Semarang, Antara Jateng - Peta pada suatu wilayah kecil berupa desa atau kelurahan selama ini barangkali masih dianggap sepele.
Meski desa memilikinya, biasanya peta jarang sekali diperbarui, padahal peta wilayah, terlebih yang memuat sejumlah infomasi, bisa sangat bermanfaat untuk mewujudkan desa yang berdikari.
Selain itu, bermanfaat untuk memetakan kondisi dan potensi di wilayah tersebut dan pastinya peta desa juga sangat berguna untuk menghindari konflik batas wilayah desa.
Terkait dengan hal itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2016 melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Berencana menerapkan sistem informasi desa di seluruh desa di 35 kabupaten/kota.
Hal itu utamanya dilakukan guna memudahkan masyarakat dan pemerintah mengetahui data kependudukan, demografi, dan transparansi penggunaan anggaran.
Berdasarkan data BPS pada 2015, jumlah desa di Jawa Tengah sebanyak 7.809 desa dan 750 kelurahan, sedangkan jumlah kecamatan di provinsi setempat tercatat 573 wilayah.
"Apakah nanti basisnya 'website' atau aplikasi, pokoknya harus ada sistem informasi desa," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat meninjau pemanfaatan aplikasi Sistem Informasi Desa di Desa Madukara, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara.
Perangkat lunak sistem informasi desa yang akan diterapkan di seluruh desa di Jateng tersebut, merupakan bantuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Tengah.
Sebagian perangkat desa di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Kebumen, Kendal, dan Wonogiri telah mengikuti pelatihan terkait dengan penerapan sistem informasi desa.
"Ini sifatnya masih inisiatif dari desa ke desa dan disinyalir banyak desa yang menyiapkannya sendiri-sendiri sehingga saya khawatir nanti mengonsolidasikannya tidak sama," ujar ayah satu anak itu.
Dalam kesempatan tersebut, Ganjar mengapresiasi Desa Madukara yang berhasil membuat "website" berisi berbagai informasi mengenai desa setempat sejak 2015.
"'Website' Desa Madukara menampilkan data riil kemiskinan dan pengangguran, bahkan datanya lebih maju dari milik BPS karena sudah diverifikasi berdasar kondisi sosiologis desa," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Sistem informasi desa tersebut diwujudkan dengan menggandeng sejumlah instansi pemerintah di berbagai tingkatan.
"Saya membayangkan Badan Informasi Geospasial mengembangkan sistem informasi desa, kemudian Badan Pertanahan Nasional kita minta dari sisi kepemilikan lahan per orang, dan data dari TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang sudah ada nanti 'diinsertkan' di atasnya," ujar mantan anggota DPR RI itu.
Menurut Ganjar, dengan banyaknya instansi yang mau membantu pembuatan sistem informasi desa akan membuat "data base" sistem tersebut menjadi semakin lengkap.
Sistem informasi desa akan membuka berbagai permasalahan yang rumit di desa agar bisa segera diintervensi pemerintah daerah sehingga dapat segera terselesaikan.
"Kendati demikian, agar sistem informasi desa bisa bermanfaat secara optimal, perlu gotong royong dengan lembaga-lembaga yang juga membuat sistem serupa, seperti BPKP dan BPN," paparnya.
Ganjar berharap sistem informasi desa dapat mencakup segala aspek yang ada di desa, antara lain angka kemiskinan, luas lahan pertanian yang dimiliki masyarakat desa, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga potensi yang ada di setiap desa.
Dengan sistem informasi desa, pemberian bantuan kepada masyarakat dapat lebih tepat sasaran dan dapat menciptakan "one village one product".
Sejumlah program ini, ungkap Ganjar, selaras dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat, yakni peluncuran peta desa oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Marwan Jafar beberapa waktu lalu.
Peta itu dapat menampilkan data kemiskinan di masing-masing desa.
"Dengan adanya data warga miskin, lengkap dengan jumlah dan tingkatan kemiskinan maka akan mempermudah pemerintah mengintervensi warga miskin dengan menindaklanjutinya," ujarnya.
Ia mengaku kesulitan mencari data warga miskin di daerahnya dan data warga miskin yang dimaksud itu tidak hanya meliputi nama, alamat, dan profesi, tetapi juga tingkatan kemiskinan.
"Apakah si miskin ini masuk kategori sangat miskin, miskin, atau mulai membaik," ujarnya.
Menurut Ganjar, peta desa akan menjadi dasar pertimbangan berbagai kebijakan nasional maupun daerah, sekaligus digunakan untuk merancang tata ruang desa di kawasan pedesaan, daerah transmigrasi, serta sumber daya lahan, air, dan sumber energi terbarukan.
"Saya punya program desa mandiri yang bukan kepemerintahan tapi kewilayahan, untuk merumuskan desa berdikari ada dua hal penting di desa tersebut, yakni mampu menyelesaikan soal pangan dan energi," katanya.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Sri Puryono menambahkan bahwa Pemprov Jateng memfokuskan penurunan angka kemiskinan selama 2016 dengan berbagai program pembangunan yang digalakkan ke seluruh lapisan masyarakat.
