Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha memandang penting keamanan siber dan privasi data harus menjadi prioritas negara dan swasta, apalagi 2 tahun ke depan pengguna internet di Tanah Air bakal menembus 200 juta.
Dalam surelnya yang diterima ANTARA di Semarang, Kamis, Pratama Persadha menyebut catatan We are Social per hari orang Indonesia berinternet 7 jam 59 menit, artinya 1/3 waktu dalam sehari. Fakta inilah yang membuat bisnis dan tata kehidupan di Tanah Air bergerak ke ruang siber.
Oleh karena itu, dia meminta Pemerintah dan swasta sama-sama melakukan digitalisasi. Namun, di lain pihak banyaknya pengambil keputusan yang bukan digital native atau generasi yang benar-benar lahir dan melek digital, membuat keputusan yang dihasilkan sering kali merugikan.
Baca juga: Ancaman siber pada 2020, AI malware dan serangan ke aplikasi populer
"Ini semua karena faktor ketidaktahuan. Padahal, potensi ekonomi digital tanah air menurut Google bisa menembus 100 miliar dolar AS pada tahun 2025," kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Sebelumnya, dalam acara Indonesian CIO Network di Bali, Rabu (4/3), Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha mengemukakan bahwa tingginya potensi ekonomi digital bakal diikuti oleh potensi fraud (penipuan) akibat kejahatan siber yang berpotensi besar pula.
Karena tren bisnis, transaksi, dan pengelolaan negara ini ke arah siber, lanjut Pratama, tindak kejahatan siber juga akan banyak tumbuh di sana. Oleh sebab itu, baik negara maupun swasta, harus bersiap diri, paling tidak menyiapkan sistem yang menjamin keamanan dan privasi data untuk sukses di ruang siber.
Baca juga: Pratama: Social engineering via phishing tetap tinggi pada 2020
Pratama mengatakan bahwa pemerintah Indonesia ingin investor masuk. Selain masalah stabilitas, para pemodal ini juga melihat sejauh mana kesiapan negara mengurusi ruang siber, mulai dari undang-undang, pelaksanaan teknis, infrastruktur, sampai sumber daya manusia (SDM) sibernya.
"Secara teknis paling tidak penggunaan teknologi enkripsi harus menjadi budaya siber di Tanah Air. Hal ini fungsinya jelas untuk keamanan," kata Pratama yang juga dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Selain itu, mampu melakukan audit digital secara berkala demi keamanan. Hal ini perlu dilengkapi dengan mitigasi kebocoran informasi serta peningkatan security awareness (kesadaran keamanan).
Baca juga: Doktor Pratama: Keamanan siber kunci sukses ekonomi digital
Menurut pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini, semuanya sangat penting dalam mewujudkan ekosistem yang mendukung pengamanan data dan privasi.
Pratama menggarisbawahi masih ada pekerjaan rumah yang mendasar di Tanah Air. Misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya melakukan pengawasan berdasarkan regulasi keuangan. Padahal, para pelaku pasar keuangan kini sudah banyak bermigrasi memanfaatkan ruang siber.
"Jadi, teknisnya siapa yang mengawasi, apalagi ada data nasabah di sana, kembali masalah privasi menjadi sorotan," katanya.
Baca juga: Pemerintah diminta perkuat keamanan siber terkait Tol Langit
Oleh karena itu, budaya security awareness harus digalakkan sejak dini, bahkan harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Begitu pula, penggunaan enkripsi, budaya audit sistem berkala dan mitigasi kebocoran informasi harus diterapkan menjadi standar di Tanah Air.
Ia lantas menekankan, "Tak kalah penting sejauh mana perlindungan privasi data penduduk."
Tanpa jaminan privasi dan keamanan, menurut Pratama, ke depannya sulit bagi pasar tanah air untuk masuk ke negara lain yang mensyaratkan pengamanan digital dan privasi yang ketat pada sistemnya.
General Data Protection Regulation (GDPR), misalnya, UU Siber milik Uni Eropa tersebut mensyaratkan kerja sama bisnis maupun nonbisnis bisa dijalin antarlembaga beda negara dengan syarat ada regulasi dan teknologi pengamanan siber yang setara dengan standar Uni Eropa.
Panelis lainnya yang turut mengisi dalam acara tersebut adalah CTO JNE Arief Rahardjo, Country Manager Laksana Budiwiyono, (ISC) 2 Indonesia Chapter President Andang Nugroho, dan Country Manager Tenable Indonesia Hans Tanit.
