Di media sosial, begitu banyak keluhan kemacetan arus lalu lintas. Konon, lebih parah dibandingkan dengan arus mudik Lebaran.
Ketidaknyamanan para turis domestik dalam perjalanan libur panjang itulah salah satu yang menyebabkan Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono mengundurkan diri.
Pemerintah menduga puncak kepadatan lalu lintas terjadi pada libur Tahun Baru 2015. Ternyata, pelancong domestik memilih keluar kota pada libur empat hari tanpa putus itu.
Rumah makan dan restoran selama masa itu disesaki turis domestik. Hampir semua hotel "panen raya" dengan mengutip tarif tinggi. Hotel bintang tiga yang biasanya mematok tarif di bawah Rp700.000/malam, pada libur panjang itu mendongkrak sewa kamarnya hingga di atas Rp1,5 juta. Dan, itu pun laku!
Hampir semua objek wisata pada 24-27 Desember 2015 disesaki wisatawan. Pusat jajan atau oleh-oleh menangguk omzet penjualan berlipat. Antrean juga terlihat di gerai anjungan tunai mandiri (ATM). Puluhan triliuan rupiah diperkirakan berputar selama empat hari pada masa liburan Natal 2015.
Di balik kemacetan lalu lintas dan ketidaknyamanan di objek wisata akibat padatnya wisatawan, mobilitas penduduk selama libur panjang itu menunjukkan kondisi perekonomian nasional tidak sesuram seperti yang dibayangkan. Setidaknya, libur panjang pekan lalu menggambarkan sebagian profile kelas menengah baru, yang tidak sayang membelanjakan uangnya untuk bersenang-senang.
Indeks keyakinan konsumen seperti disampaikan oleh Bank Indonesia memang membaik. Berdasarkan survei BI, IKK pada November 2015 mencapai 103,7 atau naik 4,4 poin dibandingkan bulan sebelumnya.Itu menunjukkan konsumen melihat kondisi ekonominya lebih optimistis sehingga mereka berani membelanjakan uangnya untuk kebutuhan sekunder atau tersier.
Namun, untuk melihat kondisi Indonesia secara makro, tidaklah cukup hanya memotret sekilas fenomena libur panjang yang sukses memutarkan uang hingga puluhan bahkan seratus triliun rupiah lebih. Dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta jiwa, hanya dengan menyimak fenomena libur panjang dan survei IKK, misalnya, rasanya masih terlalu sumir untuk bisa memotret lanskap kondisi rakyat secara keseluruhan.
Indeks Gini yang menggambarkan kesenjangan pendapatan warga dalam tiga tahun (2011,2012,2013) masih berkutat pada koefisien 0,41. Itu menunjukkan ketimpangan sedang-tinggi. Pada 2014 diperkirakan tidak ada perubahan signifikan karena memang tidak ada program supercepat yang bisa memangkas ketimpangan. Begitu pula untuk 2015, kita masih harus menunggu hasilnya.
Jumlah penduduk miskin relatif, menurut Bank Dunia dan BI, pada 2014 tercatat 11 persen, sedikit menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 11,5 persen. Sedangkan kemiskinan absolut mencapai 28 persen atau turun 1 persen dibandingkan dengan periode sama.
Masalahnya, definisi garis kemisikan yang dijadikan patokan oleh pemerintah pada tahun 2014 kurang realistis, yakni pendapatan per bulan (per kapita) Rp312.328 atau hanya Rp10.000 lebih sedikit per hari. Andai definisi garis kemiskinan dinaikkan sedikit saja, misalnya, Rp450.000/bulan (per kapita), persentase penduduk miskin bakal melonjak lebih dari dua kali lipatnya.
Oleh karena itu kita berharap Presiden Joko Widodo lebih memiliki perhatian serius terhadap usaha mikro dan kecil. Karena, sektor ini miliki daya serap tenaga kerja dan mampu menggerakkan perekonomian lokal. Patut diapreasiasi kebijakan pemerintah yang memangkas bunga pinjaman Kredit Usaha Rakyat dari 12 persen menjadi 9 persen per 2016. Pemangkasan rente ini tentu memangkas beban usaha mikro dan kecil yang menjadi target utama KUR.
Pengalaman membuktikan bahwa usaha mikro dan kecil selama ini mampu menjadi katup penyelamat ketika usaha besar dan perekonomian nasional "tersedak" akibat gejolak perekonomian global.
Pertumbuhan ekonomi tinggi memang penting, namun hasil ini tidak akan banyak menebar keadilan bila pertumbuhan tersebut hanya terus memperlebar kesenjangan.