"Angka kemiskinan Jateng masih tergolong tinggi sehingga kami fokus pada program pengentasan kemiskinan dan pengangguran," ujarnya.
Salah satu langkah awal untuk menurunkan angka kemiskinan adalah dengan melakukan validasi data warga miskin yang ada di Jateng secara betul dan diikuti dengan menjalankan program-program yang langsung menyentuh kepada masyarakat miskin.
"Program-programnya seperti pemberian stimulus kepada usaha kecil menengah (UKM) atau memberikan fasilitasi pembangunan rumah tidak layak huni (RTLH)," katanya.
Peta desa merupakan salah satu sumber penting untuk pengambilan keputusan demi pembangunan daerah setempat.
"Peta desa yang memuat informasi akurat dan 'update' akan menjadi dasar pengambilan keputusan yang baik," katanya.
Sebaliknya, peta desa yang memuat informasi tidak akurat dan tidak rutin diperbarui akan menjadi dasar pengambilan keputusan yang buruk.
"Peta desa itu dianggap sepele, tapi sebenarnya luar biasa, kalau data yang 'diinput' salah, padahal data itu diolah menjadi informasi, maka informasi yang digunakan sebagai sumber mengambil keputusan itu juga salah sehingga pembuatannya harus dilakukan oleh sumber daya manusia yang terdidik," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Informasi Geospasial telah merintis purwarupa peta desa di Desa Tegalurung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sebagai salah satu upaya mewujudkan desa berdikari.
"Kami mencoba membuat peta desa yang bisa bermanfaat untuk membangun desa berdikari, contohnya di Desa Tegalurung, kami kumpulkan data tentang batas desa dengan menambah data-data dari SKPD," kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Nurwadjedi.
Hal tersebut disampaikan Nurwadjedi pada diskusi dengan tema "Percepatan Sistem Informasi Perdesaan Berbasis Spasial untuk Fasilitasi Analisis Model Desa Berdikari" di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Rintisan peta desa itu sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Skala Peta 1:50.000.
Menurut dia, peta desa yang memuat informasi tentang persil tanah sangat penting untuk dibuat oleh masing-masing desa dan bisa digunakan memetakan lumbung pangan yang ada di desa.
"Pada era digital peta desa diperoleh tanpa biaya dan memungkinkan dibuat secara praktis, namun tetap informatif, serta terintegrasi dengan portal kementerian terkait, dan mudah diakses," ujarnya.
Meski desa memilikinya, biasanya peta jarang sekali diperbarui, padahal peta wilayah, terlebih yang memuat sejumlah infomasi, bisa sangat bermanfaat untuk mewujudkan desa yang berdikari.
Selain itu, bermanfaat untuk memetakan kondisi dan potensi di wilayah tersebut dan pastinya peta desa juga sangat berguna untuk menghindari konflik batas wilayah desa.
Terkait dengan hal itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2016 melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Berencana menerapkan sistem informasi desa di seluruh desa di 35 kabupaten/kota.
Hal itu utamanya dilakukan guna memudahkan masyarakat dan pemerintah mengetahui data kependudukan, demografi, dan transparansi penggunaan anggaran.
Berdasarkan data BPS pada 2015, jumlah desa di Jawa Tengah sebanyak 7.809 desa dan 750 kelurahan, sedangkan jumlah kecamatan di provinsi setempat tercatat 573 wilayah.
"Apakah nanti basisnya 'website' atau aplikasi, pokoknya harus ada sistem informasi desa," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat meninjau pemanfaatan aplikasi Sistem Informasi Desa di Desa Madukara, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara.
Perangkat lunak sistem informasi desa yang akan diterapkan di seluruh desa di Jateng tersebut, merupakan bantuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Tengah.
Sebagian perangkat desa di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Kebumen, Kendal, dan Wonogiri telah mengikuti pelatihan terkait dengan penerapan sistem informasi desa.
"Ini sifatnya masih inisiatif dari desa ke desa dan disinyalir banyak desa yang menyiapkannya sendiri-sendiri sehingga saya khawatir nanti mengonsolidasikannya tidak sama," ujar ayah satu anak itu.
Dalam kesempatan tersebut, Ganjar mengapresiasi Desa Madukara yang berhasil membuat "website" berisi berbagai informasi mengenai desa setempat sejak 2015.
"'Website' Desa Madukara menampilkan data riil kemiskinan dan pengangguran, bahkan datanya lebih maju dari milik BPS karena sudah diverifikasi berdasar kondisi sosiologis desa," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Sistem informasi desa tersebut diwujudkan dengan menggandeng sejumlah instansi pemerintah di berbagai tingkatan.
"Saya membayangkan Badan Informasi Geospasial mengembangkan sistem informasi desa, kemudian Badan Pertanahan Nasional kita minta dari sisi kepemilikan lahan per orang, dan data dari TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) yang sudah ada nanti 'diinsertkan' di atasnya," ujar mantan anggota DPR RI itu.
