merespons usulan masyarakat, misalnya soal kebebasan beragama dan berkeyakinan yang masih dikhawatirkan para aktivis HAM.
Di sisi lain, kata Eva K. Sundari, kelompok perempuan juga menginginkan pasal terkait dengan susila yang masih male bias (bias laki-laki).
"Setuju, adu argumen ke top list issues (masalah daftar teratas) atau sejumlah pasal di antara 628 pasal yang menjadi perhatian hingga muncul pro dan kontra di tengah masyarakat," kata Eva Kusuma Sundari, M.A., M.D.E. yang pernah menjadi anggota Komisi III (Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) menjawab pertanyaan ANTARA, di Semarang, Jumat malam.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyarankan agar tidak perlu membahas ulang semua pasal dalam RUU KUHP, tetapi cukup beberapa pasal saja yang kontroversial dan menjadi perdebatan di publik.
"Harus disepakati antara Komisi III DPR dan Pemerintah, hemat saya tidak perlu (semua pasal dibahas), kecuali 14 hingga 16 pasal yang ramai dan mendapatkan sorotan di tengah masyarakat," kata Arsul, di Jakarta, Kamis (10/6).
Arsul Sani memandang tidak perlu semua pasal dalam RUU KUHP. Jika dibahas satu per satu, khawatir tidak akan selesai dibahas di DPR.
Eva K. Sundari sependapat pasal-pasal dalam RUU KUHP yang telah disepakati Komisi III DPR RI periode 2014—2019 tidak perlu dibahas kembali.
Hal itu termasuk Pasal 79 RUU KUHP yang menyebutkan penetapan denda paling banyak berdasarkan kategori 1 sampai 8, yakni Kategori I, Rp1.000.000,00; Kategori II, Rp10.000.000,00; Kategori III, Rp50.000.000,00; dan Kategori IV, Rp200.000.000,00.
Selanjutnya, Kategori V, Rp500.000.000,00; Kategori VI, Rp2.000.000.000,00; Kategori VII, Rp5.000.000.000,00; dan Kategori VIII, Rp50.000.000.000,00.
Eva yang pada periode 2014—2019 sebagai anggota Komisi XI (Bidang Keuangan dan Perbankan) dari Fraksi PDIP DPR RI menyebutkan Pasal 79 Ayat (2) RUU KUHP menyatakan apabila terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
"Jika di tengah proses ada pasal yang kontroversial, disusulkan dibahas, asal menginginkan pembahasan transparan dan terbuka," kata Eva K. Sundari.
Ia menyebutkan hal itu termasuk merespons usulan masyarakat, misalnya soal kebebasan beragama dan berkeyakinan yang masih dikhawatirkan para aktivis HAM.
Di sisi lain, kata Eva K. Sundari, kelompok perempuan juga menginginkan pasal terkait dengan susila yang masih male bias (bias laki-laki).