Buruh tani dari pelosok desa suatu saat juga ingin menikmati libur panjang sambil berwisata dengan bekal uang cukup seperti kaum menengah baru. ***
Ketidaknyamanan para turis domestik dalam perjalanan libur panjang itulah salah satu yang menyebabkan Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono mengundurkan diri.
Pemerintah menduga puncak kepadatan lalu lintas terjadi pada libur Tahun Baru 2015. Ternyata, pelancong domestik memilih keluar kota pada libur empat hari tanpa putus itu.
Rumah makan dan restoran selama masa itu disesaki turis domestik. Hampir semua hotel "panen raya" dengan mengutip tarif tinggi. Hotel bintang tiga yang biasanya mematok tarif di bawah Rp700.000/malam, pada libur panjang itu mendongkrak sewa kamarnya hingga di atas Rp1,5 juta. Dan, itu pun laku!
Hampir semua objek wisata pada 24-27 Desember 2015 disesaki wisatawan. Pusat jajan atau oleh-oleh menangguk omzet penjualan berlipat. Antrean juga terlihat di gerai anjungan tunai mandiri (ATM). Puluhan triliuan rupiah diperkirakan berputar selama empat hari pada masa liburan Natal 2015.
Di balik kemacetan lalu lintas dan ketidaknyamanan di objek wisata akibat padatnya wisatawan, mobilitas penduduk selama libur panjang itu menunjukkan kondisi perekonomian nasional tidak sesuram seperti yang dibayangkan. Setidaknya, libur panjang pekan lalu menggambarkan sebagian profile kelas menengah baru, yang tidak sayang membelanjakan uangnya untuk bersenang-senang.
Indeks keyakinan konsumen seperti disampaikan oleh Bank Indonesia memang membaik. Berdasarkan survei BI, IKK pada November 2015 mencapai 103,7 atau naik 4,4 poin dibandingkan bulan sebelumnya.Itu menunjukkan konsumen melihat kondisi ekonominya lebih optimistis sehingga mereka berani membelanjakan uangnya untuk kebutuhan sekunder atau tersier.
Namun, untuk melihat kondisi Indonesia secara makro, tidaklah cukup hanya memotret sekilas fenomena libur panjang yang sukses memutarkan uang hingga puluhan bahkan seratus triliun rupiah lebih. Dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta jiwa, hanya dengan menyimak fenomena libur panjang dan survei IKK, misalnya, rasanya masih terlalu sumir untuk bisa memotret lanskap kondisi rakyat secara keseluruhan.
Indeks Gini yang menggambarkan kesenjangan pendapatan warga dalam tiga tahun (2011,2012,2013) masih berkutat pada koefisien 0,41. Itu menunjukkan ketimpangan sedang-tinggi. Pada 2014 diperkirakan tidak ada perubahan signifikan karena memang tidak ada program supercepat yang bisa memangkas ketimpangan. Begitu pula untuk 2015, kita masih harus menunggu hasilnya.
Jumlah penduduk miskin relatif, menurut Bank Dunia dan BI, pada 2014 tercatat 11 persen, sedikit menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 11,5 persen. Sedangkan kemiskinan absolut mencapai 28 persen atau turun 1 persen dibandingkan dengan periode sama.
Masalahnya, definisi garis kemisikan yang dijadikan patokan oleh pemerintah pada tahun 2014 kurang realistis, yakni pendapatan per bulan (per kapita) Rp312.328 atau hanya Rp10.000 lebih sedikit per hari. Andai definisi garis kemiskinan dinaikkan sedikit saja, misalnya, Rp450.000/bulan (per kapita), persentase penduduk miskin bakal melonjak lebih dari dua kali lipatnya.
Oleh karena itu kita berharap Presiden Joko Widodo lebih memiliki perhatian serius terhadap usaha mikro dan kecil. Karena, sektor ini miliki daya serap tenaga kerja dan mampu menggerakkan perekonomian lokal. Patut diapreasiasi kebijakan pemerintah yang memangkas bunga pinjaman Kredit Usaha Rakyat dari 12 persen menjadi 9 persen per 2016. Pemangkasan rente ini tentu memangkas beban usaha mikro dan kecil yang menjadi target utama KUR.
Pengalaman membuktikan bahwa usaha mikro dan kecil selama ini mampu menjadi katup penyelamat ketika usaha besar dan perekonomian nasional "tersedak" akibat gejolak perekonomian global.
Pertumbuhan ekonomi tinggi memang penting, namun hasil ini tidak akan banyak menebar keadilan bila pertumbuhan tersebut hanya terus memperlebar kesenjangan.
Buruh tani dari pelosok desa suatu saat juga ingin menikmati libur panjang sambil berwisata dengan bekal uang cukup seperti kaum menengah baru. ***