Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha menyebut ruang siber menjadi peluang sekaligus ancaman terhadap eksistensi Pancasila, jika pengelolaannya tidak dengan semestinya.
"Jadi ancaman virus corona bukanlah satu-satunya terhadap eksistensi Pancasila pada era serba digital sekarang ini," kata Ketua Lembaga Riset Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha melalui pesan WA-nya kepada ANTARA di Semarang, Senin.
Pratama mengemukakan hal itu terkait dengan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni. Pada tahun ini peringatannya di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Baca juga: Pakar: Ruang siber salah satu solusi "The New Normal"
Ia melihat masih banyak pekerjaan rumah bagi negara untuk menjaga eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup bangsa. Masalahnya, makin berkembangnya teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.
Pratama menegaskan bahwa ruang siber ini tanpa batas, bahkan informasi mengalir begitu cepat. Bersamaan dengan aliran informasi juga ada bahaya, seperti peretasan, hoaks, ancaman, dan paling berbahaya adalah sentralisasi ekonomi secara global.
Pancasila punya cita-cita luhur agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh segenap anak bangsa dalam suasana damai dan penuh rasa persatuan. Namun, lanjut dia, kini ancaman yang datang dari ruang siber bertambah karena belum siapnya bangsa ini dengan berbagai regulasi.
Ia mengemukakan bahwa hal itu membuat masyarakat terancam makin sulit mewujudkan kesejahteraan, utamanya karena kemajuan teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.
"Makin berkembangnya teknologi di ruang siber mau disadari atau tidak mendorong sentralisasi ekonomi secara global," katanya menekankan.
Menurut dia, situasi yang sulit ketika amanat reformasi mendorong desentralisasi ekonomi, kondisi global saat ini mendorong sentralisasi ekonomi. Bila tidak siap dengan regulasi, akan sangat berbahaya untuk kelangsungan bangsa ke depan.
Pratama lantas menyebutkan banyaknya layanan di ruang siber yang memutus akses negara, misalnya untuk urusan pajak. Pada saat berlangganan Netflix atau membeli software di luar negeri, banyak sekali transaksi tersebut tanpa dikenai pajak.
"Pengawasan transaksi jelas sulit karena posisi penjual juga tidak di Tanah Air," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Urusan pajak merupakan salah satu saja, atau masih ada hal-hal lain, misalnya urusan data. Raksasa teknologi seperti menambang emas dari bangsa ini dalam berbagai bentuk, seperti mesin peramban, telepon pintar (smartphone), aplikasi, dan marketplace (pasar daring).
Padahal, kata Pratama, data sangat mahal saat ini tetapi regulasi tidak siap mengatur agar ada pembagian merata antara negara dan perusahaan teknologi serta masyarakat.
Pratama menandaskan bahwa sentralisasi ekonomi secara global jelas melemahkan negara. Pajak yang berkurang dan eksploitasi data tanpa regulasi ketat membuat Indonesia perlahan berkurang daya tawarnya di depan para korporasi asing dan negara asing.
"Pada akhirnya sulit untuk menjaga Pancasila sebagai landasan hidup bagi masyarakat karena kesejahteraan yang makin sulit diwujudkan di tengah masyarakat," kata Pratama.
Di sisi lain, lanjutnya, penerimaan negara berkurang, masyarakat digempur dengan informasi yang diolah sedemikian rupa melemahkan persatuan, dan ketergantungan teknologi. Ketiganya ini membuat Indonesia sebagai bangsa makin jauh dari Pancasila.
Oleh karena itu, Pratama mengimbau seluruh elemen bangsa, terutama para pengambil kebijakan, untuk serius melihat apa potensi dan ancaman ruang siber. Pasalnya, makin hari, bangsa ini makin menjadi pasar saja bagi asing.
"Ruang siber memberikan peluang kita berkreasi dan menjadi produsen. Bila tidak melakukan itu, kita hanya akan menjadi konsumen yang kehilangan daya tawar di depan negara lain," katanya.
Pratama lantas mencontohkan program internet murah Elon Musk, Starlink, yang akan launching secara global pada tahun 2021. Harga ratusan kali lebih murah dan kecepatannya lebih cepat dari internet saat ini di Tanah Air.
"Bila tidak disiapkan, jelas akan menjadi pukulan telak bagi industri telekomunikasi tanah air," kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Oleh sebab itu, menurut Pratama, negara harus mendorong produksi teknologi dalam negeri yang selaras dengan kebutuhan masyarakat dengan menyesuaikan budaya, sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Selain itu, perlindungan data harus ditingkatkan, kemudian keberpihakan negara pada produk lokal harus benar-benar ada.
Ia mengingatkan kembali bahwa ruang siber yang bertambah luas dengan mengandalkan platform luar terus-menerus jelas akan menggerus nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat.
