Semarang (ANTARA) -
Selain mewaspadai munculnya klaster pengungsian, ia juga mengingatkan pentingnya pemetaan bencana sekaligus pemetaan titik-titik pengungsian.
Ia menekankan ada penambahan titik pengungsian yang memiliki potensi bencana alam yang disebabkan tingginya curah hujan, seperti banjir dan tanah longsor.
Alasan penambahan titik pengungsian, kata dia, untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19 saat terjadi bencana alam.
Berdasarkan data BPBD Jateng, banjir rawan terjadi di 32 kabupaten/kota atau 91,42 persen wilayah Jateng, 295 kecamatan yang rawan banjir yang tersebar di 1.674 desa dengan 743.264 kepala keluarga.
"Jadi hampir semua wilayah di Jateng memiliki potensi bencana. Pemetaan bencana harus lebih detail, pemasangan 'early warning system' dan alatnya juga dicek, apakah masih fungsi atau tidak," kata dia.
Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah Yudi Indras Wiendarto meminta pemerintah daerah, terutama di wilayah rawan bencana, mewaspadai munculnya klaster baru COVID-19 di tempat-tempat pengungsian saat terjadi bencana alam pada musim hujan.
"Jika terjadi bencana dan banyak pengungsi yang berada di satu titik maka akan rawan terjadi penularan COVID-19. Bisa menjadi klaster pengungsian, maka segera dilakukan pencegahan dengan melakukan pemetaan wilayah pengungsian dan protokol kesehatan mesti tetap dijalankan di pengungsian," katanya di Semarang, Kamis.
"Jika terjadi bencana dan banyak pengungsi yang berada di satu titik maka akan rawan terjadi penularan COVID-19. Bisa menjadi klaster pengungsian, maka segera dilakukan pencegahan dengan melakukan pemetaan wilayah pengungsian dan protokol kesehatan mesti tetap dijalankan di pengungsian," katanya di Semarang, Kamis.
Selain mewaspadai munculnya klaster pengungsian, ia juga mengingatkan pentingnya pemetaan bencana sekaligus pemetaan titik-titik pengungsian.
Ia menekankan ada penambahan titik pengungsian yang memiliki potensi bencana alam yang disebabkan tingginya curah hujan, seperti banjir dan tanah longsor.
Alasan penambahan titik pengungsian, kata dia, untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19 saat terjadi bencana alam.
"Apalagi, BMKG memprediksi Jawa Tengah termasuk wilayah yang terkena anomali iklim La Nina yang diketahui membawa efek peningkatan curah hujan pada wilayah yang dilalui. Peningkatan curah hujan seiring dengan awal musim hujan maupun akibat La Nina berpotensi memicu terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor," ujarnya.
Berdasarkan data BPBD Jateng, banjir rawan terjadi di 32 kabupaten/kota atau 91,42 persen wilayah Jateng, 295 kecamatan yang rawan banjir yang tersebar di 1.674 desa dengan 743.264 kepala keluarga.
Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, setidaknya ada tujuh daerah yang berpotensi terjadi banjir, yakni Solo Raya, Pati, Purworejo, Cilacap, Demak, Kudus, dan Jepara.
Untuk lokasi yang rawan longsor ada di 29 kabupaten yang tersebar di 320 kecamatan dan 2.136 desa dengan 642.019 kepala keluarga yang tinggal di lokasi tersebut.
Data itu belum termasuk ancaman bencana tsunami (Cilacap, Kebumen, Purworejo, Wonogiri), gempa bumi dan gunung berapi, gas beracun di Wonosobo, Banjarnegara, Batang, Pekalongan.
"Jadi hampir semua wilayah di Jateng memiliki potensi bencana. Pemetaan bencana harus lebih detail, pemasangan 'early warning system' dan alatnya juga dicek, apakah masih fungsi atau tidak," kata dia.