Semarang, ANTARAJATENG - Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Jawa Tengah dan Daerah Yogyakarta (DIY) menjelaskan bahwa Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) mengalamai perubahan setiap lima tahun sekali seiring dengan Amandemen Harmonized System (HS) secara periodik setiap 5 tahun sekali oleh World Customs Organization (WCO).
Selain Buku Tarif Kepabeanan Indonesia, penyesuaian juga diterapkan untuk Asean Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) mengacu pada Harmonized System (HS). Amandemen tersebut dilakukan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan teknologi, pola perdagangan, dan kondisi dunia.
Buku Tarif Kepabeanan Indonesia mengalami perubahan dari BTKI 2012 menjadi BTKI 2017 per 1 Maret 2017. Saat ini berlaku BTKI 2012 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
Sejumlah perubahan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia yakni: pertama, perubahan dari 10 digit menjadi 8 digit kode HS. Dengan pengurangan digit tersebut, maka pos tarif tidak dapat lagi mengakomodasi pos tarif nasional yang dalam BTKI 2012 dicantumkan dalam kode digit kesembilan dan kesepuluh. Dengan dihapuskannya digit nasional, maka Indonesia harus dapat memasukkan kepentingan nasional dalam klasifikasi HS yang baru.
Kedua, perubahan karena adanya usulan pos tarif baru, pemecahan pos tarif, atau penggabungan pos tarif. Pos tarif baru dapat diusulkan oleh negara-negara anggota ASEAN dengan memperhatikan nilai perdagangan yang tinggi, perlunya pembedaan dengan pos tarif yang sudah ada, adanya larangan dan pembatasan (lartas), serta barang yang perlu dibedakan dalam pencatatan statistiknya. Dalam usulan tersebut dapat mengakomodasi juga pos tarif nasional yang sebelumnya dibedakan berdasarkan pos tarif nasional pada BTKI 2012.
Ketiga, potensi perubahan kebijakan yang diusulkan oleh pembina sektor. Perubahan kebijakan yang dimaksud adalah perubahan tarif bea masuk yang disesuaikan dengan kebijakan kementerian/lembaga terkait.
Pemberlakuan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2017, diharapkan dapat meningkatkan perdagangan internasional Indonesia dengan mempermudah proses importasi dan eksportasi serta proses pertukaran data dalam rangka Masyarakat Ekonomi Asean (AEC).(adv)
Selain Buku Tarif Kepabeanan Indonesia, penyesuaian juga diterapkan untuk Asean Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) mengacu pada Harmonized System (HS). Amandemen tersebut dilakukan sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan teknologi, pola perdagangan, dan kondisi dunia.
Buku Tarif Kepabeanan Indonesia mengalami perubahan dari BTKI 2012 menjadi BTKI 2017 per 1 Maret 2017. Saat ini berlaku BTKI 2012 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
Sejumlah perubahan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia yakni: pertama, perubahan dari 10 digit menjadi 8 digit kode HS. Dengan pengurangan digit tersebut, maka pos tarif tidak dapat lagi mengakomodasi pos tarif nasional yang dalam BTKI 2012 dicantumkan dalam kode digit kesembilan dan kesepuluh. Dengan dihapuskannya digit nasional, maka Indonesia harus dapat memasukkan kepentingan nasional dalam klasifikasi HS yang baru.
Kedua, perubahan karena adanya usulan pos tarif baru, pemecahan pos tarif, atau penggabungan pos tarif. Pos tarif baru dapat diusulkan oleh negara-negara anggota ASEAN dengan memperhatikan nilai perdagangan yang tinggi, perlunya pembedaan dengan pos tarif yang sudah ada, adanya larangan dan pembatasan (lartas), serta barang yang perlu dibedakan dalam pencatatan statistiknya. Dalam usulan tersebut dapat mengakomodasi juga pos tarif nasional yang sebelumnya dibedakan berdasarkan pos tarif nasional pada BTKI 2012.
Ketiga, potensi perubahan kebijakan yang diusulkan oleh pembina sektor. Perubahan kebijakan yang dimaksud adalah perubahan tarif bea masuk yang disesuaikan dengan kebijakan kementerian/lembaga terkait.
Pemberlakuan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2017, diharapkan dapat meningkatkan perdagangan internasional Indonesia dengan mempermudah proses importasi dan eksportasi serta proses pertukaran data dalam rangka Masyarakat Ekonomi Asean (AEC).(adv)