Baca juga: Serangan siber terhadap WHO naik lima kali lipat
Baca juga: Keamanan siber dan privasi data harus jadi prioritas negara
"Jadi ancaman virus corona bukanlah satu-satunya terhadap eksistensi Pancasila pada era serba digital sekarang ini," kata Ketua Lembaga Riset Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) Pratama Persadha melalui pesan WA-nya kepada ANTARA di Semarang, Senin.
Pratama mengemukakan hal itu terkait dengan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni. Pada tahun ini peringatannya di tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Baca juga: Pakar: Ruang siber salah satu solusi "The New Normal"
Ia melihat masih banyak pekerjaan rumah bagi negara untuk menjaga eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup bangsa. Masalahnya, makin berkembangnya teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.
Pratama menegaskan bahwa ruang siber ini tanpa batas, bahkan informasi mengalir begitu cepat. Bersamaan dengan aliran informasi juga ada bahaya, seperti peretasan, hoaks, ancaman, dan paling berbahaya adalah sentralisasi ekonomi secara global.
Pancasila punya cita-cita luhur agar kesejahteraan bisa dirasakan oleh segenap anak bangsa dalam suasana damai dan penuh rasa persatuan. Namun, lanjut dia, kini ancaman yang datang dari ruang siber bertambah karena belum siapnya bangsa ini dengan berbagai regulasi.
Ia mengemukakan bahwa hal itu membuat masyarakat terancam makin sulit mewujudkan kesejahteraan, utamanya karena kemajuan teknologi ikut mendorong sentralisasi ekonomi secara global.
"Makin berkembangnya teknologi di ruang siber mau disadari atau tidak mendorong sentralisasi ekonomi secara global," katanya menekankan.
Menurut dia, situasi yang sulit ketika amanat reformasi mendorong desentralisasi ekonomi, kondisi global saat ini mendorong sentralisasi ekonomi. Bila tidak siap dengan regulasi, akan sangat berbahaya untuk kelangsungan bangsa ke depan.
Pratama lantas menyebutkan banyaknya layanan di ruang siber yang memutus akses negara, misalnya untuk urusan pajak. Pada saat berlangganan Netflix atau membeli software di luar negeri, banyak sekali transaksi tersebut tanpa dikenai pajak.
"Pengawasan transaksi jelas sulit karena posisi penjual juga tidak di Tanah Air," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Urusan pajak merupakan salah satu saja, atau masih ada hal-hal lain, misalnya urusan data. Raksasa teknologi seperti menambang emas dari bangsa ini dalam berbagai bentuk, seperti mesin peramban, telepon pintar (smartphone), aplikasi, dan marketplace (pasar daring).
Padahal, kata Pratama, data sangat mahal saat ini tetapi regulasi tidak siap mengatur agar ada pembagian merata antara negara dan perusahaan teknologi serta masyarakat.
Pratama menandaskan bahwa sentralisasi ekonomi secara global jelas melemahkan negara. Pajak yang berkurang dan eksploitasi data tanpa regulasi ketat membuat Indonesia perlahan berkurang daya tawarnya di depan para korporasi asing dan negara asing.
"Pada akhirnya sulit untuk menjaga Pancasila sebagai landasan hidup bagi masyarakat karena kesejahteraan yang makin sulit diwujudkan di tengah masyarakat," kata Pratama.
Di sisi lain, lanjutnya, penerimaan negara berkurang, masyarakat digempur dengan informasi yang diolah sedemikian rupa melemahkan persatuan, dan ketergantungan teknologi. Ketiganya ini membuat Indonesia sebagai bangsa makin jauh dari Pancasila.
Oleh karena itu, Pratama mengimbau seluruh elemen bangsa, terutama para pengambil kebijakan, untuk serius melihat apa potensi dan ancaman ruang siber. Pasalnya, makin hari, bangsa ini makin menjadi pasar saja bagi asing.
"Ruang siber memberikan peluang kita berkreasi dan menjadi produsen. Bila tidak melakukan itu, kita hanya akan menjadi konsumen yang kehilangan daya tawar di depan negara lain," katanya.
Pratama lantas mencontohkan program internet murah Elon Musk, Starlink, yang akan launching secara global pada tahun 2021. Harga ratusan kali lebih murah dan kecepatannya lebih cepat dari internet saat ini di Tanah Air.
"Bila tidak disiapkan, jelas akan menjadi pukulan telak bagi industri telekomunikasi tanah air," kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Oleh sebab itu, menurut Pratama, negara harus mendorong produksi teknologi dalam negeri yang selaras dengan kebutuhan masyarakat dengan menyesuaikan budaya, sosial, politik, dan ekonomi Indonesia.
Selain itu, perlindungan data harus ditingkatkan, kemudian keberpihakan negara pada produk lokal harus benar-benar ada.
Ia mengingatkan kembali bahwa ruang siber yang bertambah luas dengan mengandalkan platform luar terus-menerus jelas akan menggerus nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat.
Baca juga: Serangan siber terhadap WHO naik lima kali lipat
Baca juga: Keamanan siber dan privasi data harus jadi prioritas negara