Menurut Ganjar, dengan banyaknya instansi yang mau membantu pembuatan sistem informasi desa akan membuat "data base" sistem tersebut menjadi semakin lengkap.
Sistem informasi desa akan membuka berbagai permasalahan yang rumit di desa agar bisa segera diintervensi pemerintah daerah sehingga dapat segera terselesaikan.
"Kendati demikian, agar sistem informasi desa bisa bermanfaat secara optimal, perlu gotong royong dengan lembaga-lembaga yang juga membuat sistem serupa, seperti BPKP dan BPN," paparnya.
Ganjar berharap sistem informasi desa dapat mencakup segala aspek yang ada di desa, antara lain angka kemiskinan, luas lahan pertanian yang dimiliki masyarakat desa, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga potensi yang ada di setiap desa.
Dengan sistem informasi desa, pemberian bantuan kepada masyarakat dapat lebih tepat sasaran dan dapat menciptakan "one village one product".
Sejumlah program ini, ungkap Ganjar, selaras dengan apa yang dilakukan pemerintah pusat, yakni peluncuran peta desa oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Marwan Jafar beberapa waktu lalu.
Peta itu dapat menampilkan data kemiskinan di masing-masing desa.
"Dengan adanya data warga miskin, lengkap dengan jumlah dan tingkatan kemiskinan maka akan mempermudah pemerintah mengintervensi warga miskin dengan menindaklanjutinya," ujarnya.
Ia mengaku kesulitan mencari data warga miskin di daerahnya dan data warga miskin yang dimaksud itu tidak hanya meliputi nama, alamat, dan profesi, tetapi juga tingkatan kemiskinan.
"Apakah si miskin ini masuk kategori sangat miskin, miskin, atau mulai membaik," ujarnya.
Menurut Ganjar, peta desa akan menjadi dasar pertimbangan berbagai kebijakan nasional maupun daerah, sekaligus digunakan untuk merancang tata ruang desa di kawasan pedesaan, daerah transmigrasi, serta sumber daya lahan, air, dan sumber energi terbarukan.
"Saya punya program desa mandiri yang bukan kepemerintahan tapi kewilayahan, untuk merumuskan desa berdikari ada dua hal penting di desa tersebut, yakni mampu menyelesaikan soal pangan dan energi," katanya.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Sri Puryono menambahkan bahwa Pemprov Jateng memfokuskan penurunan angka kemiskinan selama 2016 dengan berbagai program pembangunan yang digalakkan ke seluruh lapisan masyarakat.
"Angka kemiskinan Jateng masih tergolong tinggi sehingga kami fokus pada program pengentasan kemiskinan dan pengangguran," ujarnya.
Salah satu langkah awal untuk menurunkan angka kemiskinan adalah dengan melakukan validasi data warga miskin yang ada di Jateng secara betul dan diikuti dengan menjalankan program-program yang langsung menyentuh kepada masyarakat miskin.
"Program-programnya seperti pemberian stimulus kepada usaha kecil menengah (UKM) atau memberikan fasilitasi pembangunan rumah tidak layak huni (RTLH)," katanya.
Peta desa merupakan salah satu sumber penting untuk pengambilan keputusan demi pembangunan daerah setempat.
"Peta desa yang memuat informasi akurat dan 'update' akan menjadi dasar pengambilan keputusan yang baik," katanya.
Sebaliknya, peta desa yang memuat informasi tidak akurat dan tidak rutin diperbarui akan menjadi dasar pengambilan keputusan yang buruk.
"Peta desa itu dianggap sepele, tapi sebenarnya luar biasa, kalau data yang 'diinput' salah, padahal data itu diolah menjadi informasi, maka informasi yang digunakan sebagai sumber mengambil keputusan itu juga salah sehingga pembuatannya harus dilakukan oleh sumber daya manusia yang terdidik," ujarnya.
Sebelumnya, Badan Informasi Geospasial telah merintis purwarupa peta desa di Desa Tegalurung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sebagai salah satu upaya mewujudkan desa berdikari.
"Kami mencoba membuat peta desa yang bisa bermanfaat untuk membangun desa berdikari, contohnya di Desa Tegalurung, kami kumpulkan data tentang batas desa dengan menambah data-data dari SKPD," kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Nurwadjedi.
Hal tersebut disampaikan Nurwadjedi pada diskusi dengan tema "Percepatan Sistem Informasi Perdesaan Berbasis Spasial untuk Fasilitasi Analisis Model Desa Berdikari" di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Rintisan peta desa itu sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Skala Peta 1:50.000.
Menurut dia, peta desa yang memuat informasi tentang persil tanah sangat penting untuk dibuat oleh masing-masing desa dan bisa digunakan memetakan lumbung pangan yang ada di desa.
"Pada era digital peta desa diperoleh tanpa biaya dan memungkinkan dibuat secara praktis, namun tetap informatif, serta terintegrasi dengan portal kementerian terkait, dan mudah diakses," ujarnya.