Dalam surelnya yang diterima ANTARA di Semarang, Kamis, Pratama Persadha menyebut catatan We are Social per hari orang Indonesia berinternet 7 jam 59 menit, artinya 1/3 waktu dalam sehari. Fakta inilah yang membuat bisnis dan tata kehidupan di Tanah Air bergerak ke ruang siber.
Oleh karena itu, dia meminta Pemerintah dan swasta sama-sama melakukan digitalisasi. Namun, di lain pihak banyaknya pengambil keputusan yang bukan digital native atau generasi yang benar-benar lahir dan melek digital, membuat keputusan yang dihasilkan sering kali merugikan.
Baca juga: Ancaman siber pada 2020, AI malware dan serangan ke aplikasi populer
"Ini semua karena faktor ketidaktahuan. Padahal, potensi ekonomi digital tanah air menurut Google bisa menembus 100 miliar dolar AS pada tahun 2025," kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Sebelumnya, dalam acara Indonesian CIO Network di Bali, Rabu (4/3), Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha mengemukakan bahwa tingginya potensi ekonomi digital bakal diikuti oleh potensi fraud (penipuan) akibat kejahatan siber yang berpotensi besar pula.
Karena tren bisnis, transaksi, dan pengelolaan negara ini ke arah siber, lanjut Pratama, tindak kejahatan siber juga akan banyak tumbuh di sana. Oleh sebab itu, baik negara maupun swasta, harus bersiap diri, paling tidak menyiapkan sistem yang menjamin keamanan dan privasi data untuk sukses di ruang siber.
Baca juga: Pratama: Social engineering via phishing tetap tinggi pada 2020
Pratama mengatakan bahwa pemerintah Indonesia ingin investor masuk. Selain masalah stabilitas, para pemodal ini juga melihat sejauh mana kesiapan negara mengurusi ruang siber, mulai dari undang-undang, pelaksanaan teknis, infrastruktur, sampai sumber daya manusia (SDM) sibernya.
"Secara teknis paling tidak penggunaan teknologi enkripsi harus menjadi budaya siber di Tanah Air. Hal ini fungsinya jelas untuk keamanan," kata Pratama yang juga dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Selain itu, mampu melakukan audit digital secara berkala demi keamanan. Hal ini perlu dilengkapi dengan mitigasi kebocoran informasi serta peningkatan security awareness (kesadaran keamanan).
Baca juga: Doktor Pratama: Keamanan siber kunci sukses ekonomi digital
Menurut pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini, semuanya sangat penting dalam mewujudkan ekosistem yang mendukung pengamanan data dan privasi.
Pratama menggarisbawahi masih ada pekerjaan rumah yang mendasar di Tanah Air. Misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hanya melakukan pengawasan berdasarkan regulasi keuangan. Padahal, para pelaku pasar keuangan kini sudah banyak bermigrasi memanfaatkan ruang siber.
"Jadi, teknisnya siapa yang mengawasi, apalagi ada data nasabah di sana, kembali masalah privasi menjadi sorotan," katanya.
Baca juga: Pemerintah diminta perkuat keamanan siber terkait Tol Langit
Oleh karena itu, budaya security awareness harus digalakkan sejak dini, bahkan harus masuk dalam kurikulum pendidikan. Begitu pula, penggunaan enkripsi, budaya audit sistem berkala dan mitigasi kebocoran informasi harus diterapkan menjadi standar di Tanah Air.
Ia lantas menekankan, "Tak kalah penting sejauh mana perlindungan privasi data penduduk."
Tanpa jaminan privasi dan keamanan, menurut Pratama, ke depannya sulit bagi pasar tanah air untuk masuk ke negara lain yang mensyaratkan pengamanan digital dan privasi yang ketat pada sistemnya.
General Data Protection Regulation (GDPR), misalnya, UU Siber milik Uni Eropa tersebut mensyaratkan kerja sama bisnis maupun nonbisnis bisa dijalin antarlembaga beda negara dengan syarat ada regulasi dan teknologi pengamanan siber yang setara dengan standar Uni Eropa.
Panelis lainnya yang turut mengisi dalam acara tersebut adalah CTO JNE Arief Rahardjo, Country Manager Laksana Budiwiyono, (ISC) 2 Indonesia Chapter President Andang Nugroho, dan Country Manager Tenable Indonesia Hans Tanit.