Bencana Alam di Tengah Kerakusan
Ideologi bahwa manusia adalah pusat segalanya (antroposentrisme) bukan berarti makhluk ini berhak berbuat semaunya. Manusia memang makhluk paling cerdas di Bumi. Meskipun dianugerahi hati nurani, kadar kerakusan pada orang-orang tertentu mengalahkan kera.
Dalam banyak hal manusia belum mampu mengatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh alam. Pun kerusakan yang disulut oleh ulahnya sendiri. Lapisan ozon yang bolong akibat "tusukan" polusi BBM fosil tak mungkin ditambal.
Sekalipun kaki manusia sudah menyentuh Bulan dan wahana ruang angksa sudah menyentuh Mars, masih terlalu banyak misteri yang belum bisa diungkap oleh manusia, makhluk hidup paling pintar di Bumi. Bencana alam yang juga melanda negara adidaya Amerika Serikat mempertegas kenyataan bahwa amukan alam masih terlalu perkasa bagi manusia.
Oleh karena itu manusia senantiasa dituntut untuk mawas diri ketika berinteraksi dengan alam beserta isinya. Sebagian besar bencana itu juga disebabkan oleh manusia yang serakah. Banjir besar, tanah longsor, atau kekeringan yang kian sering terjadi itu disebabkan oleh kerakusan manusia mengeksploitasi alam.
"Satu Bumi tak akan pernah cukup bagi seorang yang serakah," tutur pejuang kemanusiaan Mahatma Gandhi.
Sidang korupsi di pengadilan menggambarkan betapa rakusnya para penjarah uang panas tersebut. Sudah menerima suap bermiliar rupiah masih haus mengeruk uang haram.
Contoh lain, pengeprasan bukit di Kecamatan Tembalang, dekat SMPN 33 Kota Semarang, menunjukkan bahwa pemerintah daerah tak berdaya. Beberapa kali pintu masuk bukit ditutup, namun selang beberapa hari segel itu dirusak.
Tanpa dilandasi sifat rakus, tidak mungkin bukit setiap hari dikepras. Anak cucu warga setempat yang bakal menuai bencana ekologinya.
Bertahun-tahun pengeprasan bukit itu berlangsung. Ratusan truk pengangkut tanah setiap hari menghajar jalan hingga bopeng dan berlubang. Masyarakat jelas dirugikan, namun negara seolah tidak hadir untuk menyelamatkan lingkungan dan rakyatnya.
Pembuat kebijakan (pemerintah) dan pengusaha tentu sangat paham implikasi atas eksploitasi alam secara berlebihan. Akan tetapi, dorongan untuk menghimpun kas negara/daerah (PAD) atau menumpuk kekayaan tanpa batas bagi pebisnis, menjadikan mereka selalu meminggirkan aspek keseimbangan alam.
Membuka lapangan kerja, penerimaan pajak, dan menggerakkan perekonomian domestik selalu menjadi pembenaran atas bisnis yang mengeksploitasi alam itu.
Oleh karena itu, banjir dari tahun ke tahun terus terjadi bahkan menemukan siklusnya sendiri dengan intensitas kerusakan alam yang lebih masif daripada banjir tahunan. Banjir besar yang melanda Jawa Tengah, terutama di daerah pantura pada awal 2014, menunjukkan siklus itu. Pekalongan dan sekitar direndam banjir berhari-hari dengan menyisakan penderitaan ribuan pengungsi dan kerugian miliaran rupiah.
Banjir besar pun merendam Kabupaten Kudus, Demak, Jepara, dan Pati pada waktu hampir bersamaan. Sebagian besar daerah yang terendam banjir itu langganan banjir tahunan, namun kali ini jauh lebih parah sampai membuat Kota Kretek itu nyaris terisolasi.
Melihat titik lokasi banjir yang relatif sama, seharusnya setiap tahun ada perubahan bila memang pemda punya cetak biru penanggulangan banjir. Namun, bila setiap musim hujan di titik-titik tertentu selalu direndam banjir, itu menunjukkan ada yang tidak "match" antara kondisi lapangan dengan cetak biru.
Tanah longsor di Kudus yang menimbun hidup-hidup belasan jiwa itu juga mengindikasi betapa aspek pengawasan daerah permukiman sangat lemah. Kalau memang daerah tersebut rawan longsor tentu pemda memiliki alat untuk memaksa mereka pindah, bukan menyalahkan cuaca ekstrem. Kasus serupa juga terjadi di Trangkil Baru, Gunungpati, Kota Semarang, yang menyebabkan 32 rumah ambrol.
Eksploitasi lahan untuk hunian atau keperluan bisnis memang tak pernah henti. Kawasan rawan bencana, daerah resapan air, atau ruang terbuka hijau sering diakali demi mengeruk keuntungan segelintir orang.
Bencana demi bencana terus terjadi, namun sepertinya manusia tidak mau berhenti untuk merusak alam dengan dalih demi kesejahteraan. ***