Banyumas, ANTARA JATENG - Ikan sidat yang bentuknya mirip belut dalam beberapa waktu terakhir mencuri perhatian pembudi daya ikan di sejumlah wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Harga jual sidat yang tinggi dan berpeluang untuk diekspor telah menjadi daya tarik tersendiri bagi petani sehingga mereka mencoba untuk membudidayakan ikan itu.

Salah seorang pembudi daya di Desa Dawuhan Kulon RT 01 RW 02, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Emi Wijayanti (48) mengaku tertarik membudidayakan setelah melihat hasil panen sejumlah petani ikan yang menggiurkan.

"Saya punya 14 kolam permanen yang selama ini digunakan untuk membudidayakan beberapa jenis ikan di antaranya tawes dan gurami. Beberapa bulan lalu, saya mencoba menebarkan benih sidat di dua kolam," katanya.

Kendati sudah banyak pembudi daya ikan yang sukses membudidayakan sidat, dia mengaku masih memelajari apakah hermaprodit itu cocok dipelihara di kolamnya ataukah tidak cocok.

"Saya masih mencoba-coba. Kalau memang proses budi daya sidat lebih mudah, ya akan diteruskan, apalagi harga jualnya cukup tinggi," katanya.

Selain petani pembudi daya ikan, sidat pun mencuri perhatian puluhan anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Banyumas.

Meskipun berprofesi sebagai guru, 40 anggota PGRI Kabupaten Banyumas berminat untuk membudidayakan sidat.

Oleh karena itu, mereka mendatangi Kampung Sidat Brilian yang dikelola Kelompok Tani Pelajar dan Mahasiswa (KTPM) di Desa Singasari, Kecamatan Karanglewas, Banyumas, untuk mengikuti kegiatan Pelatihan Usaha Pembesaran Ikan Sidat pada 4 Maret 2017.

Ketua PGRI Kabupaten Banyumas Takdir Widagdo mengatakan pelatihan tersebut diikuti pengurus dan anggota PGRI yang hampir memasuki masa pensiun.

"Kalau dilihat dari bentuk organisasinya memang organisasi profesi yang di dalamnya para profesional, yaitu guru. Namun kami perlu memikirkan masa depan anggota terutama setelah mereka pensiun," katanya.

Ia mengharapkan anggota PGRI yang mengikuti pelatihan tersebut memiliki usaha ketika memasuki masa pensiun sehingga tidak mengandalkan gaji pensiunan.

"Kami juga mempunyai tujuan untuk mengurangi `post-power syndrome` dari teman-teman sehingga ketika memasuki pensiun, mereka punya aktivitas lain yang diharapkan bisa menghasilkan, yakni dengan membudidayakan sidat," katanya.

Sebelum pelaksanaan pelatihan, kata dia, pihaknya terlebih dulu mengedarkan kuisioner dan mayoritas memilih belajar budi daya ikan sidat.

Menurut dia, pelatihan budi daya sidat dipilih mayoritas anggota khususnya pengurus PGRI karena selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan berpeluang ekspor, ikan itu juga kaya protein.

"Anggota kami ada 10 ribu orang dan untuk periode pertama ini pelatihan budi daya sidat. Ke depan, kami merencanakan pelatihan budi daya lele sangkuriang," katanya.

Berdasarkan hasil penelitian, kandungan vitamin B1 pada sidat mencapai 25 kali lipat dari susu sapi, vitamin B2 mencapai lima kali lipat dari susu sapi, dan vitamin A mencapai 45 kali lipat dari susu sapi.

Selain itu, kandungan "zinc" pada sidat mencapai sembilan kali lipat dari susu sapi dan asam lemak omega 3 tinggi karena mencapai 10,9 gram per 100 gram atau lebih tinggi dari ikan salmon.

Ikan sidat juga mengandung DHA (Decosahexaonoic Acid) atau zat wajib bagi pertumbuhan anak sebanyak 1.337 miligram per 100 gram atau lebih tinggi dari ikan salmon yang sebesar 748 miligram per 100 gram.

Bahkan, kandungan EPA (Eicosapentaenoic Acid) pada sidat mencapai 742 miligram per 100 gram atau di atas ikan salmon yang sebesar 482 miligram per 100 gram.

Di samping itu, ikan sidat memiliki gizi yang tinggi, kaya protein, vitamin D, vitamin E, serta asam lemak amino, asam ganggang, dan asam ribonukleat.

Peluang Ekspor
Selain harga jual di pasar lokal yang cukup tinggi, sidat pun memiliki peluang ekspor terutama ke Jepang.

Sejumlah sumber menyebutkan konsumsi sidat di Jepang dalam satu tahun bisa mencapai lebih dari 100.000 ton.

Sementara kemampuan produksi sidat di Jepang hanya 60.000 ton per tahun sehingga kekurangannya dipenuhi melalui impor dari sejumlah negara, antara lain Indonesia dan Tiongkok.

Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan sidat memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan berpeluang untuk diekspor.

"Kalau diekspor, harganya bisa mencapai Rp400 ribu hingga Rp500 ribu per kilogram. Nilai ekonominya tinggi namun ketentuan kualitas sidat yang akan diekspor sangat ketat sehingga sementara ini hanya untuk konsumsi lokal saja," katanya

Menurut dia, harga sidat untuk konsumsi lokal hanya berkisar Rp120 ribu hingga Rp150 ribu per kilogram.

Selain itu, kata dia, sidat juga memiliki keunggulan berupa kandungan gizi atau protein yang sangat tinggi.

"Kandungan nutrisi sidat sama dengan ikan salmon, harganya pun kira-kira sebanding," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, Pemerintah Kabupaten Banyumas terus menggalakkan pembudidayaan sidat.

Ketua Umum Asosiasi Petani Penangkap dan Pembudidaya Sidat (AP3S) Provinsi Jawa Tengah Muhammad Adib mengatakan jika berorientasi untuk ekspor, biaya pakan sidat tergolong mahal.

"Biaya pakan itu bisa berapa kali lipat dari biaya benih. Tapi kalau untuk konsumsi lokal, bisa menggunakan pakan alami seperti ikan-ikan kecil dan keong," katanya.

Ia mengatakan setiap eksportir sidat memiliki standar yang berbeda-beda.

Dalam hal ini, ada eksportir yang mengharuskan penggunaan pakan yang berbentuk pasta untuk sidat yang akan diekspor.

"Padahal, 1 kilogram pakan pasta harganya mencapai Rp25 ribu," kata pengasuh KTPM Brilian itu.

Adib mengatakan berdasarkan hitungan sederhana, kebutuhan pakan sebanyak dua kali lipat hasil panen.

Dia mencontohkan jika benih sidat yang ditebar sebanyak 1 kilogram isi 10-15 ekor dengan waktu pembesaran empat bulan, hasil panen yang diperoleh diperkirakan sebesar 5 kilogram sehingga kebutuhan pakannya mencapai 10 kilogram.

Terkait masalah pakan yang sering menjadi kendala pembudidaya ikan khususnya sidat, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Isdy Sulistyo mengatakan pihaknya hingga sekarang sedang mencari formula pakan yang tepat dan berkualitas agar harganya tidak terlalu mahal.

Menurut dia, pihaknya sudah dua tahun melalukan penelitian untuk membuat pakan sidat yang murah dan berkualitas.

"Prototipe pakannya sudah ada namun masih harus diuji lagi," katanya.

Kendala Benih
Ketua AP3S Jawa Tengah Muhammad Adib mengatakan beberapa pembudi daya sidat terutama yang berada di luar Banyumas sering kali kesulitan untuk mendapatkan benih.

Selama ini, pembudi daya banyak yang memperoleh benih sidat secara langsung dari penangkap karena hingga sekarang, pembenihan sidat masih sulit untuk dilakukan.

Akan tetapi setelah benih hasil tangkapan tersebut dibudidayakan, angka kematiannya bisa mencapai 80 persen hingga 100 persen.

"Angka kematian dari benih hasil tangkapan yang langsung dibudidayakan minimal 20 persen. Oleh karena itu, kami berinisiatif untuk menyiapkan benih melalui proses karantina," katanya.

Menurut dia, pihaknya membeli benih dari penangkap dan selanjutnya dikarantina selama dua bulan hingga sidat-sidat itu mau makan pakan buatan.

Benih sidat itu akan dijual ke pembudidaya setelah mau makan pakan buatan.

Kendati demikian, Adib mengakui kapasitas produksi benih hasil karantina di Kampung Sidat Brilian yang dikelola KTPM Brilian rata-rata baru berkisar 1-1,5 kuintal per bulan dengan harga jual bervariasi yang bergantung pada jumlah benih setiap kilogram.

Menurut dia, benih seberat 1 kilogram yang berisi 80-100 ekor dijual dengan harga sebesar Rp550 ribu.

"Benih yang isinya 80-100 ekor biasanya baru dapat dipanen satu tahun kemudian. Namun kadang pada bulan kelima biasanya ada sidat yang masuk ukuran konsumsi," jelasnya.

Sementara untuk benih sidat 1 kilogram isi 30-40 ekor yang dijual dengan harga Rp350 ribu, kata dia, bisa dipanen setelah delapan bulan dibudidayakan, sedangkan untuk benih sidat 1 kilogram isi 10-15 ekor yang dijual dengan harga Rp160 ribu dapat dipanen setelah empat bulan dibudidayakan.

Menurut dia, pihaknya menyarankan pembudidaya untuk membeli benih yang isinya 30-40 ekor per kilogram maupun 10-15 ekor per kilogram untuk mengurangi risiko kematian.

"Itu karena benih yang isinya 80-100 ekor per kilogram, angka kematiannya masih tinggi meskipun telah dikarantina," katanya.


Pewarta : Sumarwoto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024