Semarang (ANTARA) - Data menjadi komoditas paling dicari dan paling berharga di dunia sehingga perlu dilindungi, kata pakar keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Dr. Pratama Persadha.
Seabad yang lalu, kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) melalui surelnya kepada ANTARA di Semarang, Selasa, minyak menjadi komoditas yang paling berharga di dunia. Namun, pada era digital seperti sekarang ini, data menjadi komoditas paling berharga.
Dunia saat ini, lanjut Pratama, telah memasuki era baru, dunia industri dan bisnis menggunakan peran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Kemampuan AI untuk mengolah data sehingga menjadi sesuatu yang berharga. Bahkan, lebih berharga dari minyak atau barang tambang lainnya.
Baca juga: Doktor Pratama: Keamanan siber kunci sukses ekonomi digital
Pada era ini, mulai dari profil seseorang, aktivitas, kebiasaan, lokasi, hingga kesukaan dapat dengan mudah dikumpulkan. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian diolah melalui kemampuan AI sehingga menjadi informasi berharga.
Pratama menjelaskan bahwa secara virtual semua aktivitas keseharian yang dilakukan oleh setiap orang adalah "tambang" data digital. Data tersebut kemudian ditambang menggunakan internet atau smartphone yang digunakan sehari-hari.
Ia lantas mencontohkan pergerakan masyarakat Jakarta yang terekam melalui global positioning system (GPS). Dari rekaman tersebut dapat diketahui lokasi-lokasi dengan kerumunan atau kepadatan yang tinggi, kemudian dapat diketahui waktu atau jam puncaknya, dan seterusnya.
"Dari data tersebut dapat ditentukan prospek bisnis yang sesuai," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Baca juga: DPR setujui RUU Keamanan Siber
Lebihi Kebutuhan Minyak
Karena begitu pentingnya peran data saat ini, lanjut dia, di negara-negara maju tingkat kebutuhan terhadap data melebihi kebutuhan minyak. Sebuah negara atau perusahaan dapat menguasai ekonomi dan mendapatkan keuntungan yang besar dari negara lainnya dengan menggunakan data.
Maka, Pratama tidak heran jika sekarang para investor tidak sungkan memberikan kucuran dana besar kepada startup-startup di dunia yang mampu menawarkan data kepada mereka.
Baca juga: 40 WNA sindikat kejahatan siber diadili di Indonesia
"Kita bisa lihat sendiri bagaimana startup-startup dalam negeri dengan status unicorn atau decacorn yang mendapatkan guyuran dana besar dari berbagai perusahaan-perusahaan asing sebagai bagian dari investasi," kata Pratama.
Para investor tersebut memberikan dana besar karena melihat startup tersebut memiliki data dalam jumlah besar.
Pratama lantas membandingkan valuasi (nilai ekonomi dari sebuah bisnis) 500 perusahaan besar pada tahun 2006 dan 2019. Sebagian besar dari 10 perusahaan teratas pada tahun ini adalah perusahaan yang menjadikan data sebagai fokus utama. Misalnya, Amazon yang menduduki peringkat teratas dengan valuasi sekitar Rp4.480,1 triliun.
Selanjutnya, Apple dengan valuasi sebesar Rp4.395 triliun, Google (Rp4.387 triliun), Microsoft (Rp3.567 triliun), Visa (Rp2.526 triliun), dan Facebook (Rp2.257 triliun).
Sementara itu, di Indonesia, Gojek perusahaan penyandang status decacorn pertama Indonesia memiliki valuasi 10 miliar dolar AS atau setara dengan Rp142 triliun. Hal ini membuat valuasi Gojek 14 kali lipat dari kapitalisasi pasar maskapai Garuda Indonesia yang berada di angka Rp11,07 triliun.
Payung Hukum
Oleh karena itu, agar data ekonomi digital Indonesia tidak lepas atau dimanfaatkan pihak asing, Pratama memandang perlu Pemerintah serius mewujudkan payung hukum atau kebijakan untuk melindungi data tersebut. Misalnya, mewujudkan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi dan UU Keamanan Siber.
Pada saat ini, kata Pratama, Indonesia sudah memiliki aturan soal perlindungan data pribadi untuk sistem transaksi elektronik. Namun, hanya sebatas Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Untuk UU Perlindungan Data Pribadi, menurut dia, melindungi beberapa data KTP saja, bukan perilaku pelanggan yang direkam oleh startup. Undang-undangnya pun masih draf, belum ditandatangani.
Selain itu, pemerintah juga perlu memiliki pusat inkubasi data tersendiri yang bisa diakses untuk mengatur bagian krusial dari data ekonomi digital.
Ia mencontohkan India dengan sistem identitas digital mereka bernama Aadhaar. Proteksi terhadap data rakyat Indonesia mendesak untuk dilakukan.
"Hal ini disadari atau tidak, selain sebagai bagian dari bisnis, penguasaan data juga menjadi bagian dari perang asimetris," kata Pratama.
