Jakarta (ANTARA) - Pemerintah berencana menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan mulai Januari 2020 bagi masyarakat umum yang jumlahnya paling besar Rp160 ribu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama dengan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI pada 27 Agustus lalu menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan terbagi menjadi dua, yaitu untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan pekerja mandiri serta untuk segmen pekerja penerima upah.
Untuk peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) seperti pekerja mandiri, wiraswasta, dan pekerja nonformal di usaha kecil menengah kenaikan iuran kelas I menjadi Rp160 ribu per bulan dari sebelumnya Rp81 ribu, kelas II menjadi Rp110 ribu dari Rp52 ribu, dan kelas III Rp42 ribu dari sebelumnya Rp25.500.
Sementara kenaikan iuran untuk segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) Badan Usaha seperti karyawan BUMN, karyawan swasta, dan buruh serta segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) Pegawai Negeri seperti ASN dan TNI-Polri yaitu menjadi sebesar 5 persen dari total gaji dengan maksimal Rp12 juta yang sebelumnya 5 persen dari total gaji dengan maksimal Rp12 juta.
Untuk karyawan BUMN dan swasta, perusahaan pemberi kerja membayarkan 4 persen iuran sementara 1 persennya dipotong gaji karyawan. Sementara ASN dan TNI-Polri, instansi pemberi kerja membayarkan 3 persennya sementara 2 persennya dipotong total gaji pegawai termasuk tunjangan kinerja.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Menko PMK Puan Maharani menegaskan bahwa masyarakat miskin tetap ditanggung oleh negara dan tak berdampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Sementara itu Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris juga menyebut bahwa masyarakat kelas pekerja di Indonesia tidak terlalu berdampak dari kenaikan iuran ini. Sebenarnya bagaimana hitungannya?
Tak berdampak
Masyarakat miskin atau golongan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial di Kementerian Sosial dikelompokkan menjadi peserta segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang mana iuran kepesertaan BPJS Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Berdasarkan data dari laman resmi BPJS Kesehatan per 31 Agustus 2019, jumlah masyrakat golongan tidak mampu yang masuk dalam kepesertaan PBI yang iurannya dibayarkan oleh APBN sejumlah 95,65 juta jiwa, sedangkan PBI yang dibayarkan APBD sebanyak 36,26 juta jiwa.
Sehingga sebanyak 131,91 juta orang yang tergolong miskin berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial iuran BPJS Kesehatannya dibayarkan oleh pemerintah.
Jika jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 260 juta jiwa, artinya separuh dari total penduduk Indonesia saat ini telah ditanggung biaya kesehatannya oleh negara. Sebanyak 131,91 juta orang tersebut tidak akan terpengaruh dari kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan. Peserta segmen PBI ini termasuk dalam peserta kelas III di BPJS Kesehatan.
Namun, data 131,91 juta tersebut belum sepenuhnya teruji validitasnya. Apakah data 131,91 juta jiwa tersebut benar-benar orang yang tidak mampu, atau ada masyarakat tidak mampu yang belum terdaftar dalam DTKS Kemensos sehingga belum dijamin oleh negara.
Oleh karena itu Komisi IX dan XI DPR RI memberikan PR kepada pemerintah untuk melakukan pembersihan data agar peserta PBI benar-benar tepat sasaran diperuntukan bagi masyarakat tidak mampu. Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan sektiar 10 juta jiwa lebih yang harus dilakukan pembersihan data yang tercatat di DTKS Kementerian Sosial untuk peserta PBI.
Baca juga: Penuhi target UHC, BPJS Kesehatan gencar sosialisasikan program JKN-KIS
Buruh dan karyawan
Beberapa hari setelah pengumuman kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatasnamakan kaum buruh menolak dengan keras kenaikan iuran tersebut. Tapi apakah benar kaum buruh terdampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan?
Berdasarkan klasifikasinya, buruh merupakan karyawan yang bekerja di suatu perusahaan, sama halnya dengan karyawan swasta maupun karyawan BUMN. Oleh karena itu buruh dan karyawan swasta atau BUMN tidak membayar iuran Rp160 ribu untuk kelas I, melainkan skema pembayaran iurannya termasuk segmen PPU yakni 5 persen dari total gaji.
Seperti dijelaskan di atas, kenaikan iuran untuk segmen PPU yaitu menjadi 5 persen dari total gaji Rp12 juta yang sebelumnya 5 persen dari total gaji Rp8 juta. Karyawan atau buruh hanya membayar 1 persen dari total upah per bulan dengan dipotong langsung dari gaji, sementara 4 persennya ditanggung oleh perusahaan.
