Jakarta (ANTARA) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan sudah tidak efektif sehingga harus segera direvisi untuk melindungi konsumen Indonesia.
"Konsumen dalam konteks pengendalian tembakau adalah para perokok, perokok pasif, dan calon perokok. Indikasi PP 109/2012 sudah tidak efektif adalah jumlah perokok aktif terus tumbuh," kata Tulus dalam jumpa pers secara daring yang diadakan YLKI diikuti dari Jakarta, Selasa.
Tulus mengatakan Indonesia merupakan negara dengan perokok aktif peringkat ketiga dunia. Meskipun PP 109/2012 ditujukan untuk mengendalikan konsumsi tembakau dan menekan jumlah perokok, faktanya prevalensi perokok anak di Indonesia meningkat tajam.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun sebanyak 7,20 persen. Dalam Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok pada usia yang sama meningkat menjadi 9,10 persen.
"Paparan terhadap perokok pasif juga masih tinggi yang menunjukkan peraturan tentang kawasan tanpa rokok dalam PP 109/2012 tidak efektif," tuturnya.
Peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok yang diatur dalam PP 109/2012 juga dinilai tidak efektif karena terlalu kecil dan bisa ditutupi oleh pita cukai sehingga tujuan dari peringatan tersebut tidak tercapai.
"Bisa ditengarai penutupan peringatan kesehatan bergambar dengan pita cukai disengaja. Di beberapa negara, peringatan kesehatan bergambar sudah mencapai 90 persen ukuran kemasan rokok, bahkan sudah kemasan polos," katanya.
Indikasi lain dari PP 109/2012 sudah tidak efektif adalah iklan rokok secara digital yang semakin masif menyasar anak-anak di internet. Industri rokok leluasa beriklan di internet dan dilihat anak-anak yang memungkinkan mereka mencoba-coba merokok dan menjadi perokok baru.
PP 109/2012 juga belum mengakomodasi produk tembakau jenis baru, yaitu rokok elektronik yang penggunaannya di kalangan remaja, bahkan anak-anak semakin masif.
"Apalagi ada sesat pikir bahwa rokok elektronik dianggap lebih aman dan menjadi alternatif untuk berhenti merokok. Padahal, rokok elektronik justru lebih berbahaya daripada rokok biasa," jelasnya.
Karena itu, YLKI meminta pemerintah konsisten untuk merevisi PP 109/2012. Apalagi, revisi PP tersebut juga telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
"Meskipun ada surat dari gabungan industri tembakau untuk membatalkan revisi PP 109/2012, tetapi adalah kewajiban negara melindungi derajat kesehatan bangsa yang merupakan hak setiap warga negara," katanya.
Baca juga: Dongkrak penjualan, produsen rokok perkecil kemasan
Baca juga: Rokok dijual di bawah HJE, pemerintah didesak revisi aturan "diskon rokok"
"Konsumen dalam konteks pengendalian tembakau adalah para perokok, perokok pasif, dan calon perokok. Indikasi PP 109/2012 sudah tidak efektif adalah jumlah perokok aktif terus tumbuh," kata Tulus dalam jumpa pers secara daring yang diadakan YLKI diikuti dari Jakarta, Selasa.
Tulus mengatakan Indonesia merupakan negara dengan perokok aktif peringkat ketiga dunia. Meskipun PP 109/2012 ditujukan untuk mengendalikan konsumsi tembakau dan menekan jumlah perokok, faktanya prevalensi perokok anak di Indonesia meningkat tajam.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok usia 10 tahun hingga 18 tahun sebanyak 7,20 persen. Dalam Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok pada usia yang sama meningkat menjadi 9,10 persen.
"Paparan terhadap perokok pasif juga masih tinggi yang menunjukkan peraturan tentang kawasan tanpa rokok dalam PP 109/2012 tidak efektif," tuturnya.
Peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok yang diatur dalam PP 109/2012 juga dinilai tidak efektif karena terlalu kecil dan bisa ditutupi oleh pita cukai sehingga tujuan dari peringatan tersebut tidak tercapai.
"Bisa ditengarai penutupan peringatan kesehatan bergambar dengan pita cukai disengaja. Di beberapa negara, peringatan kesehatan bergambar sudah mencapai 90 persen ukuran kemasan rokok, bahkan sudah kemasan polos," katanya.
Indikasi lain dari PP 109/2012 sudah tidak efektif adalah iklan rokok secara digital yang semakin masif menyasar anak-anak di internet. Industri rokok leluasa beriklan di internet dan dilihat anak-anak yang memungkinkan mereka mencoba-coba merokok dan menjadi perokok baru.
PP 109/2012 juga belum mengakomodasi produk tembakau jenis baru, yaitu rokok elektronik yang penggunaannya di kalangan remaja, bahkan anak-anak semakin masif.
"Apalagi ada sesat pikir bahwa rokok elektronik dianggap lebih aman dan menjadi alternatif untuk berhenti merokok. Padahal, rokok elektronik justru lebih berbahaya daripada rokok biasa," jelasnya.
Karena itu, YLKI meminta pemerintah konsisten untuk merevisi PP 109/2012. Apalagi, revisi PP tersebut juga telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
"Meskipun ada surat dari gabungan industri tembakau untuk membatalkan revisi PP 109/2012, tetapi adalah kewajiban negara melindungi derajat kesehatan bangsa yang merupakan hak setiap warga negara," katanya.
Baca juga: Dongkrak penjualan, produsen rokok perkecil kemasan
Baca juga: Rokok dijual di bawah HJE, pemerintah didesak revisi aturan "diskon rokok"