Baca juga: Doktor Pratama: Kesadaran keamanan siber perlu ditingkatkan terkait isu 13 juta akun dibobol
Seabad yang lalu, kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) melalui surelnya kepada ANTARA di Semarang, Selasa, minyak menjadi komoditas yang paling berharga di dunia. Namun, pada era digital seperti sekarang ini, data menjadi komoditas paling berharga.
Dunia saat ini, lanjut Pratama, telah memasuki era baru, dunia industri dan bisnis menggunakan peran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Kemampuan AI untuk mengolah data sehingga menjadi sesuatu yang berharga. Bahkan, lebih berharga dari minyak atau barang tambang lainnya.
Baca juga: Doktor Pratama: Keamanan siber kunci sukses ekonomi digital
Pada era ini, mulai dari profil seseorang, aktivitas, kebiasaan, lokasi, hingga kesukaan dapat dengan mudah dikumpulkan. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian diolah melalui kemampuan AI sehingga menjadi informasi berharga.
Pratama menjelaskan bahwa secara virtual semua aktivitas keseharian yang dilakukan oleh setiap orang adalah "tambang" data digital. Data tersebut kemudian ditambang menggunakan internet atau smartphone yang digunakan sehari-hari.
Ia lantas mencontohkan pergerakan masyarakat Jakarta yang terekam melalui global positioning system (GPS). Dari rekaman tersebut dapat diketahui lokasi-lokasi dengan kerumunan atau kepadatan yang tinggi, kemudian dapat diketahui waktu atau jam puncaknya, dan seterusnya.
"Dari data tersebut dapat ditentukan prospek bisnis yang sesuai," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Baca juga: DPR setujui RUU Keamanan Siber
Lebihi Kebutuhan Minyak
Karena begitu pentingnya peran data saat ini, lanjut dia, di negara-negara maju tingkat kebutuhan terhadap data melebihi kebutuhan minyak. Sebuah negara atau perusahaan dapat menguasai ekonomi dan mendapatkan keuntungan yang besar dari negara lainnya dengan menggunakan data.
Maka, Pratama tidak heran jika sekarang para investor tidak sungkan memberikan kucuran dana besar kepada startup-startup di dunia yang mampu menawarkan data kepada mereka.
Baca juga: 40 WNA sindikat kejahatan siber diadili di Indonesia
"Kita bisa lihat sendiri bagaimana startup-startup dalam negeri dengan status unicorn atau decacorn yang mendapatkan guyuran dana besar dari berbagai perusahaan-perusahaan asing sebagai bagian dari investasi," kata Pratama.
Para investor tersebut memberikan dana besar karena melihat startup tersebut memiliki data dalam jumlah besar.
Pratama lantas membandingkan valuasi (nilai ekonomi dari sebuah bisnis) 500 perusahaan besar pada tahun 2006 dan 2019. Sebagian besar dari 10 perusahaan teratas pada tahun ini adalah perusahaan yang menjadikan data sebagai fokus utama. Misalnya, Amazon yang menduduki peringkat teratas dengan valuasi sekitar Rp4.480,1 triliun.
Selanjutnya, Apple dengan valuasi sebesar Rp4.395 triliun, Google (Rp4.387 triliun), Microsoft (Rp3.567 triliun), Visa (Rp2.526 triliun), dan Facebook (Rp2.257 triliun).
Sementara itu, di Indonesia, Gojek perusahaan penyandang status decacorn pertama Indonesia memiliki valuasi 10 miliar dolar AS atau setara dengan Rp142 triliun. Hal ini membuat valuasi Gojek 14 kali lipat dari kapitalisasi pasar maskapai Garuda Indonesia yang berada di angka Rp11,07 triliun.
Payung Hukum
Oleh karena itu, agar data ekonomi digital Indonesia tidak lepas atau dimanfaatkan pihak asing, Pratama memandang perlu Pemerintah serius mewujudkan payung hukum atau kebijakan untuk melindungi data tersebut. Misalnya, mewujudkan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi dan UU Keamanan Siber.
Pada saat ini, kata Pratama, Indonesia sudah memiliki aturan soal perlindungan data pribadi untuk sistem transaksi elektronik. Namun, hanya sebatas Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Untuk UU Perlindungan Data Pribadi, menurut dia, melindungi beberapa data KTP saja, bukan perilaku pelanggan yang direkam oleh startup. Undang-undangnya pun masih draf, belum ditandatangani.
Selain itu, pemerintah juga perlu memiliki pusat inkubasi data tersendiri yang bisa diakses untuk mengatur bagian krusial dari data ekonomi digital.
Ia mencontohkan India dengan sistem identitas digital mereka bernama Aadhaar. Proteksi terhadap data rakyat Indonesia mendesak untuk dilakukan.
"Hal ini disadari atau tidak, selain sebagai bagian dari bisnis, penguasaan data juga menjadi bagian dari perang asimetris," kata Pratama.
Baca juga: Doktor Pratama: Kesadaran keamanan siber perlu ditingkatkan terkait isu 13 juta akun dibobol