Artinya jika buruh tersebut memiliki gaji tidak lebih dari Rp8 juta per bulan, karyawan atau buruh tersebut tidak mengalami kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2020 tersebut.
Kenaikan iuran akan berdampak bagi karyawan atau buruh dengan gaji Rp8 juta hingga Rp12 juta per bulan. Yang sebelumnya hanya membayar iuran 1 persen dari maksimal Rp8 juta yaitu 80 ribu per bulan, iurannya naik menjadi Rp80 ribu hingga Rp120 ribu per bulan karena harus membayar 1 persen dari maksimal Rp12 juta.
Iuran BPJS Kesehatan setiap karyawan pun berbeda tergantung masing-masing upah yang didapat setiap bulannya. Apabila karyawan memiliki gaji Rp6 juta per bulan, potongan untuk iuran BPJS Kesehatan berarti Rp60 ribu per bulan.
Besaran iuran tersebut, yang dibayarkan oleh karyawan maksimal mencapai Rp120 ribu per bulan, berlaku untuk jaminan kesehatan lima anggota keluarga yakni suami istri dan tiga orang anak. Bila dihitung, maksimal besaran iuran per orang per bulan bagi karyawan dengan pasangan dan tiga orang anak adalah Rp24 ribu per orang per bulan.
Namun Dirut BPJS Kesehatan Fachmi mengatakan hanya tiga persen pekerja yang memiliki gaji di atas Rp8 juta per bulan dari keseluruhan peserta dan berdampak pada kenaikan iuran. "Berdasarkan master file kepesertaan kami, pekerja dengan gaji di atas Rp12 juta hanya 3 persen," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris beberapa waktu lalu.
Baca juga: Wapres bandingkan kenaikan premi BPJS dengan beli rokok
Pekerja mandiri
Segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau pekerja mandiri memang yang besaran iurannya naik signifikan, yaitu hampir 100 persen. Namun apabila peserta pekerja mandiri merasa terlalu berat dengan besaran kenaikan iuran yang mencapai Rp160 ribu per orang per bulan, masyarakat bisa mengajukan penurunan kelas menjadi kelas II atau kelas III dengan iuran yang besarannya lebih ringan. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, peserta segmen PBPU ini jumlahnya mencapai 32,61 juta jiwa.
Namun apabila masyarakat masih merasa tidak mampu membayar Rp42 ribu per bulan untuk setiap anggota keluarganya, warga bisa mendatangi kantor Dinas Sosial masing-masing daerah untuk didaftarkan sebagai masyarakat golongan tidak mampu agar iuran BPJS Kesehatannya ditanggung oleh pemerintah.
Menkeu Sri Mulyani dalam rapat di DPR menegaskan bahwa pemerintah menjamin kesehatan masyarakat Indonesia dengan standar pelayanan kelas III.
Untuk diketahui, manfaat layanan kesehatan antara peserta kelas I dengan kelas II atau kelas III tidak memiliki perbedaan dari sisi obat-obatan maupun tindakan. Yang membedakan hanyalah fasilitas kamar yang didapatkan ketika peserta menjalani rawat inap di rumah sakit.
Peserta BPJS Kesehatan kelas I, II, maupun III tetap bisa mendapatkan jaminan untuk cuci darah seumur hidup, operasi sten jantung dan pemasangan ring, operasi bypass jantung, kemoterapi, fisioterapi, pengobatan gigi, optik dan lain-lainnya. Obat-obatan yang diberikan kepada pasien program JKN kelas I, II, dan III pun sama.
Fachmi menyebutkan banyak jaminan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan namun tidak bisa didapatkan dari asuransi kesehatan swasta lain. "Ada nggak asuransi kesehatan swasta yang menjamin cuci darah seumur hidup, lalu penyakit katastropik, ada ngga?" kata dia beberapa waktu lalu.
Beberapa perbedaan antara BPJS Kesehatan dengan asuransi kesehatan swasta ialah tanpa harus melakukan cek kesehatan untuk menilai risiko penyakit yang menentukan besaran premi peserta, dan tidak ada batas maksimum atau plafond pembiayaan seperti asuransi swasta.
Fachmi menegaskan bahwa pemerintah ingin mengubah perilaku masyarakat tentang kesadaran akan kesehatan, dan juga tentang program Jaminan Kesehatan Nasional. Dia menjelaskan bahwa prinsip dari program JKN adalah gotong royong, di mana orang yang sehat membiayai yang sakit dan yang kaya membiayai yang miskin.
Ketika peserta membayar iuran tiap bulan dan belum pernah menggunakannya sama sekali, uang tersebut digunakan untuk menolong pembiayaan orang lain yang sakit. Karena program JKN merupakan jaminan kesehatan sosial untuk memberikan akses layanan kesehatan untuk masyarakat miskin, dan layanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama dengan Komisi IX dan Komisi XI DPR RI pada 27 Agustus lalu menyampaikan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan terbagi menjadi dua, yaitu untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan pekerja mandiri serta untuk segmen pekerja penerima upah.
Untuk peserta segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) seperti pekerja mandiri, wiraswasta, dan pekerja nonformal di usaha kecil menengah kenaikan iuran kelas I menjadi Rp160 ribu per bulan dari sebelumnya Rp81 ribu, kelas II menjadi Rp110 ribu dari Rp52 ribu, dan kelas III Rp42 ribu dari sebelumnya Rp25.500.
Sementara kenaikan iuran untuk segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) Badan Usaha seperti karyawan BUMN, karyawan swasta, dan buruh serta segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) Pegawai Negeri seperti ASN dan TNI-Polri yaitu menjadi sebesar 5 persen dari total gaji dengan maksimal Rp12 juta yang sebelumnya 5 persen dari total gaji dengan maksimal Rp12 juta.
Untuk karyawan BUMN dan swasta, perusahaan pemberi kerja membayarkan 4 persen iuran sementara 1 persennya dipotong gaji karyawan. Sementara ASN dan TNI-Polri, instansi pemberi kerja membayarkan 3 persennya sementara 2 persennya dipotong total gaji pegawai termasuk tunjangan kinerja.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Menko PMK Puan Maharani menegaskan bahwa masyarakat miskin tetap ditanggung oleh negara dan tak berdampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Sementara itu Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris juga menyebut bahwa masyarakat kelas pekerja di Indonesia tidak terlalu berdampak dari kenaikan iuran ini. Sebenarnya bagaimana hitungannya?
Tak berdampak
Masyarakat miskin atau golongan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial di Kementerian Sosial dikelompokkan menjadi peserta segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang mana iuran kepesertaan BPJS Kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Berdasarkan data dari laman resmi BPJS Kesehatan per 31 Agustus 2019, jumlah masyrakat golongan tidak mampu yang masuk dalam kepesertaan PBI yang iurannya dibayarkan oleh APBN sejumlah 95,65 juta jiwa, sedangkan PBI yang dibayarkan APBD sebanyak 36,26 juta jiwa.
Sehingga sebanyak 131,91 juta orang yang tergolong miskin berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial iuran BPJS Kesehatannya dibayarkan oleh pemerintah.
Jika jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 260 juta jiwa, artinya separuh dari total penduduk Indonesia saat ini telah ditanggung biaya kesehatannya oleh negara. Sebanyak 131,91 juta orang tersebut tidak akan terpengaruh dari kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan. Peserta segmen PBI ini termasuk dalam peserta kelas III di BPJS Kesehatan.
Namun, data 131,91 juta tersebut belum sepenuhnya teruji validitasnya. Apakah data 131,91 juta jiwa tersebut benar-benar orang yang tidak mampu, atau ada masyarakat tidak mampu yang belum terdaftar dalam DTKS Kemensos sehingga belum dijamin oleh negara.
Oleh karena itu Komisi IX dan XI DPR RI memberikan PR kepada pemerintah untuk melakukan pembersihan data agar peserta PBI benar-benar tepat sasaran diperuntukan bagi masyarakat tidak mampu. Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan sektiar 10 juta jiwa lebih yang harus dilakukan pembersihan data yang tercatat di DTKS Kementerian Sosial untuk peserta PBI.
Baca juga: Penuhi target UHC, BPJS Kesehatan gencar sosialisasikan program JKN-KIS
Buruh dan karyawan
Beberapa hari setelah pengumuman kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatasnamakan kaum buruh menolak dengan keras kenaikan iuran tersebut. Tapi apakah benar kaum buruh terdampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan?
Berdasarkan klasifikasinya, buruh merupakan karyawan yang bekerja di suatu perusahaan, sama halnya dengan karyawan swasta maupun karyawan BUMN. Oleh karena itu buruh dan karyawan swasta atau BUMN tidak membayar iuran Rp160 ribu untuk kelas I, melainkan skema pembayaran iurannya termasuk segmen PPU yakni 5 persen dari total gaji.
Seperti dijelaskan di atas, kenaikan iuran untuk segmen PPU yaitu menjadi 5 persen dari total gaji Rp12 juta yang sebelumnya 5 persen dari total gaji Rp8 juta. Karyawan atau buruh hanya membayar 1 persen dari total upah per bulan dengan dipotong langsung dari gaji, sementara 4 persennya ditanggung oleh perusahaan.
Artinya jika buruh tersebut memiliki gaji tidak lebih dari Rp8 juta per bulan, karyawan atau buruh tersebut tidak mengalami kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2020 tersebut.
Kenaikan iuran akan berdampak bagi karyawan atau buruh dengan gaji Rp8 juta hingga Rp12 juta per bulan. Yang sebelumnya hanya membayar iuran 1 persen dari maksimal Rp8 juta yaitu 80 ribu per bulan, iurannya naik menjadi Rp80 ribu hingga Rp120 ribu per bulan karena harus membayar 1 persen dari maksimal Rp12 juta.
Iuran BPJS Kesehatan setiap karyawan pun berbeda tergantung masing-masing upah yang didapat setiap bulannya. Apabila karyawan memiliki gaji Rp6 juta per bulan, potongan untuk iuran BPJS Kesehatan berarti Rp60 ribu per bulan.
Besaran iuran tersebut, yang dibayarkan oleh karyawan maksimal mencapai Rp120 ribu per bulan, berlaku untuk jaminan kesehatan lima anggota keluarga yakni suami istri dan tiga orang anak. Bila dihitung, maksimal besaran iuran per orang per bulan bagi karyawan dengan pasangan dan tiga orang anak adalah Rp24 ribu per orang per bulan.
Namun Dirut BPJS Kesehatan Fachmi mengatakan hanya tiga persen pekerja yang memiliki gaji di atas Rp8 juta per bulan dari keseluruhan peserta dan berdampak pada kenaikan iuran. "Berdasarkan master file kepesertaan kami, pekerja dengan gaji di atas Rp12 juta hanya 3 persen," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris beberapa waktu lalu.
Baca juga: Wapres bandingkan kenaikan premi BPJS dengan beli rokok
Pekerja mandiri
Segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau pekerja mandiri memang yang besaran iurannya naik signifikan, yaitu hampir 100 persen. Namun apabila peserta pekerja mandiri merasa terlalu berat dengan besaran kenaikan iuran yang mencapai Rp160 ribu per orang per bulan, masyarakat bisa mengajukan penurunan kelas menjadi kelas II atau kelas III dengan iuran yang besarannya lebih ringan. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, peserta segmen PBPU ini jumlahnya mencapai 32,61 juta jiwa.
Namun apabila masyarakat masih merasa tidak mampu membayar Rp42 ribu per bulan untuk setiap anggota keluarganya, warga bisa mendatangi kantor Dinas Sosial masing-masing daerah untuk didaftarkan sebagai masyarakat golongan tidak mampu agar iuran BPJS Kesehatannya ditanggung oleh pemerintah.
Menkeu Sri Mulyani dalam rapat di DPR menegaskan bahwa pemerintah menjamin kesehatan masyarakat Indonesia dengan standar pelayanan kelas III.
Untuk diketahui, manfaat layanan kesehatan antara peserta kelas I dengan kelas II atau kelas III tidak memiliki perbedaan dari sisi obat-obatan maupun tindakan. Yang membedakan hanyalah fasilitas kamar yang didapatkan ketika peserta menjalani rawat inap di rumah sakit.
Peserta BPJS Kesehatan kelas I, II, maupun III tetap bisa mendapatkan jaminan untuk cuci darah seumur hidup, operasi sten jantung dan pemasangan ring, operasi bypass jantung, kemoterapi, fisioterapi, pengobatan gigi, optik dan lain-lainnya. Obat-obatan yang diberikan kepada pasien program JKN kelas I, II, dan III pun sama.
Fachmi menyebutkan banyak jaminan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan namun tidak bisa didapatkan dari asuransi kesehatan swasta lain. "Ada nggak asuransi kesehatan swasta yang menjamin cuci darah seumur hidup, lalu penyakit katastropik, ada ngga?" kata dia beberapa waktu lalu.
Beberapa perbedaan antara BPJS Kesehatan dengan asuransi kesehatan swasta ialah tanpa harus melakukan cek kesehatan untuk menilai risiko penyakit yang menentukan besaran premi peserta, dan tidak ada batas maksimum atau plafond pembiayaan seperti asuransi swasta.
Fachmi menegaskan bahwa pemerintah ingin mengubah perilaku masyarakat tentang kesadaran akan kesehatan, dan juga tentang program Jaminan Kesehatan Nasional. Dia menjelaskan bahwa prinsip dari program JKN adalah gotong royong, di mana orang yang sehat membiayai yang sakit dan yang kaya membiayai yang miskin.
Ketika peserta membayar iuran tiap bulan dan belum pernah menggunakannya sama sekali, uang tersebut digunakan untuk menolong pembiayaan orang lain yang sakit. Karena program JKN merupakan jaminan kesehatan sosial untuk memberikan akses layanan kesehatan untuk masyarakat miskin, dan layanan